RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalam usaha untuk mengakarkan iman
dalam Gereja lokal hubungan atau relasi antara iman dan kebudayaan sangatlah penting. Kebudayaan diakui sebagai
salah satu unsur penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya Gereja. Konsili
Vatikan II memandang kebudayaan sebagai ciri pribadi manusia, bahwa ia hanya
dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni
dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya.[1] Dalam
pendekatan budaya Gaudium et Spes bagian dua, bab dua, artikel dua
berbicara tentang berbagai kaidah untuk dengan tepat mengembangkan kebudayaan.
Pembahasan mengenai pembangunan kebudayaan, meliputi situasi kebudayaan
zaman modern, kaidah-kaidah yang benar dalam pembangunan kebudayaan, serta
dalam merencanakan tugas-tugas umat Kristen sehubungan dengan pengembangan
kebudayaan.[2]
Secara khusus di dalam Gaudium et Spes artikel 57 dibicarakan
tentang iman dan kebudayaan. Kebudayaan dipandang sebagai tugas manusia untuk
membangun dunia secara lebih manusiawi dan misteri iman kristen memberi manusia
dorongan dan bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan
tugas untuk membangun dunia secara lebih manusiawi dan menemukan makna yang
sepenuhnya dari usaha itu, sehingga kebudayaan mendapat tempat yang luhur dalam
seluruh panggilan manusia.
Dalam sejarah perkembangan
kebudayaan sebelum Konsili Vatikan II sikap Gereja sangat tertutup. Gereja melihat
kebudayaan-kebudayaan sebagai produk dari kekafiran, oleh karena itu ketika
seorang atau satu kelompok mengemukakan pendapat yang berbeda dengan apa yang
diyakini olehnya maka Gereja akan mengambil tindakan yang tegas terhadap orang
atau kelompok tersebut.
Contohnya pembunuhan terhadap Galileo Gelilei. Galileo Gelilei
pada abad ke XVI mengemukakan satu teori dengan mengacu pada astronomi
Copernicus yang menyatakan bahwa bumi dan semua planet berputar mengelilingi
matahari. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh Gereja pada masa itu yaitu
Gereja mendukung pandangan geosentris Ptolemeus yang menyatakan bahwa matahari
dan planet-planet bergerak mengelilingi bumi yang merupakan pusat dari alam
semesta.[3]
Beberapa peristiwa penting sekitar abad XV
sampai abad XVI bagi dunia
dan bangsa Eropa khususnya merupakan abad-abad penemuan,
di mana bangsa Eropa mulai
meninggalkan ketertutupan dan mulai mengadakan eksplorasi terhadap dunia Timur
dan Belahan bumi Selatan. Hal ini ditandai dengan ekspolrasi Vasco da Gama ke
India pada tahun 1460-1524 dan penemuan benua Amerika oleh Columbus pada tahun
1451-1506. Motif mereka mengadakan ekplorasi antara lain, karena mereka ingin
tahu daerah baru, mau berdagang dan untuk menyebarkan agama yang mereka anut.
Bersamaan dengan itu dalam bidang kebudayaan ditandai dengan bangkitnya Renaicance dan Humanisme. Dengan tampilnya Descartes, mulailah manusia menyadari
dirinya sebagai individu dan otonominya atas dunia. Rentetan peristiwa dan
perkembangan dunia di atas ikut pula mewarnai praksis perkembangan Gereja.[4]
Penemuan dan perubahan masyarakat
Eropa itu membawa orang Eropa pada perasaan unggul jika dibanding dengan bangsa
lain. Akibatnya dunia Eropa dipandang sebagai pusat dan model bagi dunia di
belahan bumi yang lain. Keadaan ini seakan memanggil orang Eropa untuk
bertanggung jawab, memajukan mereka yang terbelakang. Karena orang Eropa
beragama Kristen maka yang di luar
itu diidentikan dengan kafir. Dengan demikian orang Eropa terdorong untuk memajukan
orang-orang di luar Eropa dengan menjadikan mereka Kristen. Hanya kalau mereka
maju dan menggabungkan diri ke dalam Gerejalah mereka akan selamat. Mereka
semua yang berada di luar Gereja harus dapat dibawa masuk ke dalamnya untuk diselamatkan.[5]
Konsili Vatikan II menandai pembaharuan
sikap Gereja terhadap kebudayaan dan bangsa-bangsa lain. Dalam Konsili, Gereja
dipandang sebagai umat Allah yang sedang berziarah menuju kepenuhannya.
Keselamatan yang benar hanya terdapat di dalam Yesus Kristus. Hal itu bukan hanya berlaku bagi kaum
beriman Kristiani, melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang
hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan. Karena Kristus
telah wafat bagi semua orang dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu,
yakni bersifat Ilahi,
maka
kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua
orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri
Paskah itu.[6]
Gereja Katolik tidak menolak apapun
yang serba benar dan suci,[7] dalam
budaya lain. Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup yang memantulkan
sinar kebenaran, yang menyinari semua orang.[8] Maka
Gereja mendorong putra-putranya supaya dengan bijaksana berdialog sambil
memberikan kesaksian tentang iman serta peri hidup Kristiani, mengakui,
memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai sosial
dan budaya dalam kebudayaan lain.
Dunia terlebih khusus Gereja dewasa
ini berada di tengah-tengah
proses globalisasi yang tiada hentinya meresapi segala bidang kehidupan.[9]
Proses ini juga mempengaruhi kehidupan kita manusia sebagai mahluk yang beriman sekaligus mahluk yang berbudaya.
Sebagai manusia beragama khususnya agama Katolik, kita berhadapan dengan
berbagai tawaran dari dunia yang mendukung sekaligus menantang kehidupan
beragama kita khususnya iman kita. Sebagai mahluk berbudaya, dengan proses
globalisasi ini, kita diberi peluang dan ruang yang seluas-luasnya untuk
memilih apakah kita tetap untuk mempertahankan kebudayaan kita sendiri ataukah
kita memberi ruang bagi kebudayaan-kebudayaan lain yang baru untuk juga mempengaruhi kebudayaan kita.
Pewartaan iman oleh Gereja adalah
sebagai panggilan atau bahkan sebagai identitasnya yang terdalam. Gereja
dipanggil untuk mewartakan injil. Itu berarti, bukan hanya untuk berkotbah dan
mengajar, melainkan Gereja menjadi “sarana” rahmat Allah bagi bangsa-bangsa.
Gereja mesti menjadi tanda yang memberi harapan bahwa masih mungkin hidup bersama dengan saling menghargai kebebasan
masing-masing orang. Dengan cara itu, Gereja tidak lagi asing bagi dunia. Pada
zaman sekarang Gereja tampil dan berakar pada tempat di mana dia tinggal.
Gereja tidak lagi sebagai intitusi yang kaku tetapi sebagai suatu persaudaraan
iman yang membuka diri pada bimbingan Roh Kudus. Hidup dan berkembangnya Gereja
tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan yang ada dan hidup di sekitarnya.
Atas dasar pemikiran di atas penulis
ingin mengkaji tulisan ini dibawah
judul,
“RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI
VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57.”
1.2 Perumusan Masalah
Bertolak
dari pemaparan dalam
latar belakang di atas maka
penulis
dapat merumuskan
beberapa pokok persoalan yang akan menjadi acuan utama dalam pembahasan tema
ini sebagai berikut:
1. Apa
itu iman?
2. Apa
itu kebudayaan?
3. Bagaimana
relasi iman dan kebudayaan secara khusus menurut Konsili Vatikan II dalam Gaudium Et Spes artikel 57
1.3 Kegunaan Penulisan
1.3. 1 Bagi
Gereja
Tulisan ini merupakan sumbangan
pemikiran bagi Gereja dalam melaksanakan tugas perutusannya. Tulisan ini juga
dapat membantu pembaca sekalian, terutama umat beriman Katolik dalam memahami
dan menjelaskan tentang relasi iman dan kebudayaan dalam terang Dokumen Konsili
Vatikan II khususnya Gaudium et Spes
artikel 57.
1.3.2 Bagi Fakultas Filsafat
Tulisan ini merupakan satu sumbangan
bagi mahasiswa agar dapat menyadari dan memahami secara lebih baik tentang iman
dan kebudayaan, serentak memberi motivasi agar mahasiswa mampu melihat dan
menanggapi hal-hal yang berhubungan dengan relasi iman dan kebudayaan dalam
terang Konsili Vatikan II.
1.3.3 Bagi Penulis Sendiri
Dengan mendalami topik ini penulis
semakin memahami relasi iman dan kebudayaan dalam pandangan Gereja terutama pandangan
Konsili Vatikan II Gaudium et Spes
Art. 57 dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan relasi iman dan kebudayaan. Selain itu penelitian
ini akan menjadi rangkaian pemikiran ilmiah yang disamping akan memperkaya
penulis sendiri, dan diharapkan dapat memperkaya koleksi perpustakaan Fakultas
Filsafat Unwira Kupang.
1.4 Tujuan Penulisan
Penulis akan menginventaris dan membuat
sistematisasi kritis tentang topik yang dikaji sehingga tulisan ini dapat menghasilkan suatu pengertian dan pemahaman yang benar
mengenai relasi iman dan kebudayaan dalam Gaudium
et Spes artikel 57.
1.5 Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian kepustakaan, dengan menggunakan sumber utama yaitu Dokumen Konsili
Vatikan II, Kontitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes Art. 57. Selain sumber utama yang digunakan, peneliti juga menggunakan
beberapa sumber penunjang lain dari Dokumen Gereja antara lain; Dokumen Konsili
Vatikan II, Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan
Kristiani, Nostra Aetate; Ensiklik Redemptoris Missio,
Paus Yohanes Paulus II; Anjuran Apostolik, Evanggelii
Nuntiandi, Paus Paulus VI. Peneliti juga menggunakan buku-buku teologi antara lain; Teologi Sistematika 1 , Niko Syukur Dister, Teologi
Dalam Perspektif Global, Stephen B. Bevans. Penulis juga menggunakan sumber-sumber
penunjang lain yang berhubungan dengan judul penelitian dan menguraikannya
dalam satu pemikiran yang logis.
1.6 Sistematika Penulisan
Kajian
penulis dalam topik ini secara keseluruhan melingkupi lima pokok bahasan dengan
sistematikanya sebagai berikut:
Bab
I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan,
kegunaan penulisan, metode dan sistematika penulisan.
Bab
II, merupakan bab
yang secara khusus menguraikan tentang iman, berupa pengertian iman, pandangan para Bapak Gereja
mengenai iman, iman dalam Kitab Suci dan pandangan Konsili Vatikan I dan
Konsili Vatikan II tentang iman.
Bab
III, merupakan bab
yang secara khusus menguraikan tentang kebudayaan dan juga relasi kebudayaan dengan iman dalam
pandangan Gereja..
Bab IV, menguraikan secara khusus
tentang relasi iman dan kebudayaan dalam terang Domumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes artikel 57.
Bab
V, merupakan penutup dari tulisan ini, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB
II
IMAN
2.1 Pengertian
Iman
Kata
yang diterjemahkan menjadi “iman” dalam Perjanjian Baru adalah kata dalam
bahasa Yunani pistis (bentuk verbal: pisteuo), yang berarti “kepercayaan;
kesetiaan; keterlibatan; komitmen”.[10]
Ketika Perjanjian Baru diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin
oleh St. Jerome, kata pistis menjadi fides (“kesetiaan”). Fides tidak memiliki bentuk verbal,
sehingga untuk pisteuo, St. Jerome
menggunakan kata kerja Latin credo,
sebuah kata yang berasal dari cor do:
“aku berikan hatiku”. Dia tidak terpikir untuk menggunakan opinor (“aku memegang pendapat”). Ketika Alkitab diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, credo dan pisteuo menjadi “I believe” dalam versi King James (1611). Tetapi dalam kata “belief” sejak itu telah berubah makna.
Di Inggris pada abad pertengahan, beliven
berarti “menghargai; mementingkan; menyayangi”. Itu terkait dengan belieben dari bahasa Jerman
(“mencintai”), liebe (“tercinta”) dan
libido (“hasrat”) dalam bahasa Latin. Jadi, “belief”
aslinya berarti “kesetiaan kepada satu orang yang kepadanya seorang terikat
dalam janji atau tugas.[11]
Dalam
bahasa Indonesia, “beriman” biasanya lebih dimaksudkan dalam hubungan dengan
Allah; sedangkan “percaya’ kerap kali
dipakai dalam hubungan antar manusia. Dalam konteks teologis kata iman dan
percaya dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan manusia dengan Allah terutama
dalam penerimaan wahyu-Nya.[12]
2.2 Tiga Dimensi
Iman
Tindakan
iman merupakan cara manusia yang membuka diri kepada Allah. Dalam pewahyuan,
Allah memberi diri-Nya sendiri yang terdalam, menyingkapkan misteri-Nya sendiri
yang terdalam kepada manusia. Begitupun dengan manusia, tindakan iman adalah
cara manusia memberi diri mereka sendiri dengan mempersembahkan kepada Allah
sesuatu yang objektif mengenai persetujuan kepada kebenaran, komitmen pribadi
dan perubahan perilaku. Adapun iman memiliki tiga dimensi yaitu:
Pertama adalah dimensi intelektual.
Dalam tindakan iman manusia menerima sesuatu yang objektif sebagai kebenaran.
Misalnya ketika kita setuju akan fakta bahwa Allah sesungguhnya adalah pencipta
alam semesta atau mengakui makna dari kebenaran bahwa Allah benar-benar adalah
“gembalaku” (Mazmur 23:1). Dengan menerima yang objektif sebagai kebenaran maka
kita terlibat dalam segi intelektual iman. Ini merupakan penerimaan bahwa apa
yang ditawarkan Allah dalam wahyu adalah benar secara objektif.[13]
Teologi
klasik berbicara tentang segi iman ini sebagai penerimaan kebenaran dari sebuah
peristiwa atau sebuah doktrin berdasarkan kesaksian Allah sendiri untuk mengimani
Allah. Ungkapan dalam bahwa Latin untuk menjelaskan segi iman ini adalah Credere Deum.
Kedua adalah dimensi afektif. Kita
percaya bahwa sesuatu itu benar, namun apa yang kita percaya itu adalah untuk
kita dan demi keselamatan kita, sebagaimana yang dirumuskan Syahadat Nicea.
Segi afektif ini adalah tindakan percaya
kepada Allah yang menjalin relasi dan persahabatan dengan manusia. Keyakinan
bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, memanggil kita untuk menaruh
kepercayaan kepada Allah yang murah hati dan penuh belas kasih. Kita percaya
bahwa Allah berada di sisi kita ketika kita berjalan melalui lembah “kematian”
atau lembah “kekelaman” (Mazmur 23:4). Dalam teologi klasik, segi iman sebagai
suatu kepercayaan yang mendalam kepada Allah diungkapkan dengan istilah percaya
“akan Allah” (credere Deo). Segi iman
ini disebut oleh para teolog klasik sebagai fides
qua creditur (fides qua), atau iman yang olehnya kita percaya.[14]
Ketiga adalah dimensi perilaku. Ketika
seseorang mempercayai Allah dan menaruh kepercayaan penuh kepada Allah, maka ia
bertekad untuk melakoni suatu cara hidup dan cara bertindak yang sesuai dengan
tindakan Allah sendiri yang penuh rahmat, cinta kasih dan adil. Jadi karena
Allah diakui sebagai pencipta dunia misalnya, dan merupakan sahabat dan
kekuatan kita untuk melalui semua petualangan dan kesulitan hidup, maka kita
sampai kepada kesadaran bahwa kita tidak perlu hidup dalam ketergantungan pada
kekayaan, prestise atau kekuasaan dan
senantiasa bertekad dan hidup dengan cara yang demikian. Segi iman ini desabut
“percaya kepada Allah” atau Credere In
Deum.[15]
2.3 Iman Menurut
Kitab Suci
2.3.1 Perjanjian
Lama
Dalam
pewartaan para nabi dari abad VIII sampai abad VI SM, amanat tentang kedatangan
Allah merupakan pusat pemberitaan mereka. Menurut Perjanjian Lama, iman adalah
kesetiaan sebagai kepercayaan yang berdasar pada janji-janji Allah yang tak
tergoyangkan itu secara antisipatif
berorentasi kepada eskaton.[16]
Dalam Kitab Suci, iman berarti: Allah berbicara. Pembicaraan itu khususnya
terjadi melalui peristiwa sejarah umat-Nya. Makna dari peristiwa itu diartikan
dan dimaklumkan para nabi. Iman dalam Perjanjian Lama sebagai sikap manusia
menanggapi wahyu Allah dapat dilukiskan sebagai berikut:
Pertama-tama,
iman berarti mendengarkan sabda Allah. Allah menyapa dan mewahyukan diri kepada
manusia dengan sabda-Nya, dan dalam menghadapi sabda pewahyuan Allah itu
manusia harus bersikap mendengarkan terlebih dahulu. Ketika Allah memanggilnya,
Samuel menjawab: “berbicaralah, hamba-Mu mendengarkan (bdk. 1 Sam 3:10).[17]
Kedua, sikap beriman mengandaikan kehendak yang
secara aktif mendengarkan apa yang difirmankan Allah, lalu kemudian
meresapkannya ke dalam hati dengan penyerahan diri yang total, taat dan patuh
kepada firman Allah sedemikian rupa sehingga kepatuhan budi dijelmakan ke dalam
kepatuhan tingkah laku yaitu menaati perintah Allah. Sikap itu ditunjukan oleh
Abraham ‘Bapa orang beriman’ (Kej 12:1.4a).
Ketiga,
orang yang telah mendengarkan sabda
Tuhan dan menaati perintah-Nya, harus tetap setia dalam melaksanakan kehendak
Allah. Dengan setia, orang beriman harus hidup sesuai dengan tuntutan
Perjanjian.[18]
Turun-temurun para nabi mengajak umat agar senantiasa memperbarui kesetiaannya
kepada YHWH dalam situasi yang terus-menerus berubah. (Hos 6:6; Yer 5:1-9;
9:2-5; 22:15; Mi 6:8).[19]
Keempat,
beriman dalam Perjanjian Lama juga berarti menaruh percaya pada janji Allah.
Dalam Perjanjian Lama, wahyu mendapat bentuk konkret dalam Hukum Taurat dan
dalam janji keselamatan. Oleh karena itu iman memperoleh bentuk nyata bukan
hanya dalam ketaatan dan kesetiaan, tetapi juga dalam kepercayaan akan
penggenapan janji Allah. Percaya bahwa Allah akan menggenapi apa yang dijanjikan-Nya.[20] Iman dalam Perjanjian Lama adalah iman yang
monoteis, hanya percaya mutlak kepada Yahwe. Yahwe menuntut bangsa Israel untuk
tidak percaya kepada allah-allah yang lain. Andalan atau yang diharapkan
satu-satunya adalah Tuhan. Dalam Perjanjian Lama Abraham menjadi prototipe iman yang sejati. Seluruh
hidup Abraham membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh percaya kepada Allah dengan
iman yang mendalam. Mengenai Abraham tertulis, “Percayalah ia kepada Tuhan,
maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Kej. 15:6).[21]
Dapat dikatakan bahwa iman dalam
Perjanjian Lama dengan jelas merupakan suatu sikap eksistensial yang menyangkut
seluruh pribadi dan bukan merupakan suatu persetujuan akal budi pada
kebenaran-kebenaran yang disampaikan kepadanya. Kebenaran yang dijawab iman
dalam Perjanjian Lama ialah Allah sendiri dalam keilahian-Nya sebagai dasar
yang dapat diandalkan dan manusia menjawab dengan mendasarkan diri seutuhnya di
atas dasar itu, tanpa mencari dasar lain.
2.3.2 Perjanjian
Baru
Dalam
Perjanjian Baru iman berhubungan dengan karya penyelamatan Allah dalam Kristus.
Iman berarti percaya tanpa syarat kepada Yesus. Dalam Yoh. 3:16 dikatakan
“setiap orang yang percaya kepada-Ku tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal”. Iman kepada Kristus adalah satu-satunya jalan yang menghantar manusia
kepada keselamatan.
Menurut
Injil Sinoptik, iman artinya mendengar, memahami dan bertobat. Pertama-tama
Kristus mewartakan kabar gembira (Mrk. 1:14-15). Pewartaan itu diterima lalu
dilanjutkan oleh para rasul (Mrk. 16:15-16, Mat. 28:19-20). Barang siapa
bertelinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar (Mrk. 4:9). Kabar gembira
yang diterima dari Kristus haruslah diterima dengan sikap percaya. Sikap
percaya itulah yang harus ditampakkan dan diwartakan dalam keseharian hidup
(Mrk. 4:20, Luk. 8:21, 11:28). Selanjutnya, oleh kepercayaan yang ada itu orang
berbalik kepada Allah dengan seluruh pribadinya, sambil membina sikap batin
untuk melaksanakan sabda itu. Di sinilah ada dimensi hidup baru. Dalam Injil
sinoptik juga iman sering dihubungkan dengan penyembuhan. Yesus berkata kepada
perempuan yang menjamah jubah-Nya di tengah-tengah orang banyak, “tetapi
teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Mat.
9:20). Markus mencatat perkataan Yesus, “tidak ada yang mustahil bagi orang
yang percaya” (Mrk. 9:23). Begitu juga Yesus berkata bahwa seseorang melakukan
pekerjaan besar, sekiranya mempunyai iman kendati hanya sebesar biji sesawi
(Mat. 17:20; Luk. 17:6). Jelas, Yesus menuntut iman tertuju kepada diri-Nya
sendiri.[22]
Injil
Yohanes secara lebih tegas menyajikan pewahyuan diri Allah dalam pribadi Yesus
Kristus sedemikian rupa sehingga hanya dapat dijawab dengan satu kata “ya” yang
total atau dengan suatu “tidak” yang total. Kehadiran Yesus dan sabda-Nya
setiap kali menyebabkan para pendengar terbagi antara yang menerima dan
menolak-Nya (Yo 6:60-71; 7:25-36). Iman berarti pilihan untuk memihak Yesus dan
menerima sabda-Nya.[23]
Dalam
Kisah Para Rasul iman diartikan sebagai sikap batin yang menyeluruh, artinya
sikap itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan manusia kepada diri
Yesus. Sikap iman menurut Kisah Para Rasul adalah sikap taat dan melekat kepada
Kristus secara total dan mutlak (Kis. 3:16; 9:42; 11:17; 16:31).[24]
Santo
Paulus mengartikan iman sebagai mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus,
yaitu dalam pelaksanaan rencana keselamatan manusia dalam inkarnasi, hidup dan
pewartaan serta wafat dan kebangkitan Kristus (1 Kor 1:17-30, 2:1-4).[25]
Bagi Paulus, iman adalah jawaban yang tepat terhadap sabda dan injil, sehingga
manusia mengenal rencana penyelamatan yang dilaksanakan Allah dalam sengsara,
wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Di sini perlu dimengerti bahwa yang
dimaksudkan Paulus dengan sabda adalah diri Kristus sebagai Tuhan dan
Penyelamat. Sedangkan Injil adalah berita tentang Kristus, Penyelamat, yang
lazim dikenal dengan kabar gembira.
Menurut Kamus Teologi iman
dimengerti sebagai kebenaran objektif yang diwahyukan, yang dipercaya (fides quae) atau penyerahan diri secara
pribadi kepada Allah (fides qua).
Orang dapat beriman karena bantuan Roh Kudus (Kis. 16:14; 2 Kor. 3:16-18). Iman
ialah tanggapan bebas, bertanggung jawab dan utuh[26].
Dengan iman kita mengakui kebenaran mengenai Pewahyuan Ilahi yang defenitif
dalam diri Kristus (Yoh. 20:31; Rm. 10: 19), dengan taat mengikatkan diri kita
(Rm. 1:5; 16:26) dan memercayakan masa depan kita kepada Allah (Rm. 6:8; Ibr.
11:1).[27]
2.4 Iman Menurut
Para Bapak Gereja
2.4.1 Irenius
dari Lyon
Irenius
mengembangkan paham iman dalam usaha untuk melawan gnostisisme yang berkembang
pada masanya. Ia mendasarkan iman pada Wahyu Allah dalam sejarah dunia. Irenius
mengaitkan iman Kristiani secara lebih erat hubungannya dengan wahyu biblis.
Hubungan itu tampak dalam tiga hal berikut. Pertama, iman kepercayaan
diartikannya sebagai tindakan mengikuti Kristus dan menyerahkan diri
kepada-Nya. Kedua, tokoh Abraham dalam Perjanjian Lama dalam sikap berimannya
menjadi teladan iman dalam karya Irenius. Ketiga, tindakan logos sebagai
Pewahyu merupakan theologumenon yang
paling penting.[28]
2.4.2 Klemens
dari Alexandria
Klemens
dari Alexandria merupakan seorang apologet terkemuka yang hidup antara tahun
150-205. Pemikirannya lebih terbuka bagi aneka agama dan filsafat bukan Kristen
sebagai cara memahami kekayaan iman Kristen. Baginya pengenalan dengan filsafat
dan agama-agama lain dapat berfungsi sebagai persiapan bagi Injil, karena setiap
kebijaksanaan yang mengajarkan kebenaran dapat dipahami sebagai yang berasal
dari Allah.[29]
Tentang iman menurutnya berarti
mendengarkan Logos di mana Logos dipandang sebagai lanjutan dari
YHWH dalam sejarah keselamatan. Allah dikenal oleh rahmat sabda-Nya yang adalah
pewahyu. Iman kepercayaan disebut sebagai keputasan bebas, praduga yang berakar
pada kodrat manusia dan persetujuan iman. Iman terarah kepada pengenalan akan
Allah yang besifat memandang Nan Ilahi. Tatapan ini dimungkinkan karena Logos telah menjelma menjadi manusia sehingga
di samping kedengaran juga kelihatan.
2.4.3 Origenes
Origenes
menggunakan filsafat platonis untuk menjelaskan pandangannya menyangkut
teologi. Bagi Origenes Allah itu benar-benar transenden, mengatasi semua
perubahan dan melampaui segala waktu. Manusia diciptakan untuk menikmati
transendensi Allah. Tetapi bila manusia
menyimpang dari kontemplasi akan Yang Ilahi, manusia jatuh dalam dosa, akan
tetapi rahmat Ilahi menolong manusia untuk kembali menemukan jalan pulang
menuju keutuhan dan Yesus Kristus diberikan kepada manusia sebagai cara agar
akal budi yang terbatas bisa menangkap realitas Allah yang tak terbatas.[30]
Menurut Origenes, iman kepercayaan
ialah Sabda Kitab Suci yang menyapa kita manusia. Origenes berusaha memperluas
pengalaman beriman Kristiani menjadi ajaran untuk mengenal Allah sedemikian
rupa sehingga ajaran Kristiani sama derajadnya dengan theoria filsafat Yunani-kuno, platonisme tengah dan neo-platonisme.
Sebagai contohnya ialah peristiwa Gunung Tabor di mana ketiga murid Yesus memandang
Yesus dalam kemuliaan-Nya, ditunjukkan bahwa kita di dunia ini sudah dapat
memandang Tuhan dalam kemuliaan-Nya apabila iman didalami dan ditingkatkan
sampai pada taraf pengelihatan mistik
2.4.4 Thomas
Aquinas
Menurut
Thomas Aquinas iman dimengerti sebagai asssentire
primae veritati menyetujui kebenaran pertama. Baginya iman
mempunyai suatu aksen intelektual, merupakan suatu tindakan yang dilakukan
intelek manusia. Namun iman tidak hanya tindakan intelek saja melainkan intelek
harus digerakkan oleh kehendak supaya ia setuju. Dengan demikian, oleh adanya
unsur kehendak dalam aktus iman, maka kebebasan iman terjamin.[31]
Iman bagi Thomas
Aquinas meliputi komitmen pada pernyataan diri Allah (fides qua), dan juga suatu persetujuan akan kebenarannya (fides quae). Suatu aktus manusia yang
hanya bisa berkenan kepada Allah kalau aktus itu berasal dari kehendak bebas
yang digerakkan oleh rahmat Allah, sehingga iman yang membenarkan harus
merupakan suatu tindakan akal budi yang menyetujui kebenaran Ilahi oleh karena perintah kehendak yang
digerakkan Allah melalui rahmat.[32]
2.5 Iman Menurut Konsili Vatikan I
Pertama-tama
yang perlu diingat adalah bahwa pandangan Konsili Vatikan I ingin melawan dua
extrim dalam iman, yaitu: Fideisme[33]
dan Rasionalisme[34].
Melawan Rasionalisme, Konsili menyatakan bahwa apa yang diwahyukan oleh Allah
itu kita imani sebagai benar, bukan karena kebenarannya yang intrinsik itu
dilihat dengan terang kodrati akal-budi melainkan karena wibawa Allah yang
mewahyukannya, dan bahwa iman yang menyelamatkan itu tidak mungkin tanpa
“penerangan dan ilham Roh Kudus”.[35]
Melawan
Fideisme, Konsili menegaskan bahwa
ketaatan iman itu harus selaras dengan akal budi, dan itulah sebabnya Allah
menyediakan bermacam-macam tanda, khususnya mujizat dan nubuat yang
memungkinkan kta mengakui bahwa wahyu berasal dari Allah. Oleh karena itu
penyetujuan yang kita lakukan dalam iman kepercayaan sama sekali tidak bersifat
dorongan buta.[36]
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa menurut Konsili Vatikan I, beriman berarti percaya
bahwa sesuatu hal benar (Vere Esse
Credere). Iman merupakan penerimaan kebenaran-kebenaran oleh akal manusia
berdasarkan pemberitahuan dari pihak Allah yang mewahyukan kebenaran tersebut.[37]
2.6 Iman Menurut Konsili Vatikan II
Konsili
Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum
artikel 5 dan 6, memandang iman secara lebih menyeluruh dan dalam konteks yang
baru. Konteks ini adalah pengertian yang lebih mendalam tentang wahyu yang
tidak hanya dilihat sebagai penyampaian kebenaran-kebenaran tentang dan dari
Allah, melainkan terutama sebagai komunikasi diri Allah sendiri yang mencapai
puncak dan bentuknya yang sempurna dalam diri Yesus Kristus, sabda Allah yang
menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Wahyu berarti suatu pendekatan
pribadi dari Allah demi keselamatan manusia. Allah sebagai pribadi mendekati
pribadi manusia untuk suatu interaksi pribadi, suatu persahabatan yang
membahagiakan dan membebaskan manusia dari kemalangan dan ketakutan.[38] Iman tidak dilihat sebagai suatu sikap yang
menyangkut akal budi manusia, yang harus menerima kebenaran yang tidak dapat
dipahami, melainkan iman dilihat sebagai sikap pribadi manusia yang tinggal
dekat pada Tuhan yang ingin menyertainya. Sesuai dengan pengertian tentang
wahyu, iman ditentukan sebagai sikap eksistensial, dalamnya manusia menerima
tawaran persahabatan Allah dan menjawabnya dengan suatu cara hidup baru,
sebagai anak Allah bukan lagi sebagai budak dosa.
Konsili
Vatikan II juga melihat tindakan beriman sebagai tindakan bebas menyerahkan
diri seutuhnya kepada Allah, Sang Pewahyu yang telah menganugerahkan diri-Nya
kepada manusia. Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab dan menanggapi
wahyu Allah. Jawaban itu meliputi seluruh pribadi manusia, tidak hanya salah
satu kemampuannya, misalnya akal budi dan kehendaknya.[39]
Iman
tidak hanya merupakan persetujuan terhadap suatu kebenaran, tetapi juga
terlebih dahulu penyerahan diri kepada pribadi Allah. Istilah ketaatan iman
(Rm. 16:26) diartikan oleh Konsili Vatikan II secara personal sebagai jawaban
bebas dari pihak manusia yang menanggapi secara positif pernyataan diri Allah.
Dalam jawaban itu, manusia menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tahu dan mau,
dengan segenap jiwa dan raganya, dengan seluruh hati dan segala kekuatannya.
2.7 Iman Menurut Katekismus Gereja Katolik
Dalam
Ketekismus Gereja Katolik nomor 28 disebutkan bahwa iman adalah keutamaan
adikodrati yang mutlak perlu bagi keselamatan. Iman adalah anugerah cuma-cuma dari
Allah dan tersedia bagi semua orang yang dengan rendah hati mencarinya.
Tindakan iman adalah tindakan manusiawi, yaitu tindakan dari intelek manusia
yang terdorong oleh kehendak yang digerakan oleh Allah dan dengan bebas
mengamini kebenaran Ilahi. Iman juga pasti karena mempunyai dasar pada sabda
Allah. Iman bekerja “oleh Kasih” (Gal. 5:60), dan iman berkembang terus menerus
dengan mendengarkan sabda Allah dan doa. Dengan iman, bahkan sekarang ini juga,
orang mencecap kegembiraan surga.[40]
BAB
III
PENGERTIAN
KEBUDAYAAN
3.1 Arti Kata
Kebudayaan
Istilah
“budaya” berasal dari kata “budh”
(bahasa sansekerta) yang berarti akal. Kata “budh”
kemudian menjadi kata “budhi”
(tunggal) dan “budhaya” (majemuk),
sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.
Istilah kebudayaan dalam bahasa Jerman Kultur,
dalam bahasa Belanda Cultuur, bahasa
Inggris, juga disebut “culture”, yang
berasal dari kata dalam bahasa Latin “cultura”.
Akar kata cultura” ialah “colere” yang berarti mengerjakan tanah,
mengolah, memelihara ladang, “berkembang” atau tumbuh.[41]
Seluruh kata-kata tersebut mengandung pengertian dasar “mengolah atau
mengembangkan” kehidupan sehingga menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Di
sini kemudian muncul pemahaman standar bahwa kebudayaan tidak lain merupakan
segala bentuk aktivitas manusia dalam mengolah alam demi menyempurnakan
kehidupannya.[42]
Jan
W. M. Bakker menyebutkan istilah “kebudayaan” berasal dari kata “Abhudaya” (bahasa Sansekerta) yang
berarti hasil baik, kemajuan, kemakmuran yang serba lengkap. Istilah ini
dipakai dalam kitab Dharmasutra dan
dalam kitab-kitab agama Buddha yang menunjukan kemakmuran, kebahagiaan,
kesejahteraan moral dan rohani, maupun material dan jasmani, sebagai kebalikan
dari Nirvana atau penghapusan segala musibah untuk menjadi kebahagiaan dunia.[43]
3.2
Konsep Kebudayaan
3.2.1
Konsep Antropologi
Edward
Burnet Tylor mendefenisikan kebudayaan sebagai totalitas pengalaman manusia.
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, meliputi pengetahuan, keyakinan
atau kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas dan
kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan kata lain kebudayaan adalah semua yang didapatkan atau dipelajari oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.[44]
Kebudayaan dapat dilihat secara material maupun secara non material.
Kebudayaan material tampil dalam objek
material yang dihasilkan, kemudian digunakan manusia. Misalnya: dari alat-alat
yang paling sederhana seperti asesoris perhiasan, alat rumah tangga, pakaian,
sistem komputer, deasin arsitektur, mesin otomotif hingga pada instrumen untuk
penyelidikan besar. Sebaliknya kebudayaan non material adalah unsur-unsur yang
dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan/ keyakinan serta
bahasa.[45]
Selo
Sumarjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan
untuk masyarakat. Rasa yang meliputi
jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu
untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya
termasuk misalnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang
merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup
bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan. [46]
Koentjaranigrat
mengatakan, bahwa kebudayaan antara lain berarti keseluruhan gagasan dan karya
manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari
hasil budi dan karyanya.[47].
Dengan defenisi ini mau dikatakan bahwa seluruh tindakan adalah kebudayaan
karena hanya sedikit saja tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar misalnya naluri. Titik tolak
defenisinya ialah kata kebudayaan dari kata sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddi, yang berarti budi atau akal. Dengan ini, kebudayaan dapat
berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal dan juga budaya berkembang dari kata
mejemuk budi-daya, yang berarti daya
dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil
dari cipta, karsa dan rasa.[48]
C.A
Van Peursen mengatakan, bahwa dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai
manifestasi kehidupan setiap orang, dan kehidupan setiap kelompok orang-orang,
berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah
alam, melainkan selalu mengubah alam.[49]
Menurut
A. L.Kroeber dan C. Kluckhon kebudayaan terdiri atas berbagai pola bertingkah
laku, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh
simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari
kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi. Pusat
esensi kebudayaan terdiri atas tradisi dan cita-cita atau paham dan terutama
keterikatan terhadap nilai-nilai.[50]
Ernest
Cassirer, memahami kebudayaan manusia dalam konteks kodrat manusia sebagai
mahluk satu-satunya yang mengenal simbol, oleh karena itu Cassirer
mendefenisiksan manusia sebagai animal
simbolicum.[51]
Kemampuan mengenal simbol adalah “differentia
spesifica” yang membedakan manusia dengan mahluk infrahuman. Simbol adalah
hal yang menandai manusia dalam pembedaannya dengan binatang. Binatang pada
taraf yang lebih tinggi hanya mengenal tanda, sedangkan manusia mengenal
simbol. Karena adanya simbol, maka manusia menciptakan suatu dunia kultural, di
mana terdapat bahasa, mitos, agama, kesenian dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan
dalam konteks ini adalah usaha manusia untul memahami diri sendiri dan usaha
memecahkan persoalan-persoalan melalui kreasi akal budi dan penggunaan simbol.[52]
Secara
praktis kebudayaan merupakan sistem nilai dan gagasan utama (vital). Sistem nilai dan gagasan utama
itu dihayati benar-benar oleh para pendukung kebudayaan yang bersangkutan dalam
kurun waktu tertentu, sehingga mendominasi keseluruhan masyarakatnya. Dapat
dikatakan pula, bahwa sistem nilai dan gagasan utama itu memberikan pola untuk
bertingkah laku. Sistem nilai dan gagasan utama sebagai hakekat kebudayaan
terwujud dalam sistem kebudayaaan terperinci, yaitu sistem ideologi, sistem sosial
dam sistem teknologi. Sistem ideologi meliputi etika, norma, adat istiadat,
peraturan hukum yang berfungsi sebagai pengarahan untuk sistem sosial dan
berupa interpretasi operasional dari sistem nilai dan gagasan utama yang
berlaku dalam masyarakat. Sistem sosial
meliputi hubungan dan kegiatan sosial di dalam masyarakat, baik yang
terjalin di dalam lingkungan kerabat, maupun yang terjadi dengan masyarakat
yang lebih luas serta pemimpin-pemimpinnya. Pengendalian masyarakat dan
pemimpin berkembang dengan nilai budaya dan gagasan yang berlaku. Sistem
teknologi meliputi segala perhatian serta penggunaannya, sesuai dengan budaya
yang berlaku. Dalam kebudayaan yang terutama agraris, misalnya sistem teknologi
sesuai dengan keperluan pertanian.
3.2.2 Konsep Teologis Tentang Kebudayaan
3.2.2.1 Gaudium et Spes Tentang Kebudayaan
Gaudium et Spes artikel 53, menyatakan
bahwa: Pada umumnya dengan istilah kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan
upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan
jiwa-raganya. Ia berusaha menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih-payahnya.
Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat,
lebih manusiawi melalui kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di
sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan
pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasi yang besar melalui
karya-karyanya, supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang, bahkan segenap
umat manusia.[53]
3.2.2.2
Aspek Relasi Antara Kebudayaan dan Iman
3.2.2.2.1
Iman dan Kebudayaan Dalam Sejarah Teologi
Dalam
mengemukakan pandangan para bapak Gereja tentang iman dan relasinya dengan
kebudayaan, dalam sejarah teologi, hanya dikemukakan pemikiran dari Santo
Thomas Aquinas dan Santo Yustinus Martir.
Pertama,
Yustinus Martir, tentang Logos
Spesmatikos. Pandangan Yustinus Martir tentang logos spermatikos merupakan suatu pembelaan dan sekaligus uraian
iman akan Kristus berhadapan dengan para pemikir Yahudi dan Yunani yang
memahami kekristenan secara keliru. Yustinus menggunakan tema logos secara luas. Pada zamannya istilah
logos telah memiliki makna filosofis
yang dalam dan spesifik. Logos bisa
berarti kata, sabda, firman. Makna yang lebih mendalam dari logos yakni “pikiran” dari mana mengalir gagasan dan konsep-konsep.
Lebih lanjut logos bemakna “pikiran”
dalam Yang Mutlak, yaitu gagasan terakhir keberadaan segala sesuatu, asal mula
alam semesta digagaskan, diciptakan dan ditopang keberadaannya, yaitu akal budi
tertinggi yang tak pernah keliru. “Akal Budi Tertinggi” inilah yang senantiasa
menopang seluruh keberadaan kosmos.[54]
Peristiwa
Yesus dari Nasaret adalah peristiwa Allah yang menjadi manusia. Allah telah
masuk dalam dunia sekaligus melampaui dunia. Yustinus mengidentifikasikan Yesus
Kristus dengan logos. Dalam
pemakluman Kristus yang tersalib sebagai logos,
ditegaskan peranan Yesus Kristus dalam alam semesta. “Pikiran” yang menuntun
alam semesta itu tidak lain adalah Kristus yang tersalib. Kehadiran Logos dalam diri Yesus Kristus sangat
khusus, karena Logos dalam diri Yesus
Kristus itu lahir dari Allah sebagai Logos
dari Allah.[55]
Maka barang siapa membiarkan diri dituntun oleh logos, tidak dapat tidak akan tiba pada pengakuan akan eksistensi
dari satu Allah pencipta alam semesta.
Hubungan atau relasi Logos
Spermatikos dengan kebudayaan oleh Yustinus dijelaskan sebagai berikut:
Kristus adalah Logos yang hadir dalam seluruh kosmos. Karena Logos itu diidenfikasikan dengan Kristus
maka menurutnya di setiap tempat dan zaman dalam sejarah umat manusia, bila
manusia hidup menurut yang “ideal” yaitu menurut Logos, maka secara implisit adalah kaum kristiani. Yustinus yakin
bahwa di dalam setiap manusia Logos
telah dicurahkan sebagai pikiran. Tetapi Logos
tersebut telah dinyatakan sebagai yang hadir secara utuh dalam Yesus Kristus.[56]
Sejauh Kristus adalah Logos ilahi, maka ia merupakan prinsip rasionalitas yang
dicurahkan ke atas seluruh alam semesta dan manusia. Kristus pula yang telah
mengilhami para pemikir di setiap zaman dan tempat dalam mengemukakan
pengetahuan dan kebenaran. Oleh karena itu, menurutnya setiap pemikiran
manusia, kebudayaan-kebudayaan dan agama walaupun memiliki nilai yang tinggi,
perlu dievaluasi berdasarkan ajaran Kristus, walaupun ajaran kebudayaan dan
agama lain memiliki kesamaan dengan ajaran Kristus, tetapi tidak sepenuhnya
sama. Ajaran Kristus merupakan norma untuk menilai segala seusatu yang lain.
Kedua ialah pandangan
Santo Thomas Aquinas tentang relasi iman dan kebudayaan. Thomas Aquinas dalam
pandangan teologisnya menyatakan bahwa manusia dari kodrat rasionalnya memiliki
kemampuan untuk mengenal Sang Pencipta melalui ciptaan-Nya. Pengenalan itu
sangat bervariasi seturut tradisi budaya dan religius manusia. Dalam
kekristenan pengenalan itu tidak hanya sampai kepada pengakuan atas adanya
Pencipta sebagai pengasal segala ciptaan, tetapi kekristenan telah menerima
wahyu Allah secara khusus dan sampai pada pengenalan akan Allah yang sifatnya
supernatural.[57]
Thomas Aquinas dari sudut pandang kristen menyebutkan adanya dalam kebudayaan
dan agama-agama manusia berbagai penyimpangan dan kekeliruan dalam memahami
Sang Pencipta dalam bentuk berhala-berhala, oleh karena itu ia menganjurkan
perlunya mengikuti kebenaran dengan setia. Dengan kesetiaan itu orang diantar
pada pengenalan akan Sang Pencipta yang sejati, baik melalui pengetahuan
kodrati maupun melalui wahyu kristen.
Bagi
Thomas Aquinas, iman hanya dapat dipahami manusia dalam keberadaannya sebagai
ciptaan. Sejauh manusia adalah mahluk jasmani-rohani, manusia mengungkapkan
imannya berdasarkan pada wahyu supernatural. Dengan demikian, iman kristen
dapat dihubungkan dengan kebenaran-kebenaran yang dikenali dan dihidupi oleh
kaum non-kristen. Kebenaran-kebenaran yang umum itu dapat menjadi titik tolak
pewartaan kristen.[58]
St. Thomas tetap pada prinsipnya bahwa kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam
agama-agama non-kristen itu merupakan antisipasi yang benar walaupun tidak
sempurna atas kebenaran kristen. Hanya ketika berjumpa dengan kebenaran ilahi
dalam revelasi kristen, semua kebenaran lain diangkat dan disempurnakan. Thomas
Aquinas mangakui bahwa agama-agama non-kristen atau kebudayaan-kebudayaan lain
masih dalam tingkatan yang kodrati, dan semuanya masih berada dalam tingkatan
yang belum sempurna. Semuanya itu tidak berakhir di dalam dirinya sendiri
melainkan bergerak menuju tujuan supernatural yang dijumpai dalam Kristus.
Pada
dasarnya Thomas Aquinas mengakui kemungkinan keselamatan bagi orang-orang lain
dari setiap kebudayaan, dengan menempatkannya dalam kerangka universalitas
rencana penyelamatan Allah. bagi orang-orang yang sungguh-sungguh melaksanakan
kehendak Allah dengan menghidupi keutamaan berupa kebenaran dan kebaikan
walaupun tidak mendapat pewartaan kristen, menurut Thomas Aquinas, Allah
sendiri akan menujukkan kepada mereka apa yang seharusnya mereka imani, sperti
yang terjadi pada Kornelius (Kis.10), atau melalui revelasi batiniah, maka
setiap orang memiliki kemungkinan melaksanakan tindakan iman dengan bebas dan
dapat mencapai keselamatan.
3.2.2.2.2
Inkulturasi Dalam Teologi Modern
Konsep
inkulturasi pertama kali digunakan oleh Pierre Charles, seorang misiolog
Perancis. Ia menerjemahkan ungkapan Amerika “enkulturation”
yang memiliki hubungan dengan instilah Jerman “sozialization” (intergrasi ke dalam budaya suatu masyarakat),
dengan kata-kata baru dalam bahasa Perancis “inkulturation”.
Pada tahun 1962, lewat karya Yoseph Masson, istilah ini muncul lagi dengan
sedikit modifikasi. Pada era Vatikan II ia memperkenalkan suatu “katolisisme
inkulturatif” yaitu suatu ketebukaan Gereja terhadap segala budaya. Kata
inkulturasi akhirnya mendapat tempat dalam dokumen kepausan bermula dalam “Catechesi Tradendae” 1979, dengan arti
yang tetap dipertahankan sampai saat ini yaitu inkarnasi kabar gembira Yesus
Kristus tentang kedatangan Kerajaan Allah ke dalam suatu kebudayaan manusia.[59]
Peristiwa
inkarnasi menjadi model bagi inkuturasi. Inkulturasi Kristen dilaksanakan dalam
analogi dengan inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia. Allah yang
universal, yang berada di atas dan dalam semua kebudayaan memperlihatkan diri
lewat medium suatu kebudayaan yang konkret dan defenitif.[60]
Yesus lahir pada sauatu waktu tertentu, di suatu tempat tertentu, dan
berintegrasi dalam suatu budaya tertentu yaitu kebudayaan Yahudi Palestina 2000
tahun yang lampau. Warta universal keselamatan Allah yang dimaklumkan dalam
diri Yesus Kristus, dialamatkan kepada manusia dari suatu kebudayaan tertentu,
yang hanya dapat menanggapi warta itu dalam kebudayaan mereka sendiri.
Dalam Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI mengemukakan persoalan hubungan
antara Kerajaan Allah yang diwartakan dengan kebudayaan-kebudayaan sebagai berikut:
“Injil,
karena itu juga pewartaan Injil, jelas tidak identik dengan kebudayaan: dan
keduanya tidak tergantung dari semua kebudayaan. Meskipun begitu kerajaan yang
diwartakan oleh Injil dihayati oleh orang-orang yang secara mendalam terikat
pada kebudayaan. Kerajaan tidak dapat
dibangun secara lain kecuali dengan meminjam unsur-unsur kebudayaan atau
pelbagai kebudayaan manusiawi. Kendati tidak bergantung dari kebudayaan-kebudayaan,
Injil maupun pewartaan Injil tidak niscaya selaras dengannya. Bahkan keduanya
mampu merasuki semua kebudayaan itu tanpa menjadi terbawa kepada kebudayaan
manapun”[61].
Inkuturasi Gereja adalah integrasi
pengalaman Kristen dari suatu Gereja lokal ke dalam kebudayaan umatnya
sedemikian rupa, sehingga pengalaman ini tidak hanya menyatakan dirinya dalam
unsur-unsur kebudayaan tersebut, tetapi menjadi suatu kekuatan yang menjiwai,
mengarahkan serta membaharui kebudayaan tersebut sampai menciptakan suatu
kesatuan dan persekutuan baru, tidak hanya dalam kebudayaan tersebut tetapi
juga sebagai pengayaan Gereja universal. Karena itu inkulturasi dapat
dimengerti sebagai relasi dinamis antara kabar gembira kristiani dengan suatu
kebudayaan atau kebudayaan-kebudayaan; suatu integrasi kehidupan kristen ke
dalam suatu budaya; suatu proses yang berkelanjutan dari interaksi dan
asimilasi yang kritis serta timbal balik.[62]
Di satu pihak pewartaan Sabda Tuhan harus menghormati semua kebudayaan, namun
di lain pihak ia juga harus mengubah kebudayaan-kebudayaan itu, karena
kebudayaan merupakan hasil karya manusia. Karena itu ia bersifat relatif, tidak
sempurna dan butuh penebusan. Hal ini
berarti, kalau dinilai seturut tuntutan Kerajaan Allah, inkulturasi pertama-tama
berarti warta kristiani disampaikan dan dihayati dalam satu kebudayaan lokal,
dan kedua bahwa kebudayaan lokal menjadi kristen atau dikristenkan.
Paus
Yohanes Paulus II juga menyinggung soal inkulturasi dalam ensiklik Redemptoris Missio artikel 20 sebagai
berikut:
Lewat
inkulturasi Gereja membuat Injil terinkarnasi dalam berbagai kebudayaan dan
pada saat yang sama memasukkan bangsa-bangsa, bersama dengan kebudayaannya, ke
dalam persekutuan Gereja. Gereja menyebarkan kepada bangsa-bangsa
nilai-nilainya, tetapi pada saat yang sama mengambil unsur-unsur yang baik yang
sudah ada dalam kebudayaan-kebudayaan itu dam membaharuinya dari dalam. Melalui
inkulturasi Gereja, pada pihaknya, menjadi tanda dan sarana yang lebih berhasil
guna”[63].
Kebudayaan secara
esensial bersifat dinamis, suatu proses yang terbuka kepada perubahan, maka di
sini inkulturasi tidak pernah selesai. Inkulturasi merupakan suatu proses yang
dapat memakan waktu yang lama dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
setempat yang berasal dari kebudayaan yang bersangkutan. Karena bilamana suatu
kebudayaan berjumpa dengan Injil, jika ada interaksi yang benar, baik
kebudayaan maupun Injil harus berubah; kebudayaan berubah karena diarahkan oleh
suatu pesan baru dan simbol utama yang baru dan Injil berubah karena
diungkapkan secara lebih penuh, sehingga lebih lengkap dari satu-satunya wahyu
Roh Kudus.
3.2.2.2.3 Relasi Iman dan Kebudayaan Dalam Teologi
Kontestual
Stephen
B. Bevans mengajukan enam model teologis dalam perjumpaan antara iman Kristen
dan kebudayaan manusia. Enam model tersebut adalah:
3.2.2.2.3.1
Model Terjemahan
Model
terjemahan melihat kebudayaan secara cukup positif namun lebih terpusat pada
penyebaran amanat Injil secara setia. Karena itu ia melihat kebudayaan manusia
sebagai sarana, sebagai wahana penyebaran, alih-alih sebagai sesuatu yang baik
dalam dirinya sendiri[64].
Satu pengandaian utama model terjemahan ialah bahwa ada dalam Kekristenan satu
kandungan yang perlu diterjemahan ke
dalam bahasa-bahasa lain dan ke dalam istilah-istilah budaya lain. Yang
dibutuhkan dalam model terjemahan ini ialah terjemahan kreatif dan idiomatik.
Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dalam model terjemahan yaitu bahwa
betapapun kreatifnya, kandungan atau makna utama iman Kristen perlu dengan
segala cara dipertahankan.[65]
Di sini dapat dipakai istilah seperti ‘adaptasi’ dan ‘akomodasi’ untuk menerangkan
metode yang dikembangkan dalam model terjemahan ini. Kita dapat mengadaptasi
Injil ke dalam budaya lain; kita dapat mengakomodasi amanat Kristen ke dalam
satu konteks tertentu, namun dalam proses tersebut amanat Kristen yang kita
adaptasi, kita terjemahkan atau akomodasikan tidak terpengaruh.
Dalam Kosili Vatikan II, Ad Gentes artikel 11, dipakai metode kontekstualisasi ketika
berbicara tentang keterbukaan kepada harta kekayaan yang telah dibagikan Allah
kepada para bangsa. Tujuannya ialah “menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil,
membebaskannya dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah penyelamat”, dan
juga yang oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Redemptoris Missio 53 mengatakan; “maka kelompok-kelompok yang
telah diinjili menyediakan unsure-unsur yang membantu penerjemahan amanat Injil”.[66]
Dasar Kitab Suci dari model terjemahan ialah Kis 17:2-31,
yang mengisahkan pengalaman Paulus di Areopagus di Athena. Contoh dari model
terjemahan dalam tradisi Gereja adalah St. Sirilius 826-869 dan St. Metodius 827-885
yang memberitakan Injil di antara bangsa Slavia. Mereka menerjemahkan Alkitab
ke dalam bahasa Slavonia dan secara tepat ‘mengalihkan gagasan’ alkitabiah dan
paham teologi Yunani ke dalam konteks pemikiran dan pengalaman sejarah yang
sangat berbeda.
Dalam prakteknya model terjemahan pertama berbicara
tentang proses menemukan hakikat Injil dan kemudian membusanakannya dengan
pernak-pernik budaya atau konteks ke dalamnya seorang menterjemahkan hakikat
Injil. Untuk melakukannya seorang mesti mempelajari konteks dan mengetahuinya
secara mendalam, menguasai dengan baik bahasa lokal yang berkaitan meskipun
dalam usaha ini dalam beberapa hal konteks perlu disempurnakan dan disembuhkan
oleh rahmat keselamatan dari amanat Injil.
3.2.2.2.3.2
Model Antropologis
Model
antropologis memiliki dasar dalam Kitab Suci maupun dalam Tradisi. Kisah
tentang perempuan Kanaan (Mat. 15:21-28) dan perempuan Siro-Fenesia (Mrk
7:24-30) menunjukkan dengan jelas bahwa iman perempuan bukan Yahudi itu
benar-benar mengubah sikap Yesus terhadapnya. Dalam tradisi, satu frasa penting
dari Yustinus Martir yaitu bahwa di seluruh dunia, kita dapat menemukan
“benih-benih Firman”- atau Logos
Spermatikos yang menunjukkan kehadiran Allah dalam sejarah umat manusia
bahkan sebelum peristiwa inkarnasi[67].
Fokus
utama dari model antropologis ialah pembentukan atau pelestarian jati diri
budaya oleh seorang yang beriman Kristen, dan anggapan bahwa khazanah yang
seringkali tersembunyi dalam sebuah kebudayaan bisa saja menawarkan
kekayaan-kekayaan baru bagi pemahaman diri Kristen. Model antropologis ini
dipahami dalam dua arti yakni; pertama, bahwa pusat teologi adalah manusia;
kedua, bahwa model antropologis mendayagunakan sumber-sumber dari ilmu-ilmu
sosial yaitu etnografi atau antropologi.
Model antropologis ini dimulai dengan mendengarkan
kebudayaan secara saksama dalam upaya memindai kehadiran Allah, yang diyakini
telah berada di dalam kebudayaan bersangkutan bahkan sebelum kedatangan agama
Kristen. Ia akan berupaya menggali harta terpendam Kristus yang terkubur dalam
pakan dan lungsin berbagai pola dan nilai budaya. Tugasnya adalah memanggil
kebudayaan kepada jati dirinya yang paling dalam dengan menggunakan amanat
Injil yang mencerahkan dan pada akhirnya memurnikan[68].
3.2.2.2.3.3
Model Praktis
Model
ini dikembangkan secara khusus oleh jemaat-jemaat yang tengah berjuang bagi
pembebasan, terpusat pada matra-matra budaya yang terlibat dalam perubahan
sosial serta mengembangkan tafsir ulang atas kekristenan di tengah-tengah
tindakan reflektif yang mendukung perubahan demi perwujudan kaidah-kaidah
Kristen[69].
Dua alasan yang mendasari mengapa model praktis
dibicarakan adalah; pertama, wawasan kunci model ini adalah sentralitas praktis
yang adalah paduan antara refleksi atas aksi dalam sebuah spiral yang
berkelanjutan. Kedua, metode ini dapat dilakukan dalam situasi di mana terjadi penindasan. Metode praksis banyak di lakukan dalam metode
refleksi teologis pastoral. Ada tiga langkah refleksi teologis teologis
misalnya dari praktik bergerak ke dalam satu refleksi cermat atas analisis terhadap
pengalaman terhadap kebudayaan di mana pengalaman itu berlangsung serta tradisi
kristen yang memberinya kedalaman teologis.
Dasar Kitab Suci dari model praksis ini dapat dirujuk
pada Yes 1:15-17 yang menyerukan kepada orang-orang Israel untuk tidak hanya
berpikir benar tetapi juga mesti bertindak benar, dan juga dalam Surat Yakobus
1:12 “Hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja;
sebab jika demikian kamu menipu diri sendiri”.
Wahyu dalam bingkai model praksis mencakup satu amanat
konkret dan undangan untuk berelasi. Wahyu lebih dipahami sebagai satu
kehadiran Allah dalam dunia yang memberi isyarat kepada orang-orang percaya
untuk bergabung bersama Allah dalam karya pembebasan dan penyelamatan-Nya dalam
jalinan sejarah manusia dan kosmos. Manusia tidak hanya dipanggil untuk menjadi
mitra-mitra Allah.[70] Alkitab dan Tradisi yang adalah wahana Wahyu
lebih dilihat sebagai model-model aksi sekaligus memanggil orang-orang beriman
kepada kemitraan dengan Allah dan mengundang semua orang kepada pelayanan
profetis.
3.2.2.2.3.4 Model Sintesis
Model sintesis adalah model yang secara sadar mencoba
memadukan pendekatan terjemahan, sikap mendengarkan dengan sungguh-sungguh
dinamika epistemologis dari model praktis. Model sintesis ini senantiasa
terbuka terhadap model teologi-teologi kontekstual yang lain. Dasar dari model
sintesis dapat ditemukan dalam ensiklik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi;
Bila suatu Gereja setempat
semakin terikat pada Gereja universal dengan ikatan-ikatan yang kokoh dalam
persatuan, cinta kasih dan kesetiaan, dalam sikap terbuka terhadap Magisterium
Petrus, dalam kesatuan lex orandi yang juga merupakan lex credendi, dalam
keinginan untuk bersatu dengan Gereja-Gereja yang lain yang mewujudkan
keseluruhan – maka Gereja semacam itu semakin mampu menerjemahkan harta
kekayaan iman dalam ungkapan-ungkapan yang sah, yang bermacam-macam. Ungkapan
tadi berupa pengakuan iman, doa, ibadat, hidup kristiani dan tingkah laku
kristiani dan pengaruh rohani pada orang-orang dimana mereka tinggal. Maka
Gereja itu akan juga semakin mewartakan Injil dengan sungguh-sungguh, yaitu
semakin mampu menarik harta warisan yang universal agar memungkinkan umat
mereka sendiri memperoleh keuntungan darinya, dan juga mampu mengkomunikasikan pada
Gereja universal pengalaman dan hidup umat ini, demi kepentingan semuanya.[71]
Kutipan di atas berbicara dalam bingkai menerjemahkan
iman ke dalam konteks-konteks budaya lain, tetapi tampak bahwa ia melampaui
model terjemahan dalam arti bahwa ia mengakui fakta bahwa proses kontekstual
melibatkan hubungan timbal balik di antara kebudayaan-kebudayaan di satu sisi
dan di sisi lain tersirat gagasan dalam proses itu berkaitan dengan aksi, dan
karenanya merujuk pada model praksis.
Metode dasar model sintesis adalah dialog dengan tradisi,
dengan konteks. Dialog itu adalah suatu keterampilan yang menuntut displin
ketat di satu sisi dan kreativitas yang sangat luas di sisi lain. Dalam analogi
model sintesis seperti: tidak cukup merawat tanaman; seorang yang ingin mendapatkan
yang terbaik dari semua tanaman itu, karena itu harus bekerja untuk
menghasilkan tanaman yang unggul. Dengan cara ini, setiap tanaman dikenali
karena mutunya yang terbaik, namun hasilnya adalah sesuatu yang berasal dari
mutu berkerja yang paling efektif.[72]
Kekuatan model sintesis terletak pada pendekatannya terhadap teologi sebagai
suatu percakapan yang jujur di antara
semua mitra. Model sintesis mendengarkan semua suara, terbuka kepada
semua unsur yang masuk ke dalam proses teologis.
3.2.2.2.3.5
Model Transendental
Istilah
transendental ini mengacu pada pemikiran filsuf Immanuel Kant. Model
transendental mendeklarasikan sentralitas pribadi manusia dalam tindak
mengetahui. Seorang hanya tahu ketika ia menimbang semua bukti dan sampai pada
satu penilaian pribadi tentang kebenaran. Objektivitas bukan sesuatu yang hanya
ada di luar, melainkan suatu yang dinyatakan kepada seseorang ketika ia membuka
diri kepada pengalaman, kepada berbagai argumen dan terutama kepada dorongan
yang mendalam untuk memahami yang menjadi kemampuan khusus akal budi manusia. Pengetahuan
objektif, pengetahuan real dapat diperoleh hanya dengan menggapai subjektifitas
sejati[73].
Yang terpenting dalam model ini bukan pada apa yang dihasilkan seseoarang atau
apa yang objektif, sebaliknya yang terpenting adalah subjektifitas sejati
sebagai seorang beriman, dan kesejatian sebagai seorang pribadi dalam satu
koteks budaya dan sejarah yang sangat khas. Dasar Kitab Suci pendekatan model
transendental adalah Injil Markus 2:21-22, di mana Yesus menceritakan dua
perumpamaan tentang kain yang belum susut yang tidak dapat digunakan untuk
menambal baju yang tua dan kantong kulit yang tua tidak dapat menyimpan anggur
baru. Apa yang sedang dibawa Yesus adalah sesuatu yang dapat dipahami hanya
dengan perubahan pikiran secara total melalui pertobatan.
Wahyu
dalam model transendental dipahami sebagai satu kehadiran pribadi yang dijumpai
dalam satu pangalaman pribadi lagi subjektif. Seorang membaca Kitab Suci dan
mempelajari tradisi dan ia menemukan orang lain seperti dirinya yang mengalami
dan menggumuli kehadiran Allah. Kisah mereka adalah kisah saya dan kisah saya
adalah kisah mereka walaupun keduanya berasal dari waktu dan konteks yang
berbeda. Melalui pengalaman mereka tentang kehadiran pribadi Allah dan undangan
untuk berelasi, seorang menemukan kehadiran dan undangan Allah itu dalam
kehidupannya sendiri. Kitab Suci dan
Tradisi senantiasa menerangi dan menentang hidup orang kristen tatkala
hidup mereka terbuka kepada cara-cara baru untuk memahami iman akan Kristus.
Maka
konteks seseorang berbagi pengalaman pribadinya, kebudayaannya, lokasi dan
situasi sosialnya adalah tempat di mana ia menjumpai Allah, karena konteks itu
pada dasarnya baik dan transendental. Semakin jauh seorang masuk ke dalam
dirinya sendiri dan menemukan jati dirinya sendiri sebagai orang beriman dan
subjek yang unik melalui pengalaman budaya dan lokasi sosialnya, semakin banyak
pula ungkapan iman yang membantu orang lain menemukan kesejatian mereka sendiri
sebagai seorang beriman dan subjek budaya. Maka dapat disimpulkan bahwa model
transendental terpusat pada individu yang otentik beserta kemampuannya untuk
mencetuskan pemikiran kristen dan kebudayaan dalam perjumpaan dan dialog.
3.2.2.2.3.6
Model Budaya Tandingan
Model
budaya tandingan walau mengakui peran penting kebudayaan tetapi memandangnya
dengan kecurigaan yang besar sebagai sesuatu yang harus dikonfrontasikan dengan
Injil yang spesifik secara budaya namun absah secara universal. Model budaya tandingan
bukan sebagai hal menerjemahkan Injil ke dalam konteks kebudayaan tertentu
melainkan sebagai perjumpaan atau keterlibatan dengan budaya.
Model
budaya tandingan ini memiliki dasar dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Dalam
Kitab Suci, Injil Yohanes 3:16 berbicara tentang dunia dalam istilah positif,
tetapi juga di beberapa tempat lain dunia juga harus dilawan atau dihindari
(Yoh 3:17). Dalam surat pertama Yohanes 2:15 kita diingatkan “Janganlah kamu
mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia,
maka kasih Bapa tidak ada dalam diri orang itu”. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma
12:2, dikatakan orang-orang Kristen tidak boleh menjadi serupa dengan zaman
tetapi harus membaharui budi mereka dan melakukan apa yang baik, yang berkenan
dan sempurna[74].
Kitab Suci dan Tradisi memberikan manusia petunjuk tentang makna sejarah, dan
dalam arti itulah ia lengkap dan sudah selesai. Ia memberi kita semua yang
perlu kita ketahui, meskipun kita dapat bertolak lebih dalam ketika budaya-budaya
lain menawarkan pemahaman mereka sendiri tentang amanat Injil dan tafsiran atas
kisah Injil.
Metode
dari model budaya tandingan pertama-tama dimulai dengan mengakui keabsahan iman
kristen yang diejawantahkan dalam pengalaman masa lalu dalam Kitab Suci dan
Tradisi, sebagai petunjuk tentang makna manusia dan sejarah kosmos. Kisah ini
kemudian digunakan sebagai pedoman atau dasar untuk menafsir, menelisik,
membuka dan menantang pengalaman masa kini, konteks individu dan pengalaman
sosial, budaya manusia, lokasi sosial serta berbagai dinamika perubahan sosial.
3.3 Tahap-Tahap
Perkembangan Kebudayaan
Kebudayaan
berkembang melalui tiga tahap berikut yaitu pertama ialah tahap mitis. Yang
dimaksud dengan tahap mitis ialah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung
oleh kekuatan-kekuatan gaib yang ada disekitarnya, yaitu kekuasaan dewa alam
raya atau kekuasaan kesuburan. Tahap ini mencakup kebudayaan primitif, dimana ratio manusia belum atau kurang
berperan. Namun dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih nampak, yakni
pada tipe manusia yang masih mengandalkan hidupnya pada kekuatan-kekuatan gaib.[75]
Kedua
adalah tahap ontologis. Dalam tahap ontologis manusia tidak lagi hidup dalam
kepungan dunia mitis. Manusia secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal
yang ada dalam alam ini. Dalam tahap ini manusia mulai mengambil jarak terhadap
segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai hal yang gaib.[76]
Manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala
sesuatu Ilmu pengetahuan berkembang
dalam tahap ini.
Ketiga adalah tahap fungsional. Dalam tahap
ini manusia tidak hanya mengambil jarak terhadap objek-objek penyelidikannya.
Tetapi ia juga ingin mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam
lingkungannya. Sikap dan alam pikiran ini tampak dalam kehidupan manusia
kontemporer yang semakin menekankan perlunya hubungan dialogis yang baik dengan
sesama maupun dengan alam.[77]
3.4 Wujud dan Unsur Kebudayaan
Sebagai produk manusia,
kebudayaan adalah ekpresi eksistensi manusia sebagai mahluk historis.
Kebudayaan terdiri dari tiga wujud dan sembilan unsur. Sebagai ekspresi
eksistensi manusia, kebudayaan berwujud sesuai dengan corak dasar keberadaan
manusia. Tiga wujud kebudayaan yaitu terdiri
dari:
Pertama, adalah wujud
ide, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
kompleksitas sistem simbol, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain-lain
yang mengandung sistem makna yang abstrak. Kebudayaan ideal ini disebut pula
tata kelakuan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi
mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.[78]
Disebut wujud ide, karena sifatnya yang abstrak.[79]
Ia terdapat dalam pikiran manusia (masyarakat) di mana kebudayaaan yang
bersangkutan hidup. Menurut Koentjaraningrat, wujud ideal kebudayaan disebut
juga adat istiadat dan tata-kelakuan. Disebut tata kelakuan, karena fungsinya
sebagai pengatur, pengendali, dan pemberi arah bagi kelakuan dan perbuatan
manusia dalam masyarakat. Adat mempunyai beberapa lapisan, yaitu: sistem nilai
budaya, norma-norma, sistem hukum dan peraturan-peraturan khusus. Sistem nilai
budaya merupakan tingkat paling abstrak
dari adat. Yang dimaksud dengan sistem
nilai budaya adalah konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat
bernilai dalam hidup.[80]
Kedua,
wujud aktivitas atau produksi yang terungkap dalam berbagai institusi atau
lembaga ciptaan manusia. Hal ini mengenai tindakan berpola manusia itu sendiri.
Sistem ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi
satu sama lain dari waktu ke waktu yang selalu menurut pola tertentu.[81]
Manusia tidak hanya berpikir dan mencetuskan ide-ide, tetapi juga mampu
berusaha mewujudkan apa yang dipikirkan dan dicita-citakannya. Untuk itu
manusia harus melakukan pelbagai aktivitas. Manusia tidak hanya melakukannya
secara individual tetapi juga secara sosial melalui kerja sama dengan orang
lain dan dengan itu manusia berhasil mewujudkan cita-cita individual dan
sosialnya. Masyarakat dengan segala norma yang dimilikinya merupakan dasar
aktivitas manusia. Dalam suatu tatanan sosial manusia melakukan pelbagai
aktivitas budaya.
Ketiga,
wujud fisik atau produk budaya sebagai benda-benda material yang fisikal dan
konkret, yang ada dalam ruang dan waktu secara historis untuk menjawab segala
kebutuhan manusia.[82]
Wujud fisik ini berupa seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat
dengan sifatnya yang sangat konkrit berupa benda-benda material.[83]
Benda-benda material ini meliputi semua benda atau objek fisik hasil karya
manusia, seperti rumah, gedung-gedung, jalan, jembatan, mesin-mesin dan
sebagainya. Karena itu sifatnya paling konkret, mudah diobservasi. Kebudayaan
fisik merupakan hasil dari aktivitas sosial manusia.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut
mencakup Sembilan unsur atau elemen sistemik yang terdiri dari elemen sistem
komunikasi, sistem organisasi, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem kesenian, sistem religi, sistem permainan, dan
kuliner. Dengan demikian kebudayaan meresapi semua sektor kehidupan manusia.[84]
BAB
IV
RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG
DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES
ARTIKEL 57
4.1 Latar
Belakang Gaudium et Spes
Konsili
Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Konsili ini
dimulai oleh Paus Yohanes XXIII. Pembukaan Konsili ini secara resmi pada
tanggal 11 Oktober di Basilika St. Petrus oleh Paus Yohanes XXIII. Tujuan
utamanya ialah memperbaharui situasi internal Gereja Katolik sendiri (Aggiornamento)[85],
agar mewartakan keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus dengan cara-cara
yang lebih meyakinkan pada manusia abad XX[86].
Dalam
sidang itu, bapak-bapak Konsili menghasilkan 16 dokumen yakni: 4 Konstitusi
yaitu: tentang Liturgi, Gereja, Wahyu Ilahi dan tentang Gereja dalam dunia
modern; 9 Dekrit yaitu tentang upaya Komunikasi sosial, Gereja-gereja Timur
Katolik, Ekumenis, Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, Pembaharuan dan
Penyesuaian Hidup Religius, Pembinaan Iman, Kerasulan awam, Kegiatan Misioner
Gereja dan tentang Pelayanan dan kehidupan para Imam); dan 3 Pernyataan
(tentang Pendidikan Kristen, Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen
dan Kebebasan Beragama).
Salah
satu Konstitusi Pastoral yang berhasil
dirumuskan oleh para Bapak Konsili adalah Gaudium
et Spes, yakni Konstitusi Pastoral Tentang Gereja dalam Dunia Modern. Dalam
Konstitusi ini dipaparkan tentang citra Gereja dalam berbagai kegembiraan dan
harapan, penderitaan dan kegelisahan dengan sesama sezaman[87].
Pada
tanggal 8 Desember 1965, Konsili dengan resmi ditutup. Konsili diakhiri dengan
amanat Paus Paulus VI serta pembacaan pesan-pesan Konsili, yang dibawakan oleh
beberapa Kardinal sebagai wakil dari para Bapak Konsili. Pembacaan pesan-pesan
Konsili ini, diajukan kepada beberapa elemen yang dirasa sangat penting yakni:
para pemimpin negara, kaum intelektual, para seniman, kaum wanita, mereka yang
sakit dan menderita, kaum dan generasi muda[88]. Gaudium et Spes juga membicarakan
tentang bagaimana kiat-kiat untuk memajukan perkembangan kebudayaan.
Motif
umum yang mempengaruhi seluruh Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes adalah pertimbangan tentang martabat manusia serta
panggilannya yang istimewa di dalam dunia ini, baik secara individual maupun
secara sosial. Konsili tidak berniat hanya pada hasil ilmu filsafat, psikologi
dan sosiologi semata kerena semuanya harus dilihat dalam terang Injil. Seiring
dengan kebenaran yang tertera dalam terang Injil itu, pengalaman juga harus
dimasukkan sebagai salah satu sumber pengetahuan moral Kristen[89].
Melalui
pengalaman manusia, kita dapat memperoleh pengetahuan yang lebih memadai
tentang hukum kodrat dalam lingkup kekristenan. Oleh karena itu, pertama-tama
ajaran hukum kodrat tidak boleh dilihat secara terpisah dari ajaran Injil.
Konsili tidak hanya berurusan dengan prinsip-prinsip yang abstrak dan non-historis
semata, tetapi juga dengan seluruh pengalaman rohani manusia dalam
eksistensinya yang menyejarah. Pengalaman rohani manusia yang menyejarah itu
tidak lain dari kumpulan pengalaman-pengalaman serta asimilasinya ke dalam
hidup rohani.
4.1.1 Proses Terbentuknya Gaudium et Spes Oleh Konsili Vatikan II
Setelah dipilih menjadi Paus pada tahun 1959,
Paus Yohanes XXIII mengungkapkan niatnya untuk menyelenggarakan suatu konsili.
Persiapan untuk mengadakan konsili ini membutuhkan waktu lebih dari dua tahun.
Persiapan ini melibatkan sepuluh komisi khusus yakni pihak media dan Christian Unity, serta komisi pusat
untuk koordinasi secara keseluruhan. Sebagian besar anggota komisi berasal dari
Kuria Roma. Mereka mengusulkan 987 sesi sidang yang akan dilaksanakan dalam
konsili dan menghadirkan sejumlah ahli untuk konsultasi teologis. Konsili ini
dibuka pada tanggal 11 0ktober 1962 dengan membuka jendela sebagai simbol
Gereja yang membuka diri pada dunia dan membacakan pidato pembukaan dengan
seruan “Gaudet Mater Ecclesia: Bunda
Gereja bersuka cita.”[90]
Konsili
Vatikan II berlangsung selama empat tahun, dengan empat sesi atau periode
sidang. Periode pertama 1962: dimulai pada tanggal 13 0ktober 1962 saat mereka
membahas keanggotaan komisi, skema-skema diajukan, isu-isu seperti liturgi,
media komunikasi, Gereja-gereja Katolik Timur, dan sifat wahyu. Setelah Paus
Yohanes XXIII meninggal pada tanggal 2 Juni 1963, ia digantikan oleh kardinal
Giovani Montini yang terpilih menjadi Paus pada tanggal 21 juni 1963 dan bergelar
Paus Paulus VI dan dialah yang mengumumkan agar konsili dilanjutkan.[91]
Periode
kedua berlangsung pada 29 September sampai 4 Desember 1963: sebelum periode ini
dibuka, Paus Paulus VI berusaha memperbaiki beberapa masalah organisasi dan
prodesural yang telah ditemukan selama periode pertama. Pada sesi ini, Paus
Paulus VI menekankan sifat pastoral konsili dan menetapkan empat tujuan konsili
yaitu: untuk mendefenisikan sifat Gereja dan peran uskup, untuk memperbaharui
Gereja, untuk mengembalikan kesatuan semua orang Kristen, dan untuk memulai
dialog dengan dunia kontemporer.[92]
Periode ketiga berlangsung pada tanggal 14 September sampai
dengan tanggal 21 November 1964. Dalam periode ini Paus Paulus VI menyetujui
dan mengumumkan skema mengenai Unisitas
Redintegratio, Orientalium Ecclesiarum, dan Lumen Gentium. Adapun hal-hal yang muncul dalam periode ini antara
lain, pernyataan mengenai sakramen perkawinan sebagai pedoman untuk merevisi
Kitab Hukum Kanonik tentang perayaan dan masalah Yuridis pastoral, tidak
dilaksanakan oleh Paus Paulus VI selama konsili. Selain itu Paus juga menunda
pembahasan mengenai topik tentang Kontrasepsi, dan Ad Gentes dan Presbyterorum
Ordinis diminta agar ditulis ulang. Periode ini ditutup dengan mengumumkan
perubahan dalam ekaristi dan menegaskan kembali Maria sebagai “Bunda Gereja.”[93]
Periode
keempat berlangsung 14 September sampai tanggal 8 Desember 1965. Paus membuka
periode terahir ini dengan mendirikan Sinode para Uskup yang lebih permanen
agar tercipta kerja sama yang intensif (para Uskup dengan Paus) pasca Konsili.
Dalam periode ini, para bapak Konsili menyelesaikan sebelas skema yang masih
belum selesai pada periode ketiga. Skema 13, tentang Gereja di dunia modern,
direvisi oleh sebuah komisi yang dibantu oleh awam. Dokumen pertama yang
diputuskan adalah Dignitatis Humanae.
Selain itu dokumen-dokumen lain yang turut diputuskan yakni: Gaudium et Spes, Ad Gentes, Presbyterorum
Ordinis, Christus Dominus, Perfecta Caritatis, Optatam Totius, Gravissimum
Educationis, Apostolicam Actuositatem[94].
4.1.2
Gambaran Umum Tentang Gaudium et Spes
Secara
etimologis, kata Gaudium et Spes
berasal dari kata dalam bahasa Latin, Gaudium
dari kata dasar gaudere yang berarti kegembiraan[95],
dan Spes dari kata dasar Sperare yang artinya harapan[96].
Berdasarkan arti etomologis itu, maka Gaudium
et Spes berarti kegembiraan dan harapan. Arti Gaudium et Spes ini mempunyai hubungan makna dengan pewartaan Injil
di tengah dunia zaman sekarang. Apakah disadari atau tidak, dunia zaman
sekarang ini mempunyai ketergantungan dan hubungan kesatuan yang erat dengan
pewartaan Injil Kristus. Walaupun demikian, dunia juga mengalami pertentangan
dan perpecahan akibat adanya kekuatan-kekuatan yang berlawanan di bidang
politik, sosial dan ekonomi. Pertentangan-pertentangan yang terjadi menyebabkan
bahaya perang yang mengancam keselamatan jiwa manusia. Dalam kondisi dunia yang
demikian, arti dan makna pewataan Injil terus ditantang untuk selalu hadir dan
membawa damai bagi dunia. Gereja harus turut ambil bagian dalam situasi dunia
ini dengan selalu membagi kegembiraan dan harapan bagi seluruh umat manusia
terutama bagi mereka yang miskin dan tidak diperhitungkan dalam masyarakat
dunia.
4.1.3 Garis Besar Gaudium et Spes
Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes dibagi atas
dua bagian besar yaitu: pertama, Gereja dan Panggilan Manusia dan kedua, Beberapa
Masalah yang Mendesak. Kedua bagian dalam Gaudium et Spes ini merupakan satu kesatuan tak terpisahkan.
Pada
bagian pertama ditekankan aspek pastoral. Hal ini dimaksudkan untuk
medeskripsikan hubungan Gereja dengan dunia zaman sekarang[97].
Adapun beberapa tema yang diuraikan dalam bagian awal ini yaitu: pertama,
Martabat Manusia (no. 12-22). Di sini diungkapkan bahwa manusia dari kodratnya
diciptakan menurut citra Allah, sebagai mahluk sosial. Kedua, Masyarakat
Manusia (no. 23-32). Di sini diuraikan soal ketergantungan antara sesama
manusia sebagai akibat perubahan teknologi. Semua orang dituntut untuk bekerja
demi mewujudkan kesejahteraan umum. Ketiga, Kegiatan Manusia di Dunia (no.33-39). Dikatakan bahwa
nilai kerja yang ada dalam diri manusia pada hekekatnya adalah baik karena
sesuai dengan citra Allah. Allah telah memberikan kebebasan kepada manusia
untuk mengelola dunia. Keempat, Peranan Gereja dalam Dunia Zaman Sekarang (no. 40-45).
Dikatakan bahwa Gereja dan umat manusia berada dalam situasi yang sama. Dunia
membantu Gereja dalam mempersiapkan dasar bagi Injil. Oleh karena itulah Gereja
harus memberikan kesaksian di tengah-tengah masyarakat manusia.
Bagian
kedua, menitik-beratkan konsepnya pada tugas mengajar. Para Bapak Konsili
berusaha meneliti dengan lebih cermat segala segi kehidupan manusia dan
persoalan-persoalannya terutama persoalan-persoalan yang sangat mendesak. Pertama,
Perkawinan dan Keluarga (no. 47-52). Pada bagian ini diuraikan dengan jelas
bahwa kesucian perkawinan dan keluarga mengalami pergeseran yang drastis.
Kesucian perkawinan dan kesakralan perkawinan dan keluarga dikikis oleh
perceraian, poligami, hedonisme dan cinta bebas. Kedua, Kebudayaan Manusia (no.
53-62). Dalam bagian ini, disoroti juga tentang adanya penilaian kritis dari
bebagai ilmu, urbanisasi dan sebab-sebab lainnya. Semua penilaian ini mampu
menghasilkan pola-pola budaya baru. Ketiga, Kehidupan Sosial Ekonomi (no. 63-72).
Perkembangan kehidupan sosial ekonomi dan kemajuan-kemajaun dalam bidang
teknologi telah menghasilkan perubahan-perubahan sosial dalam kehidupan
manusia. Perkembangan dan kemajuan ini disatu pihak, menghasilkan kemakmuran
yang luar biasa, tetapi di lain pihak juga membawa kemiskinan dan kemelaratan.
Keempat, Hidup Bernegara (no. 73-76). Menurut
bagian ini, negara berkewajiban menciptakan dan membangun kesejahteraan
rakyatnya. Tetapi negara dan Gereja itu tetap otonom sesuai dengan fungsinya
masing-masing, sebab negara dan Gereja berada di atas dasarnya yang berbeda.
Walau demikian, keduanya tetap bersatu melayani panggilan sosial umat manusia.
Kelima, Usaha Demi Perdamaian dan Pembentukan Persekutuan Bangsa-bangsa (no.
77-79). Perdamaian harus mendapat perhatian khusus karena, produksi senjata dan
perang menyebabkan manusia berada pada situasi yang sangat kritis. Perang harus
dihindari, tetapi perdamaian dan cinta kasih harus diutamakan dalam mewartakan
karya keselamatan dan keadilan kepada manusia.
4.2
Teks Gaudium
et Spes Artikel 57
(
Iman dan Kebudayaan)
Dalam ziarah mereka menuju Kota
Surgawi, Umat beriman Kristen harus mencari dan memikirkan perkara-perkara yang
di atas. Dengan demikian, tidak berkuranglah, melainkan justru semakin
pentinglah tugas mereka untuk bersama dengan semua orang berusaha membangun
dunia secara lebih manusiawi. Sesungguhnyalah, misteri iman Kristen memberikan
dorongan dan bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan
tugas itu, dan terutama untuk menemukan makna sepenuhnya jerih payah mereka itu
sehingga kebudayaan mendapat tempatnya yang luhur dalam keseluruhan panggilan
manusia.
Sebab bila manusia dengan karya
tangannya maupun melalui teknologi mengelola alam supaya menghasilkan buah dan
menjadi kediaman yang layak bagi segenap keluarga manusia, dan bila ia dengan
sadar memainkan peranannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, ia
melaksanakan rencana Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukan
dunia serta menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus
ia mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama.
Selain itu, bila manusia
menekuni pelbagai ilmu filsafat, sejarah, serta ilmu matematika dan fisika,
serta mengembangkan kesenian, ia dapat berjasa sungguh besar sehingga keluarga
manusia terangkat kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta
kepada satu visi yang bernilai universal, dan
dengan demikian lebih terang disinari oleh kebijaksanaan yang
mengagumkan, yang sejak kekal ada pada
Allah, menghimpun segala sesuatu bersama dengan-Nya, bermain di muka bumi, dan
menikmati kehadiran-Nya bersama anak-anak manusia.
Dengan sendirinya jiwa manusia
makin dibebaskan dari perbudakan harta benda, dan dapat lebih leluasa
mengangkat diri untuk beribadat kepada Sang Pencipta dan berkontemplasi. Bahkan,
atas dorongan rahmat ia menjadi siap untuk mengenal Sabda Allah, yang sebelum
menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam diri-Nya
sebagai kepala, sudah berada di dunia, sebagai “Terang Sejati, yang menyinari
setiap orang” (Yoh. 1:9).
Memang, kemajuan ilmu
pengetahuan dan tenologi zaman sekarang, yang dengan metodenya tidak mampu
menyelami hakikat kenyataan yang sedalam-dalamnya, dapat membuka peluang bagi
fenomenisme dan agnostisisme, bila metode penelitian, yang digunakan ilmu-ilmu
itu, disalahartikan sebagai norma tertinggi untuk menemukan seluruh kebenaran.
Bahkan, ada bahaya, jangan-jangan manusia karena terlampau mengandalkan
penemuan-penemuan zaman sekarang, merasa sudah memenuhi kebutuhannya sendiri,
dan tidak lagi mendambakan nilai-nilai yang lebih luhur.
Akan tetapi,
konsekuansi-konsekuensi yang malang itu tidak dengan sendirinya timbul dari
kebudayaan zaman sekarang; tidak boleh pula menjerumuskan kita ke dalam godaan,
untuk tidak mengakui nilai-nilai positifnya. Di antaranya, yang dapat
disebutkan: usaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap
kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan
rekan-rekan kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional,
kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu
dan bahkan melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup
bagi semua orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau
tertekan akibat kemiskinan budaya. Semua itu dapat menimbulkan suatu disposisi
untuk menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih
Ilahi oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia.
4.3 Pokok-Pokok Pikiran Dari Gaudium et Spes Artikel 57
4.3.1 Tempat Luhur Kebudayaan Dalam Membangun Dunia
Secara Lebih Manusiawi
Manusia
dipanggil dan hidup di dunia untuk melaksanakan rencana Allah yaitu menaklukkan
dunia, menyempurnakan alam ciptaan dan sekaligus mengembangkan dirinya. Dari itu
manusia berusaha untuk mengembangkan segala sarana dan upaya untuk
menyempurnakan dan mengembangkan segala bakat dan pembawaan[98].
Manusia berusaha menaklukkan alam semesta dengan pengetahuan dan usahanya serta
ia selalu mengungkapkan, menyalurkan, dan melestarikan pengalaman-pengalaman
rohani serta aspirasi-aspirasinya melalui karya-karyanya dalam kebudayaan
sehingga kebudayaan mendapat tempat yang luhur dalam seluruh panggilan manusia
sebagai sarana manusia melaksanakan kehendak Sang Pencipta. Gereja melalui
konsili selalu mendorong para anggotanya untuk mengembangkan kebudayaannya
karena semua manusia berhak atas kebudayaan manusiawi. Kebudayaan manusiawi itu
harus tetap ada dan justu semakin dikembangkan.
Kebudayaan berkembang
sebagai hasil dari usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya dan mencari
makna hidup. Usaha atau upaya itu mencakup pengembangan ilmu pengetahuan untuk
menguasai alam semesta, pengembangan tata susila dan berbagai lembaga agar
kehidupan bersama umat manusia menjadi lebih manusiawi dan pengungkapan dan
pelestarian pengalaman-pengalaman rohani lewat karya-karya seni. Dalam kitab
Kejadian 1:28 dikatakan “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada
mereka: beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah muka bumi dan taklukanlah
itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
segala binatang yang merayap di bumi”. Ini mau menunjukkan bahwa dengan
kebudayaan manusia secara terus menerus melaksanakan rencana Allah yaitu dengan
memanfaatkan alam ciptaan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menguasai alam
ciptaan secara bijaksana.
4.3.2
Dengan Tangan dan Teknologi Manusia Menyempurnakan Alam dan Dirinya Sendiri
Pengaruh
teknologi sungguh penting dalam dunia kehidupan manusia. Manusia tidak dapat
lari dari teknologi. Teknologi ada di mana-mana dan mempengaruhi hidup manusia
dalam hampir semua bidang kehidupan dan teknologi mengubah pengalaman manusia untuk
memenuhi pelbagai kebutuhan hidupnya manusia. Kebutuhan hidup itu tidak serta
merta ada melainkan perlu diusahakan karena tubuh manusia amat tebatas. Dengan
daya kreativitasnya manusia mengembangkan teknologi sehingga manusia dapat
melampaui batas-batas alamiahnya. Teknologi menjadi sarana bagi manusia untuk
memanifestasikan kreativitasnya. Kreativitas ini adalah cara manusia untuk
mengembangkan dirinya[99].
Teknologi
menjadi sarana bagi manusia untuk terus mengembangkan diri dengan melampaui
kemampuan diri dan lingkungan sekitarnya. Usaha mengembangkan diri dan alam
demi kebutuhan manusia juga merupakan suatu panggilan untuk mengeksplorasi alam
dengan tidak mengabaikan keadaan dunia kehidupan melalui upaya perawatan dan
pelestarian alam agar dunia kehidupan menjadi tempat hunian yang nyaman.
4.3.3
Aneka Ilmu Pengetahuan Dapat Menghantar Manusia Kepada Kebenaran, Kebaikan dan
Keindahan
Berdasarkan
pengalaman bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bentuk kebudayaan
manusia, baik yang dapat dirasakan maupun yang tersembunyi juga menyingkapkan
hakikat manusia dan merintis jalan-jalan baru menuju kebenaran, dan semuanya
itu juga berguna bagi Gereja. Dalam Gaudium
et Spes dikatakan:
“Sebab awal
sejarahnya Gereja telah mengungkapkan warta tentang Kristus melalui
pengertian-pengertian maupun bahasa-bahasa pelbagai bangsa, dan selain itu
berusaha menjelaskannya dengan kebijaksanaan para filsuf: maksudnya ialah untuk
menyesuaikan Injil dengan daya tangkap semua orang dan dengan tuntutan kaum
arif bijaksana, sebagaimana wajarnya. Adapun cara yang sesuai untuk mewartakan
sabda yang diwahyukan harus tetap menjadi patokan bagi setiap penyiaran Injil.[100]
Dengan pernyataan
tersebut, Gereja mengakui perlunya menerima sumbangan yang berarti dari
ilmu-ilmu misalnya ilmu filsafat, sejarah serta ilmu matematika dan fisika
serta mengembangkan kesenian yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia
sebagai bagian dari perkembangan kebudayaan manusia. Gereja menghargai dan
memandang dunia secara positif dan ingin berarti bagi dunia.
Pada
masa kini ataupun pada masa yang akan datang sangatlah perlu bagi pewarta Injil
untuk menguasai ilmu-ilmu profan yang mempunyai sumbangsih yang besar. Dengan
itu pewarta Injil dengan tepat menguasai ilmu dan menghayati iman Kristianinya
secara mendalam, dan diharapkan mampu menemukan ungkapan iman yang relevan bagi
dunia sehingga penghayatan iman tidak terpisah melainkan menyatu dalam
kehidupan nyata.[101]
Dengan itu kelurga manusia terangkat kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan
keindahan serta kepada satu visi yang bernilai unversal yakni keselamatan.[102]
4.3.4 Ibadat Kepada Sang Pencipta dan Kontemplasi
Dalam
berbagai agama berlaku bahwa konsentrasi pikiran melalui praktek seperti
meditasi atau kontemplasi dan sebagainya merupakan teknik-teknik yang turut
menolong manusia mengarahkan dan menyatukan hati dan jiwa dengan Yang Ilahi
atau Tuhan.[103] Dalam berkontemplasi orang bisa mengambil hal
tertentu sebagai bahan perenungan misalnya ayat-ayat Kitab Suci kemudian
merenungkannya. Umumnya kontemplasi dilangsungkan dengan posisi tubuh diam dan
tenang. Ini akan membantu seseorang untuk bisa memusatkan perhatian atau
konsentrasi yang menolong untuk penenangan hati dan pikiran. Dengan kondisi
tubuh seperti ini ditambah dengan suasana doa, seseorang dapat lebih mudah
untuk mengalami peleburan hati dan pikiran dengan Tuhan.
4.3.5 Bahaya
Dari Ilmu Pengetahuan (Fenomenisme dan Agnostisisme)
Ilmu
pengetahuan merupakan salah satu unsur vital yang membentuk kebudayaan umat
manusia.
Ilmu pengetahuan dapat menghantar manusia kepada kebenaran dan kebaikan.
Tetapi apabila ilmu pengetahuan tidak memperhatikan batas-batas penelitiannya
maka akan membawa manusia pada bahaya fenomenisme dan agnostisisme. Secara
harafiah kata agnostisme berasal dari
kata dalam bahasa Yunani “agnostos”
berarti “tidak dikenal” atau “kemustahilan untuk diketahui”. Kata ini diciptakan
oleh T.H. Huxley untuk menyebut pernyataan mana saja yang
kejelasannya tidak mencukupi untuk dipercaya. Karena itu agnostisisme sendiri
dapat dimengerti sebagai teori tentang tidak dapat diketahuinya sesuatu.[104]
Dalam artinya sekarang, istilah ini mengungkapkan paham filsafati yang
mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu yang berada di atas rasa tidak
diketahui. Dengan kata lain, agnostisisme adalah aliran yang secara umum
menyangkal segala metafisika sebagai sumber pengetahuan nyata. Dan secara
khusus agnostisisme adalah pengingkaran kemungkinan untuk mengetahui Allah.
Paham ini memang menerima kemungkinan adanya suatu kenyataan yang bersifat
transenden, tetapi menolak gagasan bahwa manusia dapat mengetahui secara pasti
eksistensi dan khususnya hakekat kenyataan dari yang transenden itu. Sebagai
akibatnya pengetahuan dibatasi hanya pada barang-barang material, sedangkan
pengetahuan mengenai yang transesnden diserahkan saja kepada perasaan.[105]
Fenomenisme
memandang hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindra dapat diterangkan serta
dinilai secara ilmiah. Sedangkan hal yang tidak dapat diterangkan oleh indra
bukan merupakan hal yang nyata misalnya hal-hal yang melampaui atau hal yang
metafisis tidak dapat diketahui.
Dapat
disebutkan sebagai bahaya, lahirnya fenomenisme dan agnostisisme yang memandang
manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Allah. Bahaya ini
muncul sebagai akibat dari anggapan bahwa metode penelitian yang digunakan oleh
ilmu pengetahuan adalah norma tertinggi. Pandangan seperti ini cendrung tidak
mempedulikan agama dan Yang Mutlak karena lebih mengandalkan ilmu positif dan
pembuktian ilmiah. Selain itu sifat Yang Mutlak dikenakan pada nilai-nilai
manusiawi tertentu, sehingga nilai-nilai itu dipandang menggantikan Allah.
4.3.6
Nilai Positif Ilmu Pengetahuan: Setia
dan Cermat Terhadap Kebenaran
Sebagai
produk kebudayaan manusia, ilmu pengetahuan mempunyai sumbangsih yang sangat
besar untuk perkembangan diri manusia. Kemajuan
ilmu pengetahuan saat ini sangatlah pesat. Kemajuan itu sekaligus membawa serta
nilai-nilai yang positif dan negatif. Adapun nilai-nilai positif dari ilmu
pengetahuan yang berkembang dalam zaman sekarang menurut Konsili adalah: “usaha
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap
kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan untuk berkerja sama
dalam kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran
semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan
melindungi sesama,”[106].
Dengan bebagai metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan maka dapat membawa
manusia pada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.
4.3.7 Nilai-nilai Positif Kebudayaan
Dalam
kebudayaan terdapat nilai-nilai yang dianggap berguna, baik, benar, indah untuk
mengatur dan memberi orientasi kepada setiap individu dalam interaksinya dengan
sesama demi tercapainya tujuan tertentu. Misalnya interaksi dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Institusi-institusi
itu jelas memiliki nilai-nilai yang secara konkret terungkap dalam norma moral,
norma hukum dan etika. Dengan ini nilai-nilai positif dari kebudayaan mesti
selalu diarahkan kepada kesempurnaan pribadi manusia dan kesejahteraan
masyarakat manusia. Karena itu dalam menjaga nilai-nilai posistif dari kebudayaan ini perlu pembinaan jiwa
sedemikian rupa sehingga dapat tumbuh dan berkembang kemampuan untuk merasa
kagum terhadap kebudayaan, merenungkannya, sehingga dapat membentuk pendirian
pribadi untuk menghargai nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan.
Lingkungan
asli Injil adalah kebudayaan Yahudi yang mempunyai ciri khasnya sendiri. Dalam
perkembangan selanjutnya untuk mewartakan Injil, Gereja berjumpa dengan
kebudayaan bangsa-bangsa. Maka pewartaan itu sangat erat kaitannya dengan kebudayaaan[107].
Gereja menghormati semua agama dan
budaya bangsa-bangsa, dan dalam perjumpaan dengan mereka, Gereja ingin
mempertahankan semua yang luhur, benar dan baik dalam setiap kebudayaan.[108]
Gereja memajukan dan menampung sagala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat
bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan,
menguatkan serta mengangkatnya oleh Injil.[109]
4.4
Relasi Iman Dan Kebudayaan Dalam Terang Gaudium
et Spes Artikel 57
4.4.1
Umat Beriman Kristen Dan Kebudayaan
Sebagai
persekutuan individu yang dipersatukan dalam iman akan Kristus, umat beriman
Kristen sedang berziarah di dunia menuju Kota Surgawi yakni kehidupan kekal.
Dalam ziarah menuju Kota Surgawi itu umat beriman Kristen ada dan hidup bersama
dengan semua orang lain di dunia yang memiliki kebudayaan-kebudayaan tertentu
dengan berbagai perkembangannya.
Perkembangan
kebudayaan manusia zaman sekarang dalam bentuk teknologi turut memberikan andil
yang besar demi kesejahteraan umat manusia. Di satu sisi dengan daya yang
dimiliki manusia pada zaman modern, keselamatan dalam arti perubahan struktur
yang mengatasi segala kemiskinan dan kejahatan manusia dapat dicapai. Namun di
sisi yang lain perkembangan itu memiliki efek negatif yang mengancam hidup
manusia dan menjadikan manusia sadar akan kerusakan yang ditimbulkan teknologi
sebagai hasil perkembangan kebudayaan manusia.
Dengan demikian Gereja
dalam seluruh ziarah menuju Kota Surgawi, dalam usaha menuju keselamatan perlu
memperhatikan hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama.
Gereja dalam terang Injil senantiasa menyumbangkan kekuatan yang menyelamatkan
bagi umat manusia.[110]
Terang itu diterima Gereja dalam bimbingan Roh Kudus. Dalam terang Injil itu
Konsili melihat dan menghargai manusia melalui kebudayaan untuk membangun dunia
secara lebih manusiawi. Dengan itu merupakan tugas penting umat beriman
kristiani bersama dengan semua orang
untuk mentransformasi kenyataan duniawi menjadi lebih manusiawi, atau
dengan kata lain keselamatan eskatologis umat beriman kristiani juga terikat
pada keterlibatannya dalam usahanya itu. Karena itu Gereja terpanggil untuk
memberikan sumbangan yang khas melalui sikap hidup kristiani dengan membawa
pembangunan itu ke suatu arah yang sungguh sesuai dengan kesejahteraan manusia
seutuhnya. Gereja mesti bertumbuh dalam kepercayaan akan Allah pemberi hidup
agar bisa bertumbuh dalam keprihatinan dengan sesama. Usaha itu mesti selalu
berada dalam kesadaran akan dimensi eskatologis keselamatan yang sempurna bagi
manusia, bahwa manusia tidak bisa dengan daya kekuatannya sendiri melainkan
selalu berusaha dan dengan sadar, bahwa pada intinya manusia harus menantikan
keselamatan sebagai hadiah dari Allah.
4.4.2
Iman Kristen dan Kebudayaan Dalam Keseluruhan Panggilan Manusia
Dalam
dunia yang semakin berkembang pada zaman ini, dunia global diwarnai oleh
kemajuan teknologi, komunikasi dan transportasi yang semakin maju sebagai buah
peradaban manusia masa kini. Perkembangan ini juga adalah usaha manusia untuk
membangun dunia secara lebih manusiawi. Usaha membangun dunia secara lebih
manusiawi ini juga merupakan tugas umat beriman Kristiani untuk bekerjasama
dengan semua orang lain untuk mencapai kebaikan bersama.
Iman
Kristen dan kebudayaan mempunyai hubungan sebagaimana dibicarakan dalam
inkulturasi yakni inkarnasi kabar gembira Yesus Kristus tentang kedatangan
Kerajaan Allah ke dalam suatu kebudayaan manusia. Peristiwa inkarnasi menjadi
model bagi inkuturasi. Inkulturasi Kristen dilaksanakan dalam analogi dengan
inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia. Allah yang universal, yang berada
di atas dan dalam semua kebudayaan memperlihatkan diri lewat medium suatu
kebudayaan yang konkret dan defenitif. Yesus lahir pada sauatu waktu tertentu,
di suatu tempat tertentu, dan berintegrasi dalam suatu budaya tertentu yaitu
kebudayaan Yahudi Palestina, 2000 tahun yang lampau. Warta universal
keselamatan Allah yang dimaklumkan dalam diri Yesus Kristus, dialamatkan kepada
manusia dari suatu kebudayaan tertentu, yang hanya dapat menanggapi warta itu
dalam kebudayaan mereka sendiri.
Karena itu inkulturasi
dapat dimengerti sebagai relasi dinamis antara kabar gembira kristiani dengan
suatu kebudayaan atau kebudayaan-kebudayaan; suatu integrasi kehidupan kristen
ke dalam suatu budaya; suatu proses yang berkelanjutan dari interaksi dan
asimilasi yang kritis serta timbal balik.[111]
Di satu pihak pewartaan Sabda Tuhan harus menghormati semua kebudayaan, namun
di lain pihak ia juga harus mengubah kebudayaan-kebudayaan itu, karena
kebudayaan merupakan hasil karya manusia. Karena itu kebudayaan bersifat
relatif, tidak sempurna dan butuh penebusan.
Itu artinya, kalau dinilai seturut tuntutan Kerajaan Allah, inkulturasi
pertama-tama berarti warta kristiani disampaikan dan dihayati dalam satu
kebudayaan lokal, dan kedua bahwa kebudayaan lokal menjadi kristen atau
dikristenkan.
4.4.3
Melalui Kebudayaan Manusia Mengabdikan Diri kepada Sesama
Gaudium et Spes
menangkap suatu zaman baru di dalam
sejarah manusia dengan perubahan-perubahan yang luar biasa di mana manusia
dapat mengatur dunia. Secara khusus, urbanisasi dan industrialisasi mempunyai
pengaruh yang luar biasa bagi hidup manusia yakni manusia dapat secara
sungguh-sungguh mencapai masyarakat dunia yang manusiawi di mana setiap
individu memainkan peranan atau tanggung jawabnya secara bijaksana.[112]
Ketika budaya manusia kontemporer muncul, hal yang esensial yang perlu
diperhatikan semua umat beriman Kristen adalah wajib memelihara relasi dengan
seluruh aspek sehingga dapat mendorong pembangunan kebudayaan manusia secara
keseluruhan sebagai usaha manusia untuk memenuhi panggilannya sebagai manusia
yaitu melaksanakan rencana Allah menaklukkan dunia. Sumbangan iman Kristen
terjadi pada penentuan arti dan maksud dari apa yang dikehendaki manusia dalam
kemanusiaannya yakni kesaksian praktis akan pengalaman makna dalam hidup
sebagaimana dihidupi.[113]
Dalam
Ensiklik Redemptoris Missio, Paus
Yohanes Paulus II menyatakan “Kesenjangan iman dan kebudayaan merupakan tragedi
jaman ini”[114].
Iman harus terlibat dalam perjuangan demi perdamaian, khususnya kelompok
minoritas; terlibat dalam menanamkan solidaritas di antara umat manusia. Maka
dengan itu, umat beriman dalam hidup masa kini harus semakin mampu menemukan
arti hidup yang sesungguhnya. Hubungan manusia dengan Allah yang ditopang oleh
iman yang merupakan tanggapan atas wahyu Allah akan semakin memperkuat orang
beriman di tengah-tengah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini.
Iman yang dimengerti secara benar dan mendalam akan membantu umat manusia menemukan
arti dan kebahagiaan hidupnya.
4.4.4
Iman dan Ilmu Pengetahuan
Budaya
adalah hasil cipta, karsa dan rasa dari akal budi manusia. Dengan akal budinya
manusia menciptakan kebudayaan yang di dalamnya termasuk ilmu pengetahuan. Manusia
dalam usaha untuk mencari, menemukan dan memahami semua hal yang ada dalam
pengalaman jasmaninya. Maka relasi antara akal budi manusia dan iman dalam
pandangan Gereja dapat dilihat dalam ajaran Paus Yohanes Paulus II yang
menegaskan kesejajaran hubungan keduanya dalam kekristenan. Ia mengumpamakan
iman dan akal budi sebagai dua sayap yang memungkinkan manusia menyelami
kebenaran Allah dengan terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri dalam dunia
ini. Dalam hal ini Paus mengingatkan
keadaan manusia sendiri yang tidak mudah untuk diselami dengan hanya
mengandalkan akal saja sebab bagi manusia, dirinya sendiri juga merupakan
misteri. Maka pertanyaan mendasar tentang manusia seperti, siapakah aku, dari
mana aku berasal, dan sedang menuju ke mana penting untuk terus diangkat dan
ditelusuri.[115]
Untuk usaha ini akal budi bisa diandalkan sebagai penuntun dalam upaya
memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan eksistensial di atas. Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijadikan pegangan yang memberikan dasar
pemahaman bagi manusia akan dirinya sendiri serta ketergantungan hidupnya pada
sesuatu yang lebih tinggi. Di sini peran akal budi adalah memberikan pemahaman
yang cukup, yang bisa diterima selaras dengan keyakinan iman akan Allah.
Usaha akal budi manusia
itu misalnya melalui ilmu pengetahuan. Di sini misalnya melalui manfaat dari
ilmu filsafat. Ilmu filsafat mempunyai manfaat yang memungkinkan kita untuk
memahami iman secara lebih mendalam. Filsafat yang masuk akal memungkinkan kita
untuk bisa menemukan jawaban yang tepat mengenai masalah atau persoalan
keberadaan manusia. Paus Yohanes Paulus
II dalam ensikliknya Fides et Ratio menekankan, “Gereja
menyaksikan pada filsafat jalan untuk mulai mengenali kebenaran-kebanaran yang
mendasar tentang hidup manusia. Sekaligus Gereja memandang filsafat sebagai
bantuan yang sungguh diperlukan untuk mengerti iman secara makin mendalam, dan
untuk menyalurkan kebenaran Injil kepada mereka yang belum mengenalnya”[116].
Dalam Katekismus Gereja Katolik relasi iman dan ilmu
pengatahuan dijelaskan sebagai berikut: “meskipun iman itu melebihi akal budi,
namun tidak pernah bisa ada satu pertentangan yang sesungguhnya antara iman dan
akal budi karena Allah yang sama, yang mewahyukan rahasia-rahasia dan
mencurahkan iman, telah menempatkan di dalam roh manusia cahaya akal budi;
tetapi Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan tidak pernah yang
benar bisa bertentangan dengan yang benar”. Maka dari itu, penyelidikan metodis
di semua bidang ilmu, bila dijalankan dengan sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah
kesusilaan, tidak pernah sungguh bertentangan dengan iman karena hal-hal profan
dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama. Bahkan barang siapa dengan
rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati
tanpa disadari pun ia bagikan dituntun oleh tangan Allah yang melestarikan
segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya.[117]
4.4.5
Ibadat Kepada Sang Pencipta dan Kontemplasi.
Ketika hidup manusia
telah diterangi oleh kebijaksanaan yang berasal dari Allah ini maka jiwa
manusia semakin dibebaskan dari perbudakan harta benda dan bisa lebih leluasa
mengangkat diri untuk beribadat kepada Allah, Sang Pencipta. Orang-orang
Kristen adalah umat yang dikuduskan bagi pelayanan ibadat dalam Roh Kudus (Ef
2:21-22). Santo Agustinus menjelaskan bahwa Gereja mempersembahkan ibadat
kepada Allah sesungguhnya menurut kenyataan dirinya sebagai Tubuh Tuhan manurut
konsep Gereja sebagai Tubuh Kristus yang telah bangkit. Kita semua sesungguhnya
anggota dari satu tubuh yang kepalanya adalah Kristus.[118]
Gereja
selalu berkaitan dengan nilai unversalitasnya. Namun demikian Gereja yang
universal ini dihayati di dalam waktu dan tempat tertentu serta menurut
kelompok-kelompok umat yang tersebar di seluruh dunia. Bahwa sesungguhnya Gereja
merupakan himpunan umat yang bekumpul menjadi satu dalam satu kegiatan bersama Gereja
setempat ( 1 Kor 11:8 dan 1 Kor 14). Gereja sebagai kesatuan ‘Tubuh Mistik
Kristus’ (Mat 16:18) nyata secara istimewa pada himpunan peribadatan dalam Gereja
setempat. Komunitas Gereja lokal sungguh merupakan kenisah Allah yang sejati
karena Kristus hadir secara nyata dan aktif berkarya menyelamatkan.
4.4.6
Sabda Allah Hadir Sebagai Terang Sejati
Sabda
Allah yang sebelum menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala
sesuatu dalam diri-Nya sebagai kepala, sudah berada di dunia, sebagai ‘Terang
Sejati’ yang menyinari setiap orang.[119] Dalam tradisi, satu frasa penting dari
St.Yustinus Martir ialah bahwa di seluruh dunia, kita dapat menemukan “benih-benih
Firman”- atau Logos Spermatikos yang
menunjukkan kehadiran Allah dalam sejarah umat manusia bahkan sebelum peristiwa
inkarnasi.[120]
Hubungan
Logos Spermatikos dengan kebudayaan
oleh Yustinus dijelaskan sebagai berikut: Kristus adalah Logos yang hadir dalam
seluruh kosmos. Karena Logos itu
diidenfikasikan dengan Kristus maka menurutnya di setiap tempat dan zaman dalam
sejarah umat manusia, bila manusia hidup menurut yang “ideal” yaitu menurut Logos, maka secara implisit adalah kaum
kristiani. Yustinus yakin bahwa di dalam setiap manusia Logos telah dicurahkan sebagai pikiran. Tetapi Logos tersebut telah dinyatakan sebagai yang hadir secara utuh
dalam Yesus Kristus.[121]
Sejauh Kristus adalah Logos ilahi,
maka ia merupakan prinsip rasionalitas yang dicurahkan ke atas seluruh alam
semesta dan manusia. Kristus pula yang telah mengilhami para pemikir di setiap
zaman dan tempat dalam mengemukakan pengetahuan dan kebenaran. Oleh karena itu,
menurutnya setiap pemikiran manusia dan kebudayaan-kebudayaan walaupun memiliki
nilai yang tinggi, perlu dievaluasi berdasarkan ajaran Kristus. Walaupun ajaran
kebudayaan dan agama lain memiliki kesamaan dengan ajaran Kristus, tetapi tidak
sepenuhnya sama. Ajaran Kristus merupakan norma untuk menilai segala sesuatu
yang lain.
4.5.7
Nilai Kebudayaan dan Injil
Kebudayaan
zaman sekarang mempunyai nilai-nilai yang positif. Nilai-nilai positif itu
menurut konsili adalah:
“usaha
mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran
dalam peneliatian-peneliatian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekan-rekan
kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin
hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan
melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua
orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan
akibat kemiskinan budaya. Semua itu dapat menimbulkan suatu disposisi untuk
menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih Ilahi
oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia”[122].
Lingkungan
asli Injil adalah kebudayaan Yahudi kemudian dalam pewartaan Injil, Gereja
berjumpa dengan kebudayaan bangsa-bangsa. Maka pewartaan itu sangat erat
kaitannya dengan dengan kebudayaaan[123].
Gereja menghormati semua agama dan
budaya bangsa-bangsa, dan dalam perjumpaan dengan mereka, Gereja ingin
mempertahankan semua yang luhur, benar dan baik dalam setiap kebudayaan.[124]
Gereja memajukan dan menampung sagala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat
bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan,
menguatkan serta mengangkatnya oleh Injil.[125]
Maka relasi antara iman dan kebudayaan yang dapat kita temukan dari sini ialah,
Gereja dalam pewartaan Injil menghormati hal-hal yang serba baik dalam setiap
kebudayaan dan dalam pendekatannya dengan setiap kebudayaan untuk
memperkenalkan Injil Yesus Kristus dengan cara yang paling sesuai dengan
konteks kebudayaan yang bersangkutan sehingga Gereja dapat berakar lebih
mendalam dalam setiap kebudayaan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Iman
dan kebudayaan adalah dua substansi yang berbeda. Iman dan kebudayaan berjalan
bersama karena yang menjadi pelaku dalam dua hal itu adalah manusia sendiri
sebagai mahluk beriman dan berbudaya. Budaya adalah hasil cipta, karsa dan rasa
dari budi manusia, yang terbentuk karena manusia dalam hidup bersama berhadapan
dengan keadaan diferensiasi dan stratifikasi sosial. Cipta berkaitan dengan
hasrat dalam diri manusia yang berusaha untuk mencari, menemukan dan memahami
semua hal yang ada dalam pengalaman jasmani dan rohaninya. Hasil dari karsa
adalah ilmu pengetahuan. Karsa berkaitan
dengan kerinduan manusia akan arti keberadaannya di dunia. Produk atau hasil
dari karsa manusia adalah norma-norma yang berlaku sebagai pengatur hidup
manusia, misalnya dalam norma agama. Rasa berkaitan dengan kerinduan manusia
akan keindahan yang menjadi sumber yang menimbulkan dorongan untuk menikmati
keindahan itu. Dalam setiap kebudayaan
terdapat nilai-nilai yang dianggap baik untuk mengatur kehidupan masyarakat
yang bersangkutan. Nilai-nilai itu menjadi ukuran atau forma yang berfungsi
untuk mengatur manusia yang berada dalam satu lingkup kebudayaan itu dalam
relasinya dengan diri sendiri, relasi dengan alam, relasi dengan sesama manusia
lain dan juga relasi dengan Allah. Nilai ini merupakan satu hal yang menyangkut
dasar dari sebuah kebudayaan. Namun demikian dalam setiap kebudayaan terdapat
nilai yang berbeda-beda pada masing-masing kebudayaan yang bersangkutan.
Dengan
kebudayaan manusia berusaha mengelola alam sedemikian rupa sehingga melalui
usaha itu dapat menghasilkan buah dan menjadikan alam sebagai kediaman yang
layak bagi semua keluarga manusia, dan bila ia dengan sadar menjalankan tugas
dan kewajibannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, manusia melaksanakan
rencana Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia serta
menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus manusia
mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama.
Konsili
Vatikan II, memandang iman secara lebih menyeluruh dan dalam konteks yang baru.
Konteks ini adalah bahwa pengertian yang lebih mendalam tentang Wahyu yang
tidak hanya dilihat sebagai penyampaian kebenaran-kebenaran tentang dan dari
Allah, melainkan terutama sebagai komunikasi diri Allah sendiri yang mencapai
puncak dan bentuknya yang sempurna dalam diri Yesus Kristus, Sabda Allah yang
menjadi manusia dan tinggal diantara kita. Wahyu berarti suatu pendekatan
pribadi dari Allah demi keselamatan manusia. Allah sebagai pribadi mendekati
pribadi manusia untuk suatu interaksi pribadi, suatu persahabatan yang
membahagiakan dan membebaskan manusia dari kemalangan dan ketakutan. Iman tidak hanya dilihat sebagai suatu sikap
yang menyangkut akal budi manusia, yang harus menerima kebenaran yang tidak
dapat dipahami, melainkan iman dilihat sebagai sikap pribadi manusia yang
tinggal dekat pada Tuhan yang ingin menyertainya. Sesuai dengan pengertian
tentang wahyu, iman ditentukan sebagai sikap eksistensial, dalamnya manusia
menerima tawaran persahabatan Allah dan menjawabnya dengan suatu cara hidup
baru, sebagai anak Allah bukan lagi sebagai budak dosa.
Konsili
Vatikan II juga melihat tindakan beriman sebagai penyerahan diri secara bebas seutuhnya
kepada Allah, Sang Pewahyu yang telah menganugerahkan diri-Nya kepada manusia.
Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab dan menanggapi wahyu Allah.
Jawaban itu meliputi seluruh pribadi manusia, tidak hanya salah satu
kemampuannya, misalnya akal budi dan kehendaknya. Iman tidak hanya merupakan
persetujuan terhadap suatu kebenaran, tetapi juga terlebih dahulu penyerahan
diri kepada pribadi Allah. Istilah ketaatan iman (Rm. 16:26) diartikan oleh
Konsili Vatikan II secara personal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia
yang menanggapi secara positif pernyataan diri Allah. Dalam jawaban itu,
manusia menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tahu dan mau, dengan segenap jiwa
dan raganya, dengan seluruh hati dan segala kekuatannya.
Iman
dan kebudayaan manusia mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam usaha untuk
mewartakan iman, Gereja mesti menginterpretasikan sistem simbol dalam
kebudayaan khususnya yang ada dalam agama. Kebudayaan menjiwai hidup, bahasa,
religius dan tingkah laku manusia. Iman juga menjiwai hidup, bahasa,
spiritualitas, moral dan pemahaman atas kebudayaan. Oleh karena itu iman dapat
dihidupi dan menjiwai seluruh hidup manusia dalam dialognya dengan kebudayaan. Gereja menghormati semua agama dan budaya
bangsa-bangsa, dan dalam perjumpaan dengan mereka, Gereja ingin mempertahankan
semua yang luhur, benar dan baik dalam setiap kebudayaan. Gereja memajukan dan
menampung sagala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu
baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta
mengangkatnya oleh Injil. Maka relasi antara iman dan kebudayaan yang dapat
kita temukan dari sini ialah, Gereja dalam pewartaan Injil menghormati hal-hal
yang serba baik dalam setiap kebudayaan dan dalam pendekatannya dengan setiap
kebudayaan untuk memperkenalkan Injil Yesus Kristus dengan cara yang paling
sesuai dengan konteks kebudayaan yang bersangkutan sehingga Gereja dapat
berakar lebih mendalam dalam setiap kebudayaan.
Gereja dalam pewartaan iman akan Kritus itu telah
memanfaatkan sumber-sumber dari aneka kebudayaan, untuk menyebarluaskan
pewartaan Kristus kepada semua bangsa, menggali dan menyelami kebudayaan yang
berkaitan dan mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan di
dalam hidup keseharian Gereja yang berenekaragam. Gereja menyadari bahwa iman
kristen tidak identik dengan budaya. Inti iman berbeda dengan kemasan kultural,
sebab pesan iman bersifat universal sedangkan ekspresinya tidak terlepas dari
kebudayaaan-kebudayaan. Gereja
mewartakan Allah yang universal yang berada di atas dan dalam semua
kebudayaan. Warta universal keselamatan Allah dimaklumkan dalam diri Yesus
Kristus yang lahir dari satu kebudayaan tertentu yaitu kebudayaan Yahudi. Maka
dalam pewartaan iman akan Kristus, Gereja berjumpa dengan berbagai bangsa dan
kebudayaan yang berbeda yang hanya dapat menanggapi warta itu dalam kebudayaan
mereka. Dengan itu Injil yang diwartakan oleh Gereja tidak hanya menyatakan
diri dalam unsur-unsur kebudayaan yang bersangkutan tetapi sekaligus menjadi
suatu kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, memurnikan serta membaharui
kebudayaan tersebut, namun Gereja tidak mengidentikan dirinya dengan kebudayaan
tertentu. Oleh karena itu iman akan Allah tidak menghilangkan
kebudayaan-kebudayaan yang ada tetapi pada saat yang sama menjadikan kebudayaan
lebih baik. Karena itu semua kebudayaan perlu dilahirkan kembali dalam
perjumpaan dengan Injil.
5.2
Saran
Umat beriman kristiani adalah Gereja yang
sedang berziarah di dunia ini. Dengan itu Gereja merupakan bagian dari dunia.
Meskipun Gereja memiliki tujuan eskatologis, tetapi selama masih berziarah di
tengah-tengah dunia Gereja berada di antara bangsa-bangsa yang memiliki beragam
kebudayaan yang berbeda sekaligus unik. Gereja dalam pewartaan iman akan
Kristus tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan yang ada. Kebudayaan menjiwai
hidup, bahasa, religius dan tingkah laku manusia. Dengan itu Gereja dalam
pewartaan Injil selalu dalam dialognya dengan kebudayaan-kebudayaan yang
bersangkutan agar Injil yang diwartakan dapat berakar lebih mendalam dalam
kebudayaan itu.
Melalui
kebudayaan manusia berusaha membangun dunia serta menjadikankannya tempat yang
lebih manusiawi untuk didiami. Oleh karena itu umat beriman oleh iman akan
Kristus selalu terikat pada tugas dan kewajibannya di dunia sesuai dengan
panggilannya masing-masing. Hendaklah melalui kebudayaan umat kristiani
mengikuti teladan Kristus untuk memadukan semua usaha manusiawi dengan
nilai-nilai Injil yang menjadi norma tertinggi untuk mengarahkan segala sesuatu
kepada kemuliaan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
KITAB
SUCI
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab,
(Jakarta, 1996)
DOKUMEN
GEREJA
Konsili Vatikan
II, Gaudium
et Spes, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini,
dalam: R .Hardawyryana, (penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta:
Obor 2004
______,
Pernyataan
Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristiani, Nostra Aetate, dalam: R.
Hardawiryana, (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 2004
______,
Konstitusi Dogmatis Tentang
Gereja,Lumen Gentium, dalam:R. Hardawiryana,
(penerj.),
Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 2004
Paulus
VI, Paus, Evengelii Nuntiandi, dalam J. Hadiwikarta Pr (pernerj), Seri
Dokumen Gerejawi no. 20, Jakarta: Dokpen KWI, 1990
Yohanes Paulus
II, Paus, (Promulgator), Katekismus Gereja Katolik, dalam:
Embuiru Herman (penerj), Ende: Arnoldus, 1995
______,
Redemtoris
Missio, dalam Frans Borgias dan Alfons S. Suhardi, OFM, (penerj),
Seri Dokumen Gerejawi no. 14, (Jakarta: DOKPEN KWI, 1990
______, Fides et Ratio, (Iman
dan Akal Budi), terj. R. Hardawiryana, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,
1999
ENSIKLOPEDI DAN KAMUS
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia,
2002
Go, Piet
(penerj), Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan, Seri Dokumen Gerejawi no. 85, Jakarta: DOKPEN KWI, 2007
J. D. Douglas,
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003
K. Prent,cs, Kamus
Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969
O’Collins ,Gerald, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Pienini,
Katekismus
Konsili Vatikan II, dalam, A. Heuken SJ (Penerj.), Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,1996
Susanto, Harry,
(penerj), Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius,
2009
BUKU-BUKU
Armstrong, Karen, Masa Depan Tuhan, Sanggahan Terhadap
Fundamentalisme dan Ateisme,
Bandung: PT Mizan Pustaka Utama, 2011
Alexander , Uhi Jannes,
Filsafat
Kebudayaan, Konstruksi Pemikiran Cornelis Van Peursen dan Catatan reflektifnya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016
Achmad, Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengentar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada Media Group , 2006
Atosokhi Gea,
Antonius, dkk, Relasi Dengan Tuhan, Jakarta: PT Alex Media Komputindo, 2004
Banawiratma,
J.B , Hidup Menggereja Kontekstual ,Yogyakarta:
Kanisius,2000
Bakker ,J.W.M., Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar,Yogyakarta: Kanisius, 1984
Bevans , B.
Stephen, Teologi Dalam Perspektif Global, Maumere:
Ledalero, 2010
Bevans, B. Stephen, Schroder P.Roger, , Terus
Berubah-Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, Maumere: Ledalero, 2006
Budiman, Hikmat, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta:
Kanisius, 2002
Cassirer, Ernst, Manusia
Dan Kebudayaan: Sebuah Essei Tentang
Manusia, Jakarta: PT Gramedia, 1990
Da
Cunha, Bosco, Teologi Liturgi Dalam Hidup Gereja, Malang: Dioma, 2004
Haring, Bernard, Cinta Dalam Perkawinan, dalam: Agustinus Nanang (penerj.), Ende: Nusa Indah, 1981
Henry,
Sarojini, Science Meets Faith, An
Interdisciplinary Conversation, Mumbai: St Pauls, 2009
Jacobs, Tom, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi,
Yogyakarta: Kanisius, 2002
Kristianto, Eddy,(Editor), Dinamika Hidup Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 2002
Kuncheria dan Dominic Veliath, An Itroduction To Theology, Banglore:
Thelogical Publications, 2007
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas Dan
Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia 1975
Kirchberger ,Georg,
Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik kristiani,
Maumere: Ledalero, 2007
Leavy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, 1993
Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
Lim, Francis, Filsafat Teknologi, Tentang Dunia, Manusia dan Alat, Yogyakarta: Kanisius, 2008
Mansford Prior, John, Kirchberger, Georg, Iman dan Transformasi Budaya, Ende: Nusa Indah, 1996
Punda Panda,
Herman, Agama-Agama dan Dialog Antar
Agama Dalam Pandangan Kristen,Maumere:
Ledalero,2013
Ryanto, Armada,
dan Mistrianto, (editor), Gereja, Kegembiraan dan Harapan, Merayakan 45 Tahun Gaudium et Spes, Yogyakarta:
Kanisius, 2011
Raga
Maran, Rafael, Manusia dan Kebudayaan: Dalam Perspektif
Ilmu Budaya Dasar, Jakarta:
Rineka Cipta, 2007
Rede
Blolong, Raymundus, Dasar-Dasar Antropologi, Ende: Nusa
Indah, 2012
Setiadi, M. Elly, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Prenada
Media Group, 2009
Syukur
Dister, Nico , Pengantar Teologi, Yogyakarta:
Kanisius, 1991
_____, Teologi Sistematika 1,Yogyakarta: Kanisius 2004
Tri Prasetya, Joko, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 2013
Valley,
Paul, Cita Masyarakat Abad 21, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Wegig,
R. Wahana, Pewartaan Iman Kontekstual ,Yogyakarta:
Kanisius, 2001
KARYA
YANG TIDAK DITERBITKAN
Ahmad,
Nugroho dan Cahyono, Wedio, Ilmu Budaya Dasar, (bahan ajar) pada Universitas
Gunadarma, Jakarta 1994
Jegalus, Nobertus, Filsafat Kebudayaan, (bahan ajar) Pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang, 2007
Watu, Yohanes,
Vianey, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (bahan ajar) PADA Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira
Kupang, 2014
[3] Sarojini
Henry, Science Meets Faith, An Interdisciplinary Conversation,
(Mumbai: St Pauls, 2009), hlm.183
[6] GS art.22
[21] J. D
Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 2003), hlm. 430
[26] Konsili Vatikan II, Konstitusi
Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, dalam: R. Hardawiryana, SJ
(penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 2004) art. 4
selanjutnya akan disingkat DV diikuti
nomor artikelnya
[31] Georg Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kritiani,
(Maumere: Ledalero, 2007). hlm. 47
[33] Fideisme berasal
dari kata dalam bahasa Latin “fidei”
yang artinya “iman” kaum fideis
berpendapat bahwa akal budi sama sekali tidak berguna dalam memahami kebenaran
Kriatiani. Menurut mereka, ratio
tidak dapat membantu untuk memperlihatkan kewajaran iman. Dengan kata lain,
tidaklah mungkin mempertanggungjawabkan iman kepercayaan. Menurut mereka iman
harus sepenuhnya buta.
hlm.32-33
[54] Herman P. Panda,
Agama-Agama dan Dialog Antar Agama Dalam Pandangan Kristen, (Maumere:
Ledalero,2013), hlm.71
[55] Ibid., hlm.75
[56] Ibid., hlm.75-76
[61] Paus Paulus VI, Evengelii
Nuntiandi, dalam J. Hadiwikarta Pr (pernerj), Seri Dokumen Gerejawi no. 20, (Jakarta: Dokpen KWI, 1990, no. 15.
Selanjutnya akan ditulis EN dan diikuti artkelnya
[68] Ibid., hlm. 77
[85] Istilah aggiornamento digagaskan oleh Paus
Yohanes XXIII yang memprolamirkan Konsili Vatikan II. Kata ini diangkat dari kata dalam bahasa Italia “Giorno” yang berarti “hari”, darinya diturunkan kata aggiornamento yang berarti peremajaan
Gereja sehingga mampu menghadapi tuntutan zaman secara modern dan sesuai dengan
kebudayaan “hari ini”.
[99] Francis Lim, Filsafat Teknologi, Tentang Dunia, Manusia
dan Alat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 100
[109] Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang
Gereja,
Lumen Gentium, dalam: R. Hardawiryana, SJ. (penerj.), Dokumen Konsili
Vatikan II (Jakarta: Obor, 2004) art.13 Selanjutnya akan disingkat LG diikuti
nomor artikelnya.
[111] Paus
Paulus VI, Evengelii Nuntiandi, dalam J. Hadiwikarta Pr (pernerj), Seri
Dokumen Gerejawi no. 20, (Jakarta:
Dokpen KWI, 1990, no. 15. Selanjutnya akan ditulis EN dan diikuti artkelnya
[112] Paul Valley, Cita
Masyarakat Abad 21, ( Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 74-75
[114] RM. Art. 20
[115] Paus Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, (Iman dan Akal Budi), terj. R. Hardawiryana,
(Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999), no.1. selanjutnya akan disingkat FR diikuti nomor
artikelnya
[116] FR. art. 5
[117] Paus Yohanes Paulus
II, (promulgator), Katekismus Gereja Katolik, dalam: P. Herman Embuiru, SVD
(penterj.), (Ende: Nusa Indah, 1995), no. 159.
[118] Bosco Da Cunha,
O.Carm, Teologi Liturgi Dalam Hidup Gereja, ( Malang: Dioma, 2004), hlm.109
[119] GS art.57
[121] Ibid., hlm.75-76
[122] GS. Art. 57
[125] Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang
Gereja,Lumen
Gentium, dalam: R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili
Vatikan II (Jakarta: Obor, 2004) art.13 Selanjutnya akan disingkat LG diikuti
nomor artikelnya.
Komentar
Posting Komentar