RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Dalam usaha untuk mengakarkan iman dalam Gereja lokal hubungan atau relasi antara iman dan kebudayaan  sangatlah penting. Kebudayaan diakui sebagai salah satu unsur penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya Gereja. Konsili Vatikan II memandang kebudayaan sebagai ciri pribadi manusia, bahwa ia hanya dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya.[1] Dalam pendekatan budaya Gaudium et Spes bagian dua, bab dua, artikel dua berbicara tentang berbagai kaidah untuk dengan tepat mengembangkan kebudayaan. Pembahasan mengenai pembangunan kebudayaan, meliputi situasi kebudayaan zaman modern, kaidah-kaidah yang benar dalam pembangunan kebudayaan, serta dalam merencanakan tugas-tugas umat Kristen sehubungan dengan pengembangan kebudayaan.[2] Secara khusus di dalam Gaudium et Spes artikel 57 dibicarakan tentang iman dan kebudayaan. Kebudayaan dipandang sebagai tugas manusia untuk membangun dunia secara lebih manusiawi dan misteri iman kristen memberi manusia dorongan dan bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan tugas untuk membangun dunia secara lebih manusiawi dan menemukan makna yang sepenuhnya dari usaha itu, sehingga kebudayaan mendapat tempat yang luhur dalam seluruh panggilan manusia.
            Dalam sejarah perkembangan kebudayaan sebelum Konsili Vatikan II sikap Gereja sangat tertutup. Gereja melihat kebudayaan-kebudayaan sebagai produk dari kekafiran, oleh karena itu ketika seorang atau satu kelompok mengemukakan pendapat yang berbeda dengan apa yang diyakini olehnya maka Gereja akan mengambil tindakan yang tegas terhadap orang atau kelompok tersebut. Contohnya pembunuhan terhadap Galileo Gelilei. Galileo Gelilei pada abad ke XVI mengemukakan satu teori dengan mengacu pada astronomi Copernicus yang menyatakan bahwa bumi dan semua planet berputar mengelilingi matahari. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh Gereja pada masa itu yaitu Gereja mendukung pandangan geosentris Ptolemeus yang menyatakan bahwa matahari dan planet-planet bergerak mengelilingi bumi yang merupakan pusat dari alam semesta.[3]
            Beberapa peristiwa penting sekitar abad XV sampai abad XVI bagi dunia dan bangsa Eropa khususnya merupakan abad-abad penemuan, di mana bangsa Eropa mulai meninggalkan ketertutupan dan mulai mengadakan eksplorasi terhadap dunia Timur dan Belahan bumi Selatan. Hal ini ditandai dengan ekspolrasi Vasco da Gama ke India pada tahun 1460-1524 dan penemuan benua Amerika oleh Columbus pada tahun 1451-1506. Motif mereka mengadakan ekplorasi antara lain, karena mereka ingin tahu daerah baru, mau berdagang dan untuk menyebarkan agama yang mereka anut. Bersamaan dengan itu dalam bidang kebudayaan ditandai dengan bangkitnya Renaicance dan Humanisme. Dengan tampilnya Descartes, mulailah manusia menyadari dirinya sebagai individu dan otonominya atas dunia. Rentetan peristiwa dan perkembangan dunia di atas ikut pula mewarnai praksis perkembangan Gereja.[4]
            Penemuan dan perubahan masyarakat Eropa itu membawa orang Eropa pada perasaan unggul jika dibanding dengan bangsa lain. Akibatnya dunia Eropa dipandang sebagai pusat dan model bagi dunia di belahan bumi yang lain. Keadaan ini seakan memanggil orang Eropa untuk bertanggung jawab, memajukan mereka yang terbelakang. Karena orang Eropa beragama Kristen maka yang di luar itu diidentikan dengan kafir. Dengan demikian orang Eropa terdorong untuk memajukan orang-orang di luar Eropa dengan menjadikan mereka Kristen. Hanya kalau mereka maju dan menggabungkan diri ke dalam Gerejalah mereka akan selamat. Mereka semua yang berada di luar Gereja harus dapat dibawa masuk ke dalamnya untuk diselamatkan.[5]
            Konsili Vatikan II menandai pembaharuan sikap Gereja terhadap kebudayaan dan bangsa-bangsa lain. Dalam Konsili, Gereja dipandang sebagai umat Allah yang sedang berziarah menuju kepenuhannya. Keselamatan yang benar hanya terdapat di dalam Yesus Kristus. Hal itu bukan hanya berlaku bagi kaum beriman Kristiani, melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan. Karena Kristus telah wafat bagi semua orang dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat Ilahi, maka kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri Paskah itu.[6]
            Gereja Katolik tidak menolak apapun yang serba benar dan suci,[7] dalam budaya lain. Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup yang memantulkan sinar kebenaran, yang menyinari semua orang.[8] Maka Gereja mendorong putra-putranya supaya dengan bijaksana berdialog sambil memberikan kesaksian tentang iman serta peri hidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai sosial dan budaya dalam kebudayaan lain.
            Dunia terlebih khusus Gereja dewasa ini berada di tengah-tengah proses globalisasi yang tiada hentinya meresapi segala bidang kehidupan.[9] Proses ini juga mempengaruhi kehidupan kita manusia sebagai mahluk yang beriman sekaligus mahluk yang berbudaya. Sebagai manusia beragama khususnya agama Katolik, kita berhadapan dengan berbagai tawaran dari dunia yang mendukung sekaligus menantang kehidupan beragama kita khususnya iman kita. Sebagai mahluk berbudaya, dengan proses globalisasi ini, kita diberi peluang dan ruang yang seluas-luasnya untuk memilih apakah kita tetap untuk mempertahankan kebudayaan kita sendiri ataukah kita memberi ruang bagi kebudayaan-kebudayaan lain yang baru untuk juga mempengaruhi kebudayaan kita.
            Pewartaan iman oleh Gereja adalah sebagai panggilan atau bahkan sebagai identitasnya yang terdalam. Gereja dipanggil untuk mewartakan injil. Itu berarti, bukan hanya untuk berkotbah dan mengajar, melainkan Gereja menjadi “sarana” rahmat Allah bagi bangsa-bangsa. Gereja mesti menjadi tanda yang memberi harapan bahwa masih mungkin hidup  bersama dengan saling menghargai kebebasan masing-masing orang. Dengan cara itu, Gereja tidak lagi asing bagi dunia. Pada zaman sekarang Gereja tampil dan berakar pada tempat di mana dia tinggal. Gereja tidak lagi sebagai intitusi yang kaku tetapi sebagai suatu persaudaraan iman yang membuka diri pada bimbingan Roh Kudus. Hidup dan berkembangnya Gereja tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan yang ada dan hidup di sekitarnya.
            Atas dasar pemikiran di atas penulis ingin  mengkaji tulisan ini dibawah judul,
“RELASI IMAN DAN  KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II  GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57.”
1.2  Perumusan Masalah
Bertolak dari pemaparan dalam latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan beberapa pokok persoalan yang akan menjadi acuan utama dalam pembahasan tema ini sebagai berikut:
1.      Apa itu iman?
2.      Apa itu kebudayaan?
3.      Bagaimana relasi iman dan kebudayaan secara khusus menurut Konsili Vatikan II dalam Gaudium Et Spes artikel 57
1.3  Kegunaan Penulisan
1.3. 1 Bagi Gereja
            Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran bagi Gereja dalam melaksanakan tugas perutusannya. Tulisan ini juga dapat membantu pembaca sekalian, terutama umat beriman Katolik dalam memahami dan menjelaskan tentang relasi iman dan kebudayaan dalam terang Dokumen Konsili Vatikan II khususnya Gaudium et Spes artikel 57.
1.3.2  Bagi Fakultas Filsafat
            Tulisan ini merupakan satu sumbangan bagi mahasiswa agar dapat menyadari dan memahami secara lebih baik tentang iman dan kebudayaan, serentak memberi motivasi agar mahasiswa mampu melihat dan menanggapi hal-hal yang berhubungan dengan relasi iman dan kebudayaan dalam terang Konsili Vatikan II.         
1.3.3  Bagi Penulis Sendiri
            Dengan mendalami topik ini penulis semakin memahami relasi iman dan kebudayaan dalam pandangan Gereja terutama pandangan Konsili Vatikan II Gaudium et Spes Art. 57 dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan relasi  iman dan kebudayaan. Selain itu penelitian ini akan menjadi rangkaian pemikiran ilmiah yang disamping akan memperkaya penulis sendiri, dan diharapkan dapat memperkaya koleksi perpustakaan Fakultas Filsafat Unwira Kupang.
1.4  Tujuan Penulisan
Penulis akan menginventaris dan membuat sistematisasi kritis tentang topik yang dikaji sehingga tulisan ini dapat menghasilkan suatu pengertian dan pemahaman yang benar mengenai relasi iman dan kebudayaan dalam Gaudium et Spes artikel 57.
1.5  Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan, dengan menggunakan sumber utama yaitu Dokumen Konsili Vatikan II, Kontitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, Gaudium et Spes Art. 57. Selain sumber utama yang digunakan, peneliti juga menggunakan beberapa sumber penunjang lain dari Dokumen Gereja antara lain; Dokumen Konsili Vatikan II, Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristiani, Nostra Aetate; Ensiklik Redemptoris Missio, Paus Yohanes Paulus II; Anjuran Apostolik, Evanggelii Nuntiandi, Paus Paulus VI. Peneliti juga menggunakan buku-buku teologi antara lain; Teologi Sistematika 1 , Niko Syukur Dister, Teologi Dalam Perspektif Global, Stephen B. Bevans. Penulis juga menggunakan sumber-sumber penunjang lain yang berhubungan dengan judul penelitian dan menguraikannya dalam satu pemikiran yang logis.
1.6  Sistematika Penulisan
Kajian penulis dalam topik ini secara keseluruhan melingkupi lima pokok bahasan dengan sistematikanya sebagai berikut:
            Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, kegunaan penulisan, metode dan sistematika penulisan.
            Bab  II, merupakan bab yang secara khusus menguraikan tentang iman, berupa pengertian iman, pandangan para Bapak Gereja mengenai iman, iman dalam Kitab Suci dan pandangan Konsili Vatikan I dan Konsili Vatikan II tentang iman.
            Bab  III, merupakan bab yang secara khusus menguraikan tentang kebudayaan dan juga relasi kebudayaan dengan iman dalam pandangan Gereja..
            Bab IV, menguraikan secara khusus tentang relasi iman dan kebudayaan dalam terang Domumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes artikel 57.
            Bab V, merupakan penutup dari tulisan ini, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
IMAN
2.1 Pengertian Iman
            Kata yang diterjemahkan menjadi “iman” dalam Perjanjian Baru adalah kata dalam bahasa Yunani pistis (bentuk verbal: pisteuo), yang berarti “kepercayaan; kesetiaan; keterlibatan; komitmen”.[10] Ketika Perjanjian Baru diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin oleh St. Jerome, kata pistis menjadi fides (“kesetiaan”). Fides tidak memiliki bentuk verbal, sehingga untuk pisteuo, St. Jerome menggunakan kata kerja Latin credo, sebuah kata yang berasal dari cor do: “aku berikan hatiku”. Dia tidak terpikir untuk menggunakan opinor (“aku memegang pendapat”). Ketika Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, credo dan pisteuo menjadi “I believe” dalam versi King James (1611). Tetapi dalam kata “belief” sejak itu telah berubah makna. Di Inggris pada abad pertengahan, beliven berarti “menghargai; mementingkan; menyayangi”. Itu terkait dengan belieben dari bahasa Jerman (“mencintai”), liebe (“tercinta”) dan libido (“hasrat”) dalam bahasa Latin. Jadi, “belief” aslinya berarti “kesetiaan kepada satu orang yang kepadanya seorang terikat dalam janji atau tugas.[11]
            Dalam bahasa Indonesia, “beriman” biasanya lebih dimaksudkan dalam hubungan dengan Allah; sedangkan “percaya’ kerap kali dipakai dalam hubungan antar manusia. Dalam konteks teologis kata iman dan percaya dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan manusia dengan Allah terutama dalam penerimaan wahyu-Nya.[12]
2.2 Tiga Dimensi Iman
            Tindakan iman merupakan cara manusia yang membuka diri kepada Allah. Dalam pewahyuan, Allah memberi diri-Nya sendiri yang terdalam, menyingkapkan misteri-Nya sendiri yang terdalam kepada manusia. Begitupun dengan manusia, tindakan iman adalah cara manusia memberi diri mereka sendiri dengan mempersembahkan kepada Allah sesuatu yang objektif mengenai persetujuan kepada kebenaran, komitmen pribadi dan perubahan perilaku. Adapun iman memiliki tiga dimensi yaitu:
            Pertama adalah dimensi intelektual. Dalam tindakan iman manusia menerima sesuatu yang objektif sebagai kebenaran. Misalnya ketika kita setuju akan fakta bahwa Allah sesungguhnya adalah pencipta alam semesta atau mengakui makna dari kebenaran bahwa Allah benar-benar adalah “gembalaku” (Mazmur 23:1). Dengan menerima yang objektif sebagai kebenaran maka kita terlibat dalam segi intelektual iman. Ini merupakan penerimaan bahwa apa yang ditawarkan Allah dalam wahyu adalah benar secara objektif.[13]
            Teologi klasik berbicara tentang segi iman ini sebagai penerimaan kebenaran dari sebuah peristiwa atau sebuah doktrin berdasarkan kesaksian Allah sendiri untuk mengimani Allah. Ungkapan dalam bahwa Latin untuk menjelaskan segi iman ini adalah Credere Deum.
            Kedua adalah dimensi afektif. Kita percaya bahwa sesuatu itu benar, namun apa yang kita percaya itu adalah untuk kita dan demi keselamatan kita, sebagaimana yang dirumuskan Syahadat Nicea. Segi afektif  ini adalah tindakan percaya kepada Allah yang menjalin relasi dan persahabatan dengan manusia. Keyakinan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, memanggil kita untuk menaruh kepercayaan kepada Allah yang murah hati dan penuh belas kasih. Kita percaya bahwa Allah berada di sisi kita ketika kita berjalan melalui lembah “kematian” atau lembah “kekelaman” (Mazmur 23:4). Dalam teologi klasik, segi iman sebagai suatu kepercayaan yang mendalam kepada Allah diungkapkan dengan istilah percaya “akan Allah” (credere Deo). Segi iman ini disebut oleh para teolog klasik sebagai fides qua creditur (fides qua), atau iman yang olehnya kita percaya.[14]
            Ketiga adalah dimensi perilaku. Ketika seseorang mempercayai Allah dan menaruh kepercayaan penuh kepada Allah, maka ia bertekad untuk melakoni suatu cara hidup dan cara bertindak yang sesuai dengan tindakan Allah sendiri yang penuh rahmat, cinta kasih dan adil. Jadi karena Allah diakui sebagai pencipta dunia misalnya, dan merupakan sahabat dan kekuatan kita untuk melalui semua petualangan dan kesulitan hidup, maka kita sampai kepada kesadaran bahwa kita tidak perlu hidup dalam ketergantungan pada kekayaan, prestise atau  kekuasaan dan senantiasa bertekad dan hidup dengan cara yang demikian. Segi iman ini desabut “percaya kepada Allah” atau Credere In Deum.[15]
2.3 Iman Menurut Kitab Suci
2.3.1 Perjanjian Lama
            Dalam pewartaan para nabi dari abad VIII sampai abad VI SM, amanat tentang kedatangan Allah merupakan pusat pemberitaan mereka. Menurut Perjanjian Lama, iman adalah kesetiaan sebagai kepercayaan yang berdasar pada janji-janji Allah yang tak tergoyangkan itu secara antisipatif  berorentasi kepada eskaton.[16] Dalam Kitab Suci, iman berarti: Allah berbicara. Pembicaraan itu khususnya terjadi melalui peristiwa sejarah umat-Nya. Makna dari peristiwa itu diartikan dan dimaklumkan para nabi. Iman dalam Perjanjian Lama sebagai sikap manusia menanggapi wahyu Allah dapat dilukiskan sebagai berikut:
            Pertama-tama, iman berarti mendengarkan sabda Allah. Allah menyapa dan mewahyukan diri kepada manusia dengan sabda-Nya, dan dalam menghadapi sabda pewahyuan Allah itu manusia harus bersikap mendengarkan terlebih dahulu. Ketika Allah memanggilnya, Samuel menjawab: “berbicaralah, hamba-Mu mendengarkan (bdk. 1 Sam 3:10).[17]
            Kedua,  sikap beriman mengandaikan kehendak yang secara aktif mendengarkan apa yang difirmankan Allah, lalu kemudian meresapkannya ke dalam hati dengan penyerahan diri yang total, taat dan patuh kepada firman Allah sedemikian rupa sehingga kepatuhan budi dijelmakan ke dalam kepatuhan tingkah laku yaitu menaati perintah Allah. Sikap itu ditunjukan oleh Abraham ‘Bapa orang beriman’ (Kej 12:1.4a).
            Ketiga, orang  yang telah mendengarkan sabda Tuhan dan menaati perintah-Nya, harus tetap setia dalam melaksanakan kehendak Allah. Dengan setia, orang beriman harus hidup sesuai dengan tuntutan Perjanjian.[18] Turun-temurun para nabi mengajak umat agar senantiasa memperbarui kesetiaannya kepada YHWH dalam situasi yang terus-menerus berubah. (Hos 6:6; Yer 5:1-9; 9:2-5; 22:15; Mi 6:8).[19]
            Keempat, beriman dalam Perjanjian Lama juga berarti menaruh percaya pada janji Allah. Dalam Perjanjian Lama, wahyu mendapat bentuk konkret dalam Hukum Taurat dan dalam janji keselamatan. Oleh karena itu iman memperoleh bentuk nyata bukan hanya dalam ketaatan dan kesetiaan, tetapi juga dalam kepercayaan akan penggenapan janji Allah. Percaya bahwa Allah akan menggenapi apa yang dijanjikan-Nya.[20]  Iman dalam Perjanjian Lama adalah iman yang monoteis, hanya percaya mutlak kepada Yahwe. Yahwe menuntut bangsa Israel untuk tidak percaya kepada allah-allah yang lain. Andalan atau yang diharapkan satu-satunya adalah Tuhan. Dalam Perjanjian Lama Abraham menjadi prototipe iman yang sejati. Seluruh hidup Abraham membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh percaya kepada Allah dengan iman yang mendalam. Mengenai Abraham tertulis, “Percayalah ia kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Kej. 15:6).[21]        
            Dapat dikatakan bahwa iman dalam Perjanjian Lama dengan jelas merupakan suatu sikap eksistensial yang menyangkut seluruh pribadi dan bukan merupakan suatu persetujuan akal budi pada kebenaran-kebenaran yang disampaikan kepadanya. Kebenaran yang dijawab iman dalam Perjanjian Lama ialah Allah sendiri dalam keilahian-Nya sebagai dasar yang dapat diandalkan dan manusia menjawab dengan mendasarkan diri seutuhnya di atas dasar itu, tanpa mencari dasar lain.
2.3.2 Perjanjian Baru
            Dalam Perjanjian Baru iman berhubungan dengan karya penyelamatan Allah dalam Kristus. Iman berarti percaya tanpa syarat kepada Yesus. Dalam Yoh. 3:16 dikatakan “setiap orang yang percaya kepada-Ku tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”. Iman kepada Kristus adalah satu-satunya jalan yang menghantar manusia kepada keselamatan.
            Menurut Injil Sinoptik, iman artinya mendengar, memahami dan bertobat. Pertama-tama Kristus mewartakan kabar gembira (Mrk. 1:14-15). Pewartaan itu diterima lalu dilanjutkan oleh para rasul (Mrk. 16:15-16, Mat. 28:19-20). Barang siapa bertelinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar (Mrk. 4:9). Kabar gembira yang diterima dari Kristus haruslah diterima dengan sikap percaya. Sikap percaya itulah yang harus ditampakkan dan diwartakan dalam keseharian hidup (Mrk. 4:20, Luk. 8:21, 11:28). Selanjutnya, oleh kepercayaan yang ada itu orang berbalik kepada Allah dengan seluruh pribadinya, sambil membina sikap batin untuk melaksanakan sabda itu. Di sinilah ada dimensi hidup baru. Dalam Injil sinoptik juga iman sering dihubungkan dengan penyembuhan. Yesus berkata kepada perempuan yang menjamah jubah-Nya di tengah-tengah orang banyak, “tetapi teguhkanlah hatimu, hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Mat. 9:20). Markus mencatat perkataan Yesus, “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk. 9:23). Begitu juga Yesus berkata bahwa seseorang melakukan pekerjaan besar, sekiranya mempunyai iman kendati hanya sebesar biji sesawi (Mat. 17:20; Luk. 17:6). Jelas, Yesus menuntut iman tertuju kepada diri-Nya sendiri.[22]
            Injil Yohanes secara lebih tegas menyajikan pewahyuan diri Allah dalam pribadi Yesus Kristus sedemikian rupa sehingga hanya dapat dijawab dengan satu kata “ya” yang total atau dengan suatu “tidak” yang total. Kehadiran Yesus dan sabda-Nya setiap kali menyebabkan para pendengar terbagi antara yang menerima dan menolak-Nya (Yo 6:60-71; 7:25-36). Iman berarti pilihan untuk memihak Yesus dan menerima sabda-Nya.[23]
            Dalam Kisah Para Rasul iman diartikan sebagai sikap batin yang menyeluruh, artinya sikap itu melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan manusia kepada diri Yesus. Sikap iman menurut Kisah Para Rasul adalah sikap taat dan melekat kepada Kristus secara total dan mutlak (Kis. 3:16; 9:42; 11:17; 16:31).[24]
            Santo Paulus mengartikan iman sebagai mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus, yaitu dalam pelaksanaan rencana keselamatan manusia dalam inkarnasi, hidup dan pewartaan serta wafat dan kebangkitan Kristus (1 Kor 1:17-30, 2:1-4).[25] Bagi Paulus, iman adalah jawaban yang tepat terhadap sabda dan injil, sehingga manusia mengenal rencana penyelamatan yang dilaksanakan Allah dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Di sini perlu dimengerti bahwa yang dimaksudkan Paulus dengan sabda adalah diri Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat. Sedangkan Injil adalah berita tentang Kristus, Penyelamat, yang lazim dikenal dengan kabar gembira.
            Menurut Kamus Teologi iman dimengerti sebagai kebenaran objektif yang diwahyukan, yang dipercaya (fides quae) atau penyerahan diri secara pribadi kepada Allah (fides qua). Orang dapat beriman karena bantuan Roh Kudus (Kis. 16:14; 2 Kor. 3:16-18). Iman ialah tanggapan bebas, bertanggung jawab dan utuh[26]. Dengan iman kita mengakui kebenaran mengenai Pewahyuan Ilahi yang defenitif dalam diri Kristus (Yoh. 20:31; Rm. 10: 19), dengan taat mengikatkan diri kita (Rm. 1:5; 16:26) dan memercayakan masa depan kita kepada Allah (Rm. 6:8; Ibr. 11:1).[27]
2.4 Iman Menurut Para Bapak Gereja
2.4.1 Irenius dari Lyon
            Irenius mengembangkan paham iman dalam usaha untuk melawan gnostisisme yang berkembang pada masanya. Ia mendasarkan iman pada Wahyu Allah dalam sejarah dunia. Irenius mengaitkan iman Kristiani secara lebih erat hubungannya dengan wahyu biblis. Hubungan itu tampak dalam tiga hal berikut. Pertama, iman kepercayaan diartikannya sebagai tindakan mengikuti Kristus dan menyerahkan diri kepada-Nya. Kedua, tokoh Abraham dalam Perjanjian Lama dalam sikap berimannya menjadi teladan iman dalam karya Irenius. Ketiga, tindakan logos sebagai Pewahyu merupakan theologumenon yang paling penting.[28]
2.4.2 Klemens dari Alexandria
            Klemens dari Alexandria merupakan seorang apologet terkemuka yang hidup antara tahun 150-205. Pemikirannya lebih terbuka bagi aneka agama dan filsafat bukan Kristen sebagai cara memahami kekayaan iman Kristen. Baginya pengenalan dengan filsafat dan agama-agama lain dapat berfungsi sebagai persiapan bagi Injil, karena setiap kebijaksanaan yang mengajarkan kebenaran dapat dipahami sebagai yang berasal dari Allah.[29]
            Tentang iman menurutnya berarti mendengarkan Logos di mana Logos dipandang sebagai lanjutan dari YHWH dalam sejarah keselamatan. Allah dikenal oleh rahmat sabda-Nya yang adalah pewahyu. Iman kepercayaan disebut sebagai keputasan bebas, praduga yang berakar pada kodrat manusia dan persetujuan iman. Iman terarah kepada pengenalan akan Allah yang besifat memandang Nan Ilahi. Tatapan ini dimungkinkan karena Logos telah menjelma menjadi manusia sehingga di samping kedengaran juga kelihatan.

2.4.3 Origenes
            Origenes menggunakan filsafat platonis untuk menjelaskan pandangannya menyangkut teologi. Bagi Origenes Allah itu benar-benar transenden, mengatasi semua perubahan dan melampaui segala waktu. Manusia diciptakan untuk menikmati transendensi Allah. Tetapi  bila manusia menyimpang dari kontemplasi akan Yang Ilahi, manusia jatuh dalam dosa, akan tetapi rahmat Ilahi menolong manusia untuk kembali menemukan jalan pulang menuju keutuhan dan Yesus Kristus diberikan kepada manusia sebagai cara agar akal budi yang terbatas bisa menangkap realitas Allah yang tak terbatas.[30]
            Menurut Origenes, iman kepercayaan ialah Sabda Kitab Suci yang menyapa kita manusia. Origenes berusaha memperluas pengalaman beriman Kristiani menjadi ajaran untuk mengenal Allah sedemikian rupa sehingga ajaran Kristiani sama derajadnya dengan theoria filsafat Yunani-kuno, platonisme tengah dan neo-platonisme. Sebagai contohnya ialah peristiwa Gunung Tabor di mana ketiga murid Yesus memandang Yesus dalam kemuliaan-Nya, ditunjukkan bahwa kita di dunia ini sudah dapat memandang Tuhan dalam kemuliaan-Nya apabila iman didalami dan ditingkatkan sampai pada taraf pengelihatan mistik
2.4.4 Thomas Aquinas
            Menurut Thomas Aquinas iman dimengerti sebagai asssentire primae veritati   menyetujui kebenaran pertama. Baginya iman mempunyai suatu aksen intelektual, merupakan suatu tindakan yang dilakukan intelek manusia. Namun iman tidak hanya tindakan intelek saja melainkan intelek harus digerakkan oleh kehendak supaya ia setuju. Dengan demikian, oleh adanya unsur kehendak dalam aktus iman, maka kebebasan iman terjamin.[31]
Iman bagi Thomas Aquinas meliputi komitmen pada pernyataan diri Allah (fides qua), dan juga suatu persetujuan akan kebenarannya (fides quae). Suatu aktus manusia yang hanya bisa berkenan kepada Allah kalau aktus itu berasal dari kehendak bebas yang digerakkan oleh rahmat Allah, sehingga iman yang membenarkan harus merupakan suatu tindakan akal budi yang menyetujui kebenaran  Ilahi oleh karena perintah kehendak yang digerakkan Allah melalui rahmat.[32]
2.5  Iman Menurut Konsili Vatikan I
            Pertama-tama yang perlu diingat adalah bahwa pandangan Konsili Vatikan I ingin melawan dua extrim dalam iman, yaitu: Fideisme[33] dan Rasionalisme[34]. Melawan Rasionalisme, Konsili menyatakan bahwa apa yang diwahyukan oleh Allah itu kita imani sebagai benar, bukan karena kebenarannya yang intrinsik itu dilihat dengan terang kodrati akal-budi melainkan karena wibawa Allah yang mewahyukannya, dan bahwa iman yang menyelamatkan itu tidak mungkin tanpa “penerangan dan ilham Roh Kudus”.[35]
            Melawan Fideisme, Konsili menegaskan bahwa ketaatan iman itu harus selaras dengan akal budi, dan itulah sebabnya Allah menyediakan bermacam-macam tanda, khususnya mujizat dan nubuat yang memungkinkan kta mengakui bahwa wahyu berasal dari Allah. Oleh karena itu penyetujuan yang kita lakukan dalam iman kepercayaan sama sekali tidak bersifat dorongan buta.[36]
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa menurut Konsili Vatikan I, beriman berarti percaya bahwa sesuatu hal benar (Vere Esse Credere). Iman merupakan penerimaan kebenaran-kebenaran oleh akal manusia berdasarkan pemberitahuan dari pihak Allah yang mewahyukan kebenaran tersebut.[37] 
2.6  Iman Menurut Konsili Vatikan II
            Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum artikel 5 dan 6, memandang iman secara lebih menyeluruh dan dalam konteks yang baru. Konteks ini adalah pengertian yang lebih mendalam tentang wahyu yang tidak hanya dilihat sebagai penyampaian kebenaran-kebenaran tentang dan dari Allah, melainkan terutama sebagai komunikasi diri Allah sendiri yang mencapai puncak dan bentuknya yang sempurna dalam diri Yesus Kristus, sabda Allah yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Wahyu berarti suatu pendekatan pribadi dari Allah demi keselamatan manusia. Allah sebagai pribadi mendekati pribadi manusia untuk suatu interaksi pribadi, suatu persahabatan yang membahagiakan dan membebaskan manusia dari kemalangan dan ketakutan.[38]  Iman tidak dilihat sebagai suatu sikap yang menyangkut akal budi manusia, yang harus menerima kebenaran yang tidak dapat dipahami, melainkan iman dilihat sebagai sikap pribadi manusia yang tinggal dekat pada Tuhan yang ingin menyertainya. Sesuai dengan pengertian tentang wahyu, iman ditentukan sebagai sikap eksistensial, dalamnya manusia menerima tawaran persahabatan Allah dan menjawabnya dengan suatu cara hidup baru, sebagai anak Allah bukan lagi sebagai budak dosa.
            Konsili Vatikan II juga melihat tindakan beriman sebagai tindakan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, Sang Pewahyu yang telah menganugerahkan diri-Nya kepada manusia. Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab dan menanggapi wahyu Allah. Jawaban itu meliputi seluruh pribadi manusia, tidak hanya salah satu kemampuannya, misalnya akal budi dan kehendaknya.[39]
            Iman tidak hanya merupakan persetujuan terhadap suatu kebenaran, tetapi juga terlebih dahulu penyerahan diri kepada pribadi Allah. Istilah ketaatan iman (Rm. 16:26) diartikan oleh Konsili Vatikan II secara personal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia yang menanggapi secara positif pernyataan diri Allah. Dalam jawaban itu, manusia menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tahu dan mau, dengan segenap jiwa dan raganya, dengan seluruh hati dan segala kekuatannya.

2.7  Iman Menurut Katekismus Gereja Katolik
            Dalam Ketekismus Gereja Katolik nomor 28 disebutkan bahwa iman adalah keutamaan adikodrati yang mutlak perlu bagi keselamatan. Iman adalah anugerah cuma-cuma dari Allah dan tersedia bagi semua orang yang dengan rendah hati mencarinya. Tindakan iman adalah tindakan manusiawi, yaitu tindakan dari intelek manusia yang terdorong oleh kehendak yang digerakan oleh Allah dan dengan bebas mengamini kebenaran Ilahi. Iman juga pasti karena mempunyai dasar pada sabda Allah. Iman bekerja “oleh Kasih” (Gal. 5:60), dan iman berkembang terus menerus dengan mendengarkan sabda Allah dan doa. Dengan iman, bahkan sekarang ini juga, orang mencecap kegembiraan surga.[40]








BAB III
 PENGERTIAN KEBUDAYAAN
3.1 Arti Kata Kebudayaan
            Istilah “budaya” berasal dari kata “budh” (bahasa sansekerta) yang berarti akal. Kata “budh” kemudian menjadi kata “budhi” (tunggal) dan “budhaya” (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Istilah kebudayaan dalam bahasa Jerman Kultur, dalam bahasa Belanda Cultuur, bahasa Inggris, juga disebut “culture”, yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “cultura”. Akar kata cultura” ialah “colere” yang berarti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang, “berkembang” atau tumbuh.[41] Seluruh kata-kata tersebut mengandung pengertian dasar “mengolah atau mengembangkan” kehidupan sehingga menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Di sini kemudian muncul pemahaman standar bahwa kebudayaan tidak lain merupakan segala bentuk aktivitas manusia dalam mengolah alam demi menyempurnakan kehidupannya.[42]
            Jan W. M. Bakker menyebutkan istilah “kebudayaan” berasal dari kata “Abhudaya” (bahasa Sansekerta) yang berarti hasil baik, kemajuan, kemakmuran yang serba lengkap. Istilah ini dipakai dalam kitab Dharmasutra dan dalam kitab-kitab agama Buddha yang menunjukan kemakmuran, kebahagiaan, kesejahteraan moral dan rohani, maupun material dan jasmani, sebagai kebalikan dari Nirvana atau penghapusan segala musibah untuk menjadi kebahagiaan dunia.[43]
3.2 Konsep Kebudayaan
3.2.1 Konsep Antropologi
            Edward Burnet Tylor mendefenisikan kebudayaan sebagai totalitas pengalaman manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, meliputi pengetahuan, keyakinan atau kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain kebudayaan adalah semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[44] Kebudayaan dapat dilihat secara material maupun secara non material. Kebudayaan  material tampil dalam objek material yang dihasilkan, kemudian digunakan manusia. Misalnya: dari alat-alat yang paling sederhana seperti asesoris perhiasan, alat rumah tangga, pakaian, sistem komputer, deasin arsitektur, mesin otomotif hingga pada instrumen untuk penyelidikan besar. Sebaliknya kebudayaan non material adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan/ keyakinan serta bahasa.[45]
            Selo Sumarjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk masyarakat. Rasa  yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. [46]
            Koentjaranigrat mengatakan, bahwa kebudayaan antara lain berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.[47]. Dengan defenisi ini mau dikatakan bahwa seluruh tindakan adalah kebudayaan karena hanya sedikit saja tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar misalnya naluri. Titik tolak defenisinya ialah kata kebudayaan dari kata sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddi, yang berarti budi atau akal. Dengan ini, kebudayaan dapat berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal dan juga budaya berkembang dari kata mejemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa.[48]
            C.A Van Peursen mengatakan, bahwa dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang, dan kehidupan setiap kelompok orang-orang, berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah alam, melainkan selalu mengubah alam.[49]
            Menurut A. L.Kroeber dan C. Kluckhon kebudayaan terdiri atas berbagai pola bertingkah laku, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi. Pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi dan cita-cita atau paham dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai.[50]
            Ernest Cassirer, memahami kebudayaan manusia dalam konteks kodrat manusia sebagai mahluk satu-satunya yang mengenal simbol, oleh karena itu Cassirer mendefenisiksan manusia sebagai animal simbolicum.[51] Kemampuan mengenal simbol adalah “differentia spesifica” yang membedakan manusia dengan mahluk infrahuman. Simbol adalah hal yang menandai manusia dalam pembedaannya dengan binatang. Binatang pada taraf yang lebih tinggi hanya mengenal tanda, sedangkan manusia mengenal simbol. Karena adanya simbol, maka manusia menciptakan suatu dunia kultural, di mana terdapat bahasa, mitos, agama, kesenian dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan dalam konteks ini adalah usaha manusia untul memahami diri sendiri dan usaha memecahkan persoalan-persoalan melalui kreasi akal budi dan penggunaan simbol.[52]
            Secara praktis kebudayaan merupakan sistem nilai dan gagasan utama (vital). Sistem nilai dan gagasan utama itu dihayati benar-benar oleh para pendukung kebudayaan yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu, sehingga mendominasi keseluruhan masyarakatnya. Dapat dikatakan pula, bahwa sistem nilai dan gagasan utama itu memberikan pola untuk bertingkah laku. Sistem nilai dan gagasan utama sebagai hakekat kebudayaan terwujud dalam sistem kebudayaaan terperinci, yaitu sistem ideologi, sistem sosial dam sistem teknologi. Sistem ideologi meliputi etika, norma, adat istiadat, peraturan hukum yang berfungsi sebagai pengarahan untuk sistem sosial dan berupa interpretasi operasional dari sistem nilai dan gagasan utama yang berlaku dalam masyarakat. Sistem sosial  meliputi hubungan dan kegiatan sosial di dalam masyarakat, baik yang terjalin di dalam lingkungan kerabat, maupun yang terjadi dengan masyarakat yang lebih luas serta pemimpin-pemimpinnya. Pengendalian masyarakat dan pemimpin berkembang dengan nilai budaya dan gagasan yang berlaku. Sistem teknologi meliputi segala perhatian serta penggunaannya, sesuai dengan budaya yang berlaku. Dalam kebudayaan yang terutama agraris, misalnya sistem teknologi sesuai dengan keperluan pertanian.


3.2.2  Konsep Teologis Tentang Kebudayaan
3.2.2.1 Gaudium et Spes Tentang Kebudayaan
            Gaudium et Spes artikel 53, menyatakan bahwa: Pada umumnya dengan istilah kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya. Ia berusaha menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih-payahnya. Ia menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat, lebih manusiawi melalui kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasi yang besar melalui karya-karyanya, supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang, bahkan segenap umat manusia.[53]
3.2.2.2 Aspek Relasi Antara Kebudayaan dan Iman
3.2.2.2.1 Iman dan Kebudayaan Dalam Sejarah Teologi
            Dalam mengemukakan pandangan para bapak Gereja tentang iman dan relasinya dengan kebudayaan, dalam sejarah teologi, hanya dikemukakan pemikiran dari Santo Thomas Aquinas dan Santo Yustinus Martir.
            Pertama, Yustinus Martir, tentang Logos Spesmatikos. Pandangan Yustinus Martir tentang logos spermatikos merupakan suatu pembelaan dan sekaligus uraian iman akan Kristus berhadapan dengan para pemikir Yahudi dan Yunani yang memahami kekristenan secara keliru. Yustinus menggunakan tema logos secara luas. Pada zamannya istilah logos telah memiliki makna filosofis yang dalam dan spesifik. Logos bisa berarti kata, sabda, firman. Makna yang lebih mendalam dari logos yakni “pikiran”  dari mana mengalir gagasan dan konsep-konsep. Lebih lanjut logos bemakna “pikiran” dalam Yang Mutlak, yaitu gagasan terakhir keberadaan segala sesuatu, asal mula alam semesta digagaskan, diciptakan dan ditopang keberadaannya, yaitu akal budi tertinggi yang tak pernah keliru. “Akal Budi Tertinggi” inilah yang senantiasa menopang seluruh keberadaan kosmos.[54]
            Peristiwa Yesus dari Nasaret adalah peristiwa Allah yang menjadi manusia. Allah telah masuk dalam dunia sekaligus melampaui dunia. Yustinus mengidentifikasikan Yesus Kristus dengan logos. Dalam pemakluman Kristus yang tersalib sebagai logos, ditegaskan peranan Yesus Kristus dalam alam semesta. “Pikiran” yang menuntun alam semesta itu tidak lain adalah Kristus yang tersalib. Kehadiran Logos dalam diri Yesus Kristus sangat khusus, karena Logos dalam diri Yesus Kristus itu lahir dari Allah sebagai Logos dari Allah.[55] Maka barang siapa membiarkan diri dituntun oleh logos, tidak dapat tidak akan tiba pada pengakuan akan eksistensi dari satu Allah pencipta alam semesta.
            Hubungan atau relasi Logos Spermatikos dengan kebudayaan oleh Yustinus dijelaskan sebagai berikut: Kristus adalah Logos yang  hadir dalam seluruh kosmos. Karena Logos itu diidenfikasikan dengan Kristus maka menurutnya di setiap tempat dan zaman dalam sejarah umat manusia, bila manusia hidup menurut yang “ideal” yaitu menurut Logos, maka secara implisit adalah kaum kristiani. Yustinus yakin bahwa di dalam setiap manusia Logos telah dicurahkan sebagai pikiran. Tetapi Logos tersebut telah dinyatakan sebagai yang hadir secara utuh dalam Yesus Kristus.[56] Sejauh Kristus adalah Logos ilahi, maka ia merupakan prinsip rasionalitas yang dicurahkan ke atas seluruh alam semesta dan manusia. Kristus pula yang telah mengilhami para pemikir di setiap zaman dan tempat dalam mengemukakan pengetahuan dan kebenaran. Oleh karena itu, menurutnya setiap pemikiran manusia, kebudayaan-kebudayaan dan agama walaupun memiliki nilai yang tinggi, perlu dievaluasi berdasarkan ajaran Kristus, walaupun ajaran kebudayaan dan agama lain memiliki kesamaan dengan ajaran Kristus, tetapi tidak sepenuhnya sama. Ajaran Kristus merupakan norma untuk menilai segala seusatu yang lain.
Kedua ialah pandangan Santo Thomas Aquinas tentang relasi iman dan kebudayaan. Thomas Aquinas dalam pandangan teologisnya menyatakan bahwa manusia dari kodrat rasionalnya memiliki kemampuan untuk mengenal Sang Pencipta melalui ciptaan-Nya. Pengenalan itu sangat bervariasi seturut tradisi budaya dan religius manusia. Dalam kekristenan pengenalan itu tidak hanya sampai kepada pengakuan atas adanya Pencipta sebagai pengasal segala ciptaan, tetapi kekristenan telah menerima wahyu Allah secara khusus dan sampai pada pengenalan akan Allah yang sifatnya supernatural.[57] Thomas Aquinas dari sudut pandang kristen menyebutkan adanya dalam kebudayaan dan agama-agama manusia berbagai penyimpangan dan kekeliruan dalam memahami Sang Pencipta dalam bentuk berhala-berhala, oleh karena itu ia menganjurkan perlunya mengikuti kebenaran dengan setia. Dengan kesetiaan itu orang diantar pada pengenalan akan Sang Pencipta yang sejati, baik melalui pengetahuan kodrati maupun melalui wahyu kristen.
            Bagi Thomas Aquinas, iman hanya dapat dipahami manusia dalam keberadaannya sebagai ciptaan. Sejauh manusia adalah mahluk jasmani-rohani, manusia mengungkapkan imannya berdasarkan pada wahyu supernatural. Dengan demikian, iman kristen dapat dihubungkan dengan kebenaran-kebenaran yang dikenali dan dihidupi oleh kaum non-kristen. Kebenaran-kebenaran yang umum itu dapat menjadi titik tolak pewartaan kristen.[58] St. Thomas tetap pada prinsipnya bahwa kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non-kristen itu merupakan antisipasi yang benar walaupun tidak sempurna atas kebenaran kristen. Hanya ketika berjumpa dengan kebenaran ilahi dalam revelasi kristen, semua kebenaran lain diangkat dan disempurnakan. Thomas Aquinas mangakui bahwa agama-agama non-kristen atau kebudayaan-kebudayaan lain masih dalam tingkatan yang kodrati, dan semuanya masih berada dalam tingkatan yang belum sempurna. Semuanya itu tidak berakhir di dalam dirinya sendiri melainkan bergerak menuju tujuan supernatural yang dijumpai dalam Kristus.
            Pada dasarnya Thomas Aquinas mengakui kemungkinan keselamatan bagi orang-orang lain dari setiap kebudayaan, dengan menempatkannya dalam kerangka universalitas rencana penyelamatan Allah. bagi orang-orang yang sungguh-sungguh melaksanakan kehendak Allah dengan menghidupi keutamaan berupa kebenaran dan kebaikan walaupun tidak mendapat pewartaan kristen, menurut Thomas Aquinas, Allah sendiri akan menujukkan kepada mereka apa yang seharusnya mereka imani, sperti yang terjadi pada Kornelius (Kis.10), atau melalui revelasi batiniah, maka setiap orang memiliki kemungkinan melaksanakan tindakan iman dengan bebas dan dapat mencapai keselamatan.
3.2.2.2.2 Inkulturasi Dalam Teologi Modern
            Konsep inkulturasi pertama kali digunakan oleh Pierre Charles, seorang misiolog Perancis. Ia menerjemahkan ungkapan Amerika “enkulturation” yang memiliki hubungan dengan instilah Jerman “sozialization” (intergrasi ke dalam budaya suatu masyarakat), dengan kata-kata baru dalam bahasa Perancis “inkulturation”. Pada tahun 1962, lewat karya Yoseph Masson, istilah ini muncul lagi dengan sedikit modifikasi. Pada era Vatikan II ia memperkenalkan suatu “katolisisme inkulturatif” yaitu suatu ketebukaan Gereja terhadap segala budaya. Kata inkulturasi akhirnya mendapat tempat dalam dokumen kepausan bermula dalam “Catechesi Tradendae” 1979, dengan arti yang tetap dipertahankan sampai saat ini yaitu inkarnasi kabar gembira Yesus Kristus tentang kedatangan Kerajaan Allah ke dalam suatu kebudayaan manusia.[59]
            Peristiwa inkarnasi menjadi model bagi inkuturasi. Inkulturasi Kristen dilaksanakan dalam analogi dengan inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia. Allah yang universal, yang berada di atas dan dalam semua kebudayaan memperlihatkan diri lewat medium suatu kebudayaan yang konkret dan defenitif.[60] Yesus lahir pada sauatu waktu tertentu, di suatu tempat tertentu, dan berintegrasi dalam suatu budaya tertentu yaitu kebudayaan Yahudi Palestina 2000 tahun yang lampau. Warta universal keselamatan Allah yang dimaklumkan dalam diri Yesus Kristus, dialamatkan kepada manusia dari suatu kebudayaan tertentu, yang hanya dapat menanggapi warta itu dalam kebudayaan mereka sendiri.
            Dalam Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI mengemukakan persoalan hubungan antara Kerajaan Allah yang diwartakan dengan kebudayaan-kebudayaan sebagai berikut:
 “Injil, karena itu juga pewartaan Injil, jelas tidak identik dengan kebudayaan: dan keduanya tidak tergantung dari semua kebudayaan. Meskipun begitu kerajaan yang diwartakan oleh Injil dihayati oleh orang-orang yang secara mendalam terikat pada kebudayaan.  Kerajaan tidak dapat dibangun secara lain kecuali dengan meminjam unsur-unsur kebudayaan atau pelbagai kebudayaan manusiawi. Kendati tidak bergantung dari kebudayaan-kebudayaan, Injil maupun pewartaan Injil tidak niscaya selaras dengannya. Bahkan keduanya mampu merasuki semua kebudayaan itu tanpa menjadi terbawa kepada kebudayaan manapun”[61].
            Inkuturasi Gereja adalah integrasi pengalaman Kristen dari suatu Gereja lokal ke dalam kebudayaan umatnya sedemikian rupa, sehingga pengalaman ini tidak hanya menyatakan dirinya dalam unsur-unsur kebudayaan tersebut, tetapi menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, mengarahkan serta membaharui kebudayaan tersebut sampai menciptakan suatu kesatuan dan persekutuan baru, tidak hanya dalam kebudayaan tersebut tetapi juga sebagai pengayaan Gereja universal. Karena itu inkulturasi dapat dimengerti sebagai relasi dinamis antara kabar gembira kristiani dengan suatu kebudayaan atau kebudayaan-kebudayaan; suatu integrasi kehidupan kristen ke dalam suatu budaya; suatu proses yang berkelanjutan dari interaksi dan asimilasi yang kritis serta timbal balik.[62] Di satu pihak pewartaan Sabda Tuhan harus menghormati semua kebudayaan, namun di lain pihak ia juga harus mengubah kebudayaan-kebudayaan itu, karena kebudayaan merupakan hasil karya manusia. Karena itu ia bersifat relatif, tidak sempurna dan butuh penebusan.  Hal ini berarti, kalau dinilai seturut tuntutan Kerajaan Allah, inkulturasi pertama-tama berarti warta kristiani disampaikan dan dihayati dalam satu kebudayaan lokal, dan kedua bahwa kebudayaan lokal menjadi kristen atau dikristenkan.
            Paus Yohanes Paulus II juga menyinggung soal inkulturasi dalam ensiklik Redemptoris Missio artikel 20 sebagai berikut:
        Lewat inkulturasi Gereja membuat Injil terinkarnasi dalam berbagai kebudayaan dan pada saat yang sama memasukkan bangsa-bangsa, bersama dengan kebudayaannya, ke dalam persekutuan Gereja. Gereja menyebarkan kepada bangsa-bangsa nilai-nilainya, tetapi pada saat yang sama mengambil unsur-unsur yang baik yang sudah ada dalam kebudayaan-kebudayaan itu dam membaharuinya dari dalam. Melalui inkulturasi Gereja, pada pihaknya, menjadi tanda dan sarana yang lebih berhasil guna”[63].
                Kebudayaan secara esensial bersifat dinamis, suatu proses yang terbuka kepada perubahan, maka di sini inkulturasi tidak pernah selesai. Inkulturasi merupakan suatu proses yang dapat memakan waktu yang lama dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang setempat yang berasal dari kebudayaan yang bersangkutan. Karena bilamana suatu kebudayaan berjumpa dengan Injil, jika ada interaksi yang benar, baik kebudayaan maupun Injil harus berubah; kebudayaan berubah karena diarahkan oleh suatu pesan baru dan simbol utama yang baru dan Injil berubah karena diungkapkan secara lebih penuh, sehingga lebih lengkap dari satu-satunya wahyu Roh Kudus.


3.2.2.2.3  Relasi Iman dan Kebudayaan Dalam Teologi Kontestual
            Stephen B. Bevans mengajukan enam model teologis dalam perjumpaan antara iman Kristen dan kebudayaan manusia. Enam model tersebut adalah:
3.2.2.2.3.1 Model Terjemahan
            Model terjemahan melihat kebudayaan secara cukup positif namun lebih terpusat pada penyebaran amanat Injil secara setia. Karena itu ia melihat kebudayaan manusia sebagai sarana, sebagai wahana penyebaran, alih-alih sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya sendiri[64]. Satu pengandaian utama model terjemahan ialah bahwa ada dalam Kekristenan satu kandungan yang perlu diterjemahan  ke dalam bahasa-bahasa lain dan ke dalam istilah-istilah budaya lain. Yang dibutuhkan dalam model terjemahan ini ialah terjemahan kreatif dan idiomatik. Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dalam model terjemahan yaitu bahwa betapapun kreatifnya, kandungan atau makna utama iman Kristen perlu dengan segala cara dipertahankan.[65] Di sini dapat dipakai istilah seperti ‘adaptasi’ dan ‘akomodasi’ untuk menerangkan metode yang dikembangkan dalam model terjemahan ini. Kita dapat mengadaptasi Injil ke dalam budaya lain; kita dapat mengakomodasi amanat Kristen ke dalam satu konteks tertentu, namun dalam proses tersebut amanat Kristen yang kita adaptasi, kita terjemahkan atau akomodasikan tidak terpengaruh.
            Dalam Kosili Vatikan II, Ad Gentes artikel 11, dipakai metode kontekstualisasi ketika berbicara tentang keterbukaan kepada harta kekayaan yang telah dibagikan Allah kepada para bangsa. Tujuannya ialah “menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah penyelamat”, dan juga yang oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Redemptoris Missio 53 mengatakan; “maka kelompok-kelompok yang telah diinjili menyediakan unsure-unsur yang membantu penerjemahan amanat Injil”.[66]
            Dasar Kitab Suci dari model terjemahan ialah Kis 17:2-31, yang mengisahkan pengalaman Paulus di Areopagus di Athena. Contoh dari model terjemahan dalam tradisi Gereja adalah St. Sirilius 826-869 dan St. Metodius 827-885 yang memberitakan Injil di antara bangsa Slavia. Mereka menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Slavonia dan secara tepat ‘mengalihkan gagasan’ alkitabiah dan paham teologi Yunani ke dalam konteks pemikiran dan pengalaman sejarah yang sangat berbeda.
            Dalam prakteknya model terjemahan pertama berbicara tentang proses menemukan hakikat Injil dan kemudian membusanakannya dengan pernak-pernik budaya atau konteks ke dalamnya seorang menterjemahkan hakikat Injil. Untuk melakukannya seorang mesti mempelajari konteks dan mengetahuinya secara mendalam, menguasai dengan baik bahasa lokal yang berkaitan meskipun dalam usaha ini dalam beberapa hal konteks perlu disempurnakan dan disembuhkan oleh rahmat keselamatan dari amanat Injil.

3.2.2.2.3.2 Model Antropologis
            Model antropologis memiliki dasar dalam Kitab Suci maupun dalam Tradisi. Kisah tentang perempuan Kanaan (Mat. 15:21-28) dan perempuan Siro-Fenesia (Mrk 7:24-30) menunjukkan dengan jelas bahwa iman perempuan bukan Yahudi itu benar-benar mengubah sikap Yesus terhadapnya. Dalam tradisi, satu frasa penting dari Yustinus Martir yaitu bahwa di seluruh dunia, kita dapat menemukan “benih-benih Firman”- atau Logos Spermatikos yang menunjukkan kehadiran Allah dalam sejarah umat manusia bahkan sebelum peristiwa inkarnasi[67].
Fokus utama dari model antropologis ialah pembentukan atau pelestarian jati diri budaya oleh seorang yang beriman Kristen, dan anggapan bahwa khazanah yang seringkali tersembunyi dalam sebuah kebudayaan bisa saja menawarkan kekayaan-kekayaan baru bagi pemahaman diri Kristen. Model antropologis ini dipahami dalam dua arti yakni; pertama, bahwa pusat teologi adalah manusia; kedua, bahwa model antropologis mendayagunakan sumber-sumber dari ilmu-ilmu sosial yaitu etnografi atau antropologi.
            Model antropologis ini dimulai dengan mendengarkan kebudayaan secara saksama dalam upaya memindai kehadiran Allah, yang diyakini telah berada di dalam kebudayaan bersangkutan bahkan sebelum kedatangan agama Kristen. Ia akan berupaya menggali harta terpendam Kristus yang terkubur dalam pakan dan lungsin berbagai pola dan nilai budaya. Tugasnya adalah memanggil kebudayaan kepada jati dirinya yang paling dalam dengan menggunakan amanat Injil yang mencerahkan dan pada akhirnya memurnikan[68].
 3.2.2.2.3.3 Model Praktis
            Model ini dikembangkan secara khusus oleh jemaat-jemaat yang tengah berjuang bagi pembebasan, terpusat pada matra-matra budaya yang terlibat dalam perubahan sosial serta mengembangkan tafsir ulang atas kekristenan di tengah-tengah tindakan reflektif yang mendukung perubahan demi perwujudan kaidah-kaidah Kristen[69].
            Dua alasan yang mendasari mengapa model praktis dibicarakan adalah; pertama, wawasan kunci model ini adalah sentralitas praktis yang adalah paduan antara refleksi atas aksi dalam sebuah spiral yang berkelanjutan. Kedua, metode ini dapat dilakukan dalam  situasi di mana terjadi penindasan.  Metode praksis banyak di lakukan dalam metode refleksi teologis pastoral. Ada tiga langkah refleksi teologis teologis misalnya dari praktik bergerak ke dalam satu refleksi cermat atas analisis terhadap pengalaman terhadap kebudayaan di mana pengalaman itu berlangsung serta tradisi kristen yang memberinya kedalaman teologis.
            Dasar Kitab Suci dari model praksis ini dapat dirujuk pada Yes 1:15-17 yang menyerukan kepada orang-orang Israel untuk tidak hanya berpikir benar tetapi juga mesti bertindak benar, dan juga dalam Surat Yakobus 1:12 “Hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika demikian kamu menipu diri sendiri”.
            Wahyu dalam bingkai model praksis mencakup satu amanat konkret dan undangan untuk berelasi. Wahyu lebih dipahami sebagai satu kehadiran Allah dalam dunia yang memberi isyarat kepada orang-orang percaya untuk bergabung bersama Allah dalam karya pembebasan dan penyelamatan-Nya dalam jalinan sejarah manusia dan kosmos. Manusia tidak hanya dipanggil untuk menjadi mitra-mitra Allah.[70]  Alkitab dan Tradisi yang adalah wahana Wahyu lebih dilihat sebagai model-model aksi sekaligus memanggil orang-orang beriman kepada kemitraan dengan Allah dan mengundang semua orang kepada pelayanan profetis.
3.2.2.2.3.4  Model Sintesis
            Model sintesis adalah model yang secara sadar mencoba memadukan pendekatan terjemahan, sikap mendengarkan dengan sungguh-sungguh dinamika epistemologis dari model praktis. Model sintesis ini senantiasa terbuka terhadap model teologi-teologi kontekstual yang lain. Dasar dari model sintesis dapat ditemukan dalam ensiklik Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi;
     Bila suatu Gereja setempat semakin terikat pada Gereja universal dengan ikatan-ikatan yang kokoh dalam persatuan, cinta kasih dan kesetiaan, dalam sikap terbuka terhadap Magisterium Petrus, dalam kesatuan lex orandi yang juga merupakan lex credendi, dalam keinginan untuk bersatu dengan Gereja-Gereja yang lain yang mewujudkan keseluruhan – maka Gereja semacam itu semakin mampu menerjemahkan harta kekayaan iman dalam ungkapan-ungkapan yang sah, yang bermacam-macam. Ungkapan tadi berupa pengakuan iman, doa, ibadat, hidup kristiani dan tingkah laku kristiani dan pengaruh rohani pada orang-orang dimana mereka tinggal. Maka Gereja itu akan juga semakin mewartakan Injil dengan sungguh-sungguh, yaitu semakin mampu menarik harta warisan yang universal agar memungkinkan umat mereka sendiri memperoleh keuntungan darinya, dan juga mampu mengkomunikasikan pada Gereja universal pengalaman dan hidup umat ini, demi kepentingan semuanya.[71]
            Kutipan di atas berbicara dalam bingkai menerjemahkan iman ke dalam konteks-konteks budaya lain, tetapi tampak bahwa ia melampaui model terjemahan dalam arti bahwa ia mengakui fakta bahwa proses kontekstual melibatkan hubungan timbal balik di antara kebudayaan-kebudayaan di satu sisi dan di sisi lain tersirat gagasan dalam proses itu berkaitan dengan aksi, dan karenanya merujuk pada model praksis.
            Metode dasar model sintesis adalah dialog dengan tradisi, dengan konteks. Dialog itu adalah suatu keterampilan yang menuntut displin ketat di satu sisi dan kreativitas yang sangat luas di sisi lain. Dalam analogi model sintesis seperti: tidak cukup merawat tanaman; seorang yang ingin mendapatkan yang terbaik dari semua tanaman itu, karena itu harus bekerja untuk menghasilkan tanaman yang unggul. Dengan cara ini, setiap tanaman dikenali karena mutunya yang terbaik, namun hasilnya adalah sesuatu yang berasal dari mutu berkerja yang paling efektif.[72] Kekuatan model sintesis terletak pada pendekatannya terhadap teologi sebagai suatu percakapan yang jujur di antara  semua mitra. Model sintesis mendengarkan semua suara, terbuka kepada semua unsur yang masuk ke dalam proses teologis.
3.2.2.2.3.5  Model Transendental
            Istilah transendental ini mengacu pada pemikiran filsuf Immanuel Kant. Model transendental mendeklarasikan sentralitas pribadi manusia dalam tindak mengetahui. Seorang hanya tahu ketika ia menimbang semua bukti dan sampai pada satu penilaian pribadi tentang kebenaran. Objektivitas bukan sesuatu yang hanya ada di luar, melainkan suatu yang dinyatakan kepada seseorang ketika ia membuka diri kepada pengalaman, kepada berbagai argumen dan terutama kepada dorongan yang mendalam untuk memahami yang menjadi kemampuan khusus akal budi manusia. Pengetahuan objektif, pengetahuan real dapat diperoleh hanya dengan menggapai subjektifitas sejati[73]. Yang terpenting dalam model ini bukan pada apa yang dihasilkan seseoarang atau apa yang objektif, sebaliknya yang terpenting adalah subjektifitas sejati sebagai seorang beriman, dan kesejatian sebagai seorang pribadi dalam satu koteks budaya dan sejarah yang sangat khas. Dasar Kitab Suci pendekatan model transendental adalah Injil Markus 2:21-22, di mana Yesus menceritakan dua perumpamaan tentang kain yang belum susut yang tidak dapat digunakan untuk menambal baju yang tua dan kantong kulit yang tua tidak dapat menyimpan anggur baru. Apa yang sedang dibawa Yesus adalah sesuatu yang dapat dipahami hanya dengan perubahan pikiran secara total melalui pertobatan.
            Wahyu dalam model transendental dipahami sebagai satu kehadiran pribadi yang dijumpai dalam satu pangalaman pribadi lagi subjektif. Seorang membaca Kitab Suci dan mempelajari tradisi dan ia menemukan orang lain seperti dirinya yang mengalami dan menggumuli kehadiran Allah. Kisah mereka adalah kisah saya dan kisah saya adalah kisah mereka walaupun keduanya berasal dari waktu dan konteks yang berbeda. Melalui pengalaman mereka tentang kehadiran pribadi Allah dan undangan untuk berelasi, seorang menemukan kehadiran dan undangan Allah itu dalam kehidupannya sendiri. Kitab Suci dan  Tradisi senantiasa menerangi dan menentang hidup orang kristen tatkala hidup mereka terbuka kepada cara-cara baru untuk memahami iman akan Kristus.
            Maka konteks seseorang berbagi pengalaman pribadinya, kebudayaannya, lokasi dan situasi sosialnya adalah tempat di mana ia menjumpai Allah, karena konteks itu pada dasarnya baik dan transendental. Semakin jauh seorang masuk ke dalam dirinya sendiri dan menemukan jati dirinya sendiri sebagai orang beriman dan subjek yang unik melalui pengalaman budaya dan lokasi sosialnya, semakin banyak pula ungkapan iman yang membantu orang lain menemukan kesejatian mereka sendiri sebagai seorang beriman dan subjek budaya. Maka dapat disimpulkan bahwa model transendental terpusat pada individu yang otentik beserta kemampuannya untuk mencetuskan pemikiran kristen dan kebudayaan dalam perjumpaan dan dialog.
3.2.2.2.3.6  Model Budaya Tandingan
            Model budaya tandingan walau mengakui peran penting kebudayaan tetapi memandangnya dengan kecurigaan yang besar sebagai sesuatu yang harus dikonfrontasikan dengan Injil yang spesifik secara budaya namun absah secara universal. Model budaya tandingan bukan sebagai hal menerjemahkan Injil ke dalam konteks kebudayaan tertentu melainkan sebagai perjumpaan atau keterlibatan dengan budaya.
            Model budaya tandingan ini memiliki dasar dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Dalam Kitab Suci, Injil Yohanes 3:16 berbicara tentang dunia dalam istilah positif, tetapi juga di beberapa tempat lain dunia juga harus dilawan atau dihindari (Yoh 3:17). Dalam surat pertama Yohanes 2:15 kita diingatkan “Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih Bapa tidak ada dalam diri orang itu”.  Dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma 12:2, dikatakan orang-orang Kristen tidak boleh menjadi serupa dengan zaman tetapi harus membaharui budi mereka dan melakukan apa yang baik, yang berkenan dan sempurna[74]. Kitab Suci dan Tradisi memberikan manusia petunjuk tentang makna sejarah, dan dalam arti itulah ia lengkap dan sudah selesai. Ia memberi kita semua yang perlu kita ketahui, meskipun kita dapat bertolak lebih dalam ketika budaya-budaya lain menawarkan pemahaman mereka sendiri tentang amanat Injil dan tafsiran atas kisah Injil.
            Metode dari model budaya tandingan pertama-tama dimulai dengan mengakui keabsahan iman kristen yang diejawantahkan dalam pengalaman masa lalu dalam Kitab Suci dan Tradisi, sebagai petunjuk tentang makna manusia dan sejarah kosmos. Kisah ini kemudian digunakan sebagai pedoman atau dasar untuk menafsir, menelisik, membuka dan menantang pengalaman masa kini, konteks individu dan pengalaman sosial, budaya manusia, lokasi sosial serta berbagai dinamika perubahan sosial.
3.3 Tahap-Tahap Perkembangan Kebudayaan
            Kebudayaan berkembang melalui tiga tahap berikut yaitu pertama ialah tahap mitis. Yang dimaksud dengan tahap mitis ialah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib yang ada disekitarnya, yaitu kekuasaan dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Tahap ini mencakup kebudayaan primitif, dimana ratio manusia belum atau kurang berperan. Namun dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih nampak, yakni pada tipe manusia yang masih mengandalkan hidupnya pada kekuatan-kekuatan gaib.[75]
            Kedua adalah tahap ontologis. Dalam tahap ontologis manusia tidak lagi hidup dalam kepungan dunia mitis. Manusia secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal yang ada dalam alam ini. Dalam tahap ini manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai hal yang gaib.[76] Manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu  Ilmu pengetahuan berkembang dalam tahap ini.
                        Ketiga adalah tahap fungsional. Dalam tahap ini manusia tidak hanya mengambil jarak terhadap objek-objek penyelidikannya. Tetapi ia juga ingin mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya. Sikap dan alam pikiran ini tampak dalam kehidupan manusia kontemporer yang semakin menekankan perlunya hubungan dialogis yang baik dengan sesama maupun dengan alam.[77]
3.4  Wujud dan Unsur Kebudayaan
Sebagai produk manusia, kebudayaan adalah ekpresi eksistensi manusia sebagai mahluk historis. Kebudayaan terdiri dari tiga wujud dan sembilan unsur. Sebagai ekspresi eksistensi manusia, kebudayaan berwujud sesuai dengan corak dasar keberadaan manusia.  Tiga wujud kebudayaan yaitu terdiri dari:
Pertama, adalah wujud ide, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, kompleksitas sistem simbol, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan lain-lain yang mengandung sistem makna yang abstrak. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakuan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.[78] Disebut wujud ide, karena sifatnya yang abstrak.[79] Ia terdapat dalam pikiran manusia (masyarakat) di mana kebudayaaan yang bersangkutan hidup. Menurut Koentjaraningrat, wujud ideal kebudayaan disebut juga adat istiadat dan tata-kelakuan. Disebut tata kelakuan, karena fungsinya sebagai pengatur, pengendali, dan pemberi arah bagi kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Adat mempunyai beberapa lapisan, yaitu: sistem nilai budaya, norma-norma, sistem hukum dan peraturan-peraturan khusus. Sistem nilai budaya merupakan tingkat paling  abstrak dari adat. Yang dimaksud dengan sistem  nilai budaya adalah konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup.[80]
            Kedua, wujud aktivitas atau produksi yang terungkap dalam berbagai institusi atau lembaga ciptaan manusia. Hal ini mengenai tindakan berpola manusia itu sendiri. Sistem ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi satu sama lain dari waktu ke waktu yang selalu menurut pola tertentu.[81] Manusia tidak hanya berpikir dan mencetuskan ide-ide, tetapi juga mampu berusaha mewujudkan apa yang dipikirkan dan dicita-citakannya. Untuk itu manusia harus melakukan pelbagai aktivitas. Manusia tidak hanya melakukannya secara individual tetapi juga secara sosial melalui kerja sama dengan orang lain dan dengan itu manusia berhasil mewujudkan cita-cita individual dan sosialnya. Masyarakat dengan segala norma yang dimilikinya merupakan dasar aktivitas manusia. Dalam suatu tatanan sosial manusia melakukan pelbagai aktivitas budaya.
            Ketiga, wujud fisik atau produk budaya sebagai benda-benda material yang fisikal dan konkret, yang ada dalam ruang dan waktu secara historis untuk menjawab segala kebutuhan manusia.[82] Wujud fisik ini berupa seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat dengan sifatnya yang sangat konkrit berupa benda-benda material.[83] Benda-benda material ini meliputi semua benda atau objek fisik hasil karya manusia, seperti rumah, gedung-gedung, jalan, jembatan, mesin-mesin dan sebagainya. Karena itu sifatnya paling konkret, mudah diobservasi. Kebudayaan fisik merupakan hasil dari aktivitas sosial manusia.
            Ketiga wujud kebudayaan tersebut mencakup Sembilan unsur atau elemen sistemik yang terdiri dari elemen sistem komunikasi, sistem organisasi, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem kesenian, sistem religi, sistem permainan, dan kuliner. Dengan demikian kebudayaan meresapi semua sektor kehidupan manusia.[84]

BAB IV
 RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57

4.1 Latar Belakang Gaudium et Spes
            Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Konsili ini dimulai oleh Paus Yohanes XXIII. Pembukaan Konsili ini secara resmi pada tanggal 11 Oktober di Basilika St. Petrus oleh Paus Yohanes XXIII. Tujuan utamanya ialah memperbaharui situasi internal Gereja Katolik sendiri (Aggiornamento)[85], agar mewartakan keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus dengan cara-cara yang lebih meyakinkan pada manusia abad XX[86].
            Dalam sidang itu, bapak-bapak Konsili menghasilkan 16 dokumen yakni: 4 Konstitusi yaitu: tentang Liturgi, Gereja, Wahyu Ilahi dan tentang Gereja dalam dunia modern; 9 Dekrit yaitu tentang upaya Komunikasi sosial, Gereja-gereja Timur Katolik, Ekumenis, Tugas Pastoral para Uskup dalam Gereja, Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, Pembinaan Iman, Kerasulan awam, Kegiatan Misioner Gereja dan tentang Pelayanan dan kehidupan para Imam); dan 3 Pernyataan (tentang Pendidikan Kristen, Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristen dan Kebebasan Beragama).
            Salah satu Konstitusi  Pastoral yang berhasil dirumuskan oleh para Bapak Konsili adalah Gaudium et Spes, yakni Konstitusi Pastoral Tentang Gereja dalam Dunia Modern. Dalam Konstitusi ini dipaparkan tentang citra Gereja dalam berbagai kegembiraan dan harapan, penderitaan dan kegelisahan dengan sesama sezaman[87].
            Pada tanggal 8 Desember 1965, Konsili dengan resmi ditutup. Konsili diakhiri dengan amanat Paus Paulus VI serta pembacaan pesan-pesan Konsili, yang dibawakan oleh beberapa Kardinal sebagai wakil dari para Bapak Konsili. Pembacaan pesan-pesan Konsili ini, diajukan kepada beberapa elemen yang dirasa sangat penting yakni: para pemimpin negara, kaum intelektual, para seniman, kaum wanita, mereka yang sakit dan menderita, kaum dan generasi muda[88]. Gaudium et Spes juga membicarakan tentang bagaimana kiat-kiat untuk memajukan perkembangan kebudayaan.
            Motif umum yang mempengaruhi seluruh Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes adalah pertimbangan tentang martabat manusia serta panggilannya yang istimewa di dalam dunia ini, baik secara individual maupun secara sosial. Konsili tidak berniat hanya pada hasil ilmu filsafat, psikologi dan sosiologi semata kerena semuanya harus dilihat dalam terang Injil. Seiring dengan kebenaran yang tertera dalam terang Injil itu, pengalaman juga harus dimasukkan sebagai salah satu sumber pengetahuan moral Kristen[89].
            Melalui pengalaman manusia, kita dapat memperoleh pengetahuan yang lebih memadai tentang hukum kodrat dalam lingkup kekristenan. Oleh karena itu, pertama-tama ajaran hukum kodrat tidak boleh dilihat secara terpisah dari ajaran Injil. Konsili tidak hanya berurusan dengan prinsip-prinsip yang abstrak dan non-historis semata, tetapi juga dengan seluruh pengalaman rohani manusia dalam eksistensinya yang menyejarah. Pengalaman rohani manusia yang menyejarah itu tidak lain dari kumpulan pengalaman-pengalaman serta asimilasinya ke dalam hidup rohani.
4.1.1  Proses Terbentuknya Gaudium et Spes Oleh Konsili Vatikan II
            Setelah dipilih menjadi Paus pada tahun 1959, Paus Yohanes XXIII mengungkapkan niatnya untuk menyelenggarakan suatu konsili. Persiapan untuk mengadakan konsili ini membutuhkan waktu lebih dari dua tahun. Persiapan ini melibatkan sepuluh komisi khusus yakni pihak media dan Christian Unity, serta komisi pusat untuk koordinasi secara keseluruhan. Sebagian besar anggota komisi berasal dari Kuria Roma. Mereka mengusulkan 987 sesi sidang yang akan dilaksanakan dalam konsili dan menghadirkan sejumlah ahli untuk konsultasi teologis. Konsili ini dibuka pada tanggal 11 0ktober 1962 dengan membuka jendela sebagai simbol Gereja yang membuka diri pada dunia dan membacakan pidato pembukaan dengan seruan “Gaudet Mater Ecclesia: Bunda Gereja bersuka cita.”[90]
            Konsili Vatikan II berlangsung selama empat tahun, dengan empat sesi atau periode sidang. Periode pertama 1962: dimulai pada tanggal 13 0ktober 1962 saat mereka membahas keanggotaan komisi, skema-skema diajukan, isu-isu seperti liturgi, media komunikasi, Gereja-gereja Katolik Timur, dan sifat wahyu. Setelah Paus Yohanes XXIII meninggal pada tanggal 2 Juni 1963, ia digantikan oleh kardinal Giovani Montini yang terpilih menjadi Paus pada tanggal 21 juni 1963 dan bergelar Paus Paulus VI dan dialah yang mengumumkan agar konsili dilanjutkan.[91]
            Periode kedua berlangsung pada 29 September sampai 4 Desember 1963: sebelum periode ini dibuka, Paus Paulus VI berusaha memperbaiki beberapa masalah organisasi dan prodesural yang telah ditemukan selama periode pertama. Pada sesi ini, Paus Paulus VI menekankan sifat pastoral konsili dan menetapkan empat tujuan konsili yaitu: untuk mendefenisikan sifat Gereja dan peran uskup, untuk memperbaharui Gereja, untuk mengembalikan kesatuan semua orang Kristen, dan untuk memulai dialog dengan dunia kontemporer.[92]
            Periode ketiga berlangsung pada tanggal 14 September sampai dengan tanggal 21 November 1964. Dalam periode ini Paus Paulus VI menyetujui dan mengumumkan skema mengenai Unisitas Redintegratio, Orientalium Ecclesiarum, dan Lumen Gentium. Adapun hal-hal yang muncul dalam periode ini antara lain, pernyataan mengenai sakramen perkawinan sebagai pedoman untuk merevisi Kitab Hukum Kanonik tentang perayaan dan masalah Yuridis pastoral, tidak dilaksanakan oleh Paus Paulus VI selama konsili. Selain itu Paus juga menunda pembahasan mengenai topik tentang Kontrasepsi, dan Ad Gentes dan Presbyterorum Ordinis diminta agar ditulis ulang. Periode ini ditutup dengan mengumumkan perubahan dalam ekaristi dan menegaskan kembali Maria sebagai “Bunda Gereja.”[93]
            Periode keempat berlangsung 14 September sampai tanggal 8 Desember 1965. Paus membuka periode terahir ini dengan mendirikan Sinode para Uskup yang lebih permanen agar tercipta kerja sama yang intensif (para Uskup dengan Paus) pasca Konsili. Dalam periode ini, para bapak Konsili menyelesaikan sebelas skema yang masih belum selesai pada periode ketiga. Skema 13, tentang Gereja di dunia modern, direvisi oleh sebuah komisi yang dibantu oleh awam. Dokumen pertama yang diputuskan adalah Dignitatis Humanae. Selain itu dokumen-dokumen lain yang turut diputuskan yakni: Gaudium et Spes, Ad Gentes, Presbyterorum Ordinis, Christus Dominus, Perfecta Caritatis, Optatam Totius, Gravissimum Educationis, Apostolicam Actuositatem[94].
4.1.2  Gambaran Umum Tentang Gaudium et Spes
            Secara etimologis, kata Gaudium et Spes berasal dari kata dalam bahasa Latin, Gaudium dari kata dasar gaudere yang berarti kegembiraan[95], dan Spes dari kata dasar Sperare yang artinya harapan[96]. Berdasarkan arti etomologis itu, maka Gaudium et Spes berarti kegembiraan dan harapan. Arti Gaudium et Spes ini mempunyai hubungan makna dengan pewartaan Injil di tengah dunia zaman sekarang. Apakah disadari atau tidak, dunia zaman sekarang ini mempunyai ketergantungan dan hubungan kesatuan yang erat dengan pewartaan Injil Kristus. Walaupun demikian, dunia juga mengalami pertentangan dan perpecahan akibat adanya kekuatan-kekuatan yang berlawanan di bidang politik, sosial dan ekonomi. Pertentangan-pertentangan yang terjadi menyebabkan bahaya perang yang mengancam keselamatan jiwa manusia. Dalam kondisi dunia yang demikian, arti dan makna pewataan Injil terus ditantang untuk selalu hadir dan membawa damai bagi dunia. Gereja harus turut ambil bagian dalam situasi dunia ini dengan selalu membagi kegembiraan dan harapan bagi seluruh umat manusia terutama bagi mereka yang miskin dan tidak diperhitungkan dalam masyarakat dunia.
4.1.3 Garis Besar Gaudium et Spes
            Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes dibagi atas dua bagian besar yaitu: pertama, Gereja dan Panggilan Manusia dan kedua, Beberapa Masalah yang Mendesak.  Kedua bagian dalam Gaudium et Spes ini merupakan satu kesatuan tak terpisahkan.
            Pada bagian pertama ditekankan aspek pastoral. Hal ini dimaksudkan untuk medeskripsikan hubungan Gereja dengan dunia zaman sekarang[97]. Adapun beberapa tema yang diuraikan dalam bagian awal ini yaitu: pertama, Martabat Manusia (no. 12-22). Di sini diungkapkan bahwa manusia dari kodratnya diciptakan menurut citra Allah, sebagai mahluk sosial. Kedua, Masyarakat Manusia (no. 23-32). Di sini diuraikan soal ketergantungan antara sesama manusia sebagai akibat perubahan teknologi. Semua orang dituntut untuk bekerja demi mewujudkan kesejahteraan umum. Ketiga, Kegiatan  Manusia di Dunia (no.33-39). Dikatakan bahwa nilai kerja yang ada dalam diri manusia pada hekekatnya adalah baik karena sesuai dengan citra Allah. Allah telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengelola dunia. Keempat, Peranan Gereja dalam Dunia Zaman Sekarang (no. 40-45). Dikatakan bahwa Gereja dan umat manusia berada dalam situasi yang sama. Dunia membantu Gereja dalam mempersiapkan dasar bagi Injil. Oleh karena itulah Gereja harus memberikan kesaksian di tengah-tengah masyarakat manusia.
            Bagian kedua, menitik-beratkan konsepnya pada tugas mengajar. Para Bapak Konsili berusaha meneliti dengan lebih cermat segala segi kehidupan manusia dan persoalan-persoalannya terutama persoalan-persoalan yang sangat mendesak. Pertama, Perkawinan dan Keluarga (no. 47-52). Pada bagian ini diuraikan dengan jelas bahwa kesucian perkawinan dan keluarga mengalami pergeseran yang drastis. Kesucian perkawinan dan kesakralan perkawinan dan keluarga dikikis oleh perceraian, poligami, hedonisme dan cinta bebas. Kedua, Kebudayaan Manusia (no. 53-62). Dalam bagian ini, disoroti juga tentang adanya penilaian kritis dari bebagai ilmu, urbanisasi dan sebab-sebab lainnya. Semua penilaian ini mampu menghasilkan pola-pola budaya baru. Ketiga, Kehidupan Sosial Ekonomi (no. 63-72). Perkembangan kehidupan sosial ekonomi dan kemajuan-kemajaun dalam bidang teknologi telah menghasilkan perubahan-perubahan sosial dalam kehidupan manusia. Perkembangan dan kemajuan ini disatu pihak, menghasilkan kemakmuran yang luar biasa, tetapi di lain pihak juga membawa kemiskinan dan kemelaratan. Keempat,  Hidup Bernegara (no. 73-76). Menurut bagian ini, negara berkewajiban menciptakan dan membangun kesejahteraan rakyatnya. Tetapi negara dan Gereja itu tetap otonom sesuai dengan fungsinya masing-masing, sebab negara dan Gereja berada di atas dasarnya yang berbeda. Walau demikian, keduanya tetap bersatu melayani panggilan sosial umat manusia. Kelima, Usaha Demi Perdamaian dan Pembentukan Persekutuan Bangsa-bangsa (no. 77-79). Perdamaian harus mendapat perhatian khusus karena, produksi senjata dan perang menyebabkan manusia berada pada situasi yang sangat kritis. Perang harus dihindari, tetapi perdamaian dan cinta kasih harus diutamakan dalam mewartakan karya keselamatan dan keadilan kepada manusia.
4.2  Teks Gaudium et Spes Artikel 57
            ( Iman dan Kebudayaan)
                Dalam ziarah mereka menuju Kota Surgawi, Umat beriman Kristen harus mencari dan memikirkan perkara-perkara yang di atas. Dengan demikian, tidak berkuranglah, melainkan justru semakin pentinglah tugas mereka untuk bersama dengan semua orang berusaha membangun dunia secara lebih manusiawi. Sesungguhnyalah, misteri iman Kristen memberikan dorongan dan bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan tugas itu, dan terutama untuk menemukan makna sepenuhnya jerih payah mereka itu sehingga kebudayaan mendapat tempatnya yang luhur dalam keseluruhan panggilan manusia.
                Sebab bila manusia dengan karya tangannya maupun melalui teknologi mengelola alam supaya menghasilkan buah dan menjadi kediaman yang layak bagi segenap keluarga manusia, dan bila ia dengan sadar memainkan peranannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, ia melaksanakan rencana Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukan dunia serta menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus ia mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama.
                Selain itu, bila manusia menekuni pelbagai ilmu filsafat, sejarah, serta ilmu matematika dan fisika, serta mengembangkan kesenian, ia dapat berjasa sungguh besar sehingga keluarga manusia terangkat kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kepada satu visi yang bernilai universal, dan  dengan demikian lebih terang disinari oleh kebijaksanaan yang mengagumkan, yang sejak  kekal ada pada Allah, menghimpun segala sesuatu bersama dengan-Nya, bermain di muka bumi, dan menikmati kehadiran-Nya bersama anak-anak manusia.
                Dengan sendirinya jiwa manusia makin dibebaskan dari perbudakan harta benda, dan dapat lebih leluasa mengangkat diri untuk beribadat kepada Sang Pencipta dan berkontemplasi. Bahkan, atas dorongan rahmat ia menjadi siap untuk mengenal Sabda Allah, yang sebelum menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam diri-Nya sebagai kepala, sudah berada di dunia, sebagai “Terang Sejati, yang menyinari setiap orang” (Yoh. 1:9).
                Memang, kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi zaman sekarang, yang dengan metodenya tidak mampu menyelami hakikat kenyataan yang sedalam-dalamnya, dapat membuka peluang bagi fenomenisme dan agnostisisme, bila metode penelitian, yang digunakan ilmu-ilmu itu, disalahartikan sebagai norma tertinggi untuk menemukan seluruh kebenaran. Bahkan, ada bahaya, jangan-jangan manusia karena terlampau mengandalkan penemuan-penemuan zaman sekarang, merasa sudah memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak lagi mendambakan nilai-nilai yang lebih luhur.
                Akan tetapi, konsekuansi-konsekuensi yang malang itu tidak dengan sendirinya timbul dari kebudayaan zaman sekarang; tidak boleh pula menjerumuskan kita ke dalam godaan, untuk tidak mengakui nilai-nilai positifnya. Di antaranya, yang dapat disebutkan: usaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekan-rekan kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan akibat kemiskinan budaya. Semua itu dapat menimbulkan suatu disposisi untuk menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih Ilahi oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia.
4.3  Pokok-Pokok Pikiran Dari Gaudium et Spes Artikel 57
4.3.1 Tempat Luhur Kebudayaan Dalam Membangun Dunia Secara Lebih                   Manusiawi
            Manusia dipanggil dan hidup di dunia untuk melaksanakan rencana Allah yaitu menaklukkan dunia, menyempurnakan alam ciptaan dan sekaligus mengembangkan dirinya. Dari itu manusia berusaha untuk mengembangkan segala sarana dan upaya untuk menyempurnakan dan mengembangkan segala bakat dan pembawaan[98]. Manusia berusaha menaklukkan alam semesta dengan pengetahuan dan usahanya serta ia selalu mengungkapkan, menyalurkan, dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasinya melalui karya-karyanya dalam kebudayaan sehingga kebudayaan mendapat tempat yang luhur dalam seluruh panggilan manusia sebagai sarana manusia melaksanakan kehendak Sang Pencipta. Gereja melalui konsili selalu mendorong para anggotanya untuk mengembangkan kebudayaannya karena semua manusia berhak atas kebudayaan manusiawi. Kebudayaan manusiawi itu harus tetap ada dan justu semakin dikembangkan.
Kebudayaan berkembang sebagai hasil dari usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya dan mencari makna hidup. Usaha atau upaya itu mencakup pengembangan ilmu pengetahuan untuk menguasai alam semesta, pengembangan tata susila dan berbagai lembaga agar kehidupan bersama umat manusia menjadi lebih manusiawi dan pengungkapan dan pelestarian pengalaman-pengalaman rohani lewat karya-karya seni. Dalam kitab Kejadian 1:28 dikatakan “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah muka bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Ini mau menunjukkan bahwa dengan kebudayaan manusia secara terus menerus melaksanakan rencana Allah yaitu dengan memanfaatkan alam ciptaan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menguasai alam ciptaan secara bijaksana.
4.3.2 Dengan Tangan dan Teknologi Manusia Menyempurnakan Alam dan Dirinya Sendiri
            Pengaruh teknologi sungguh penting dalam dunia kehidupan manusia. Manusia tidak dapat lari dari teknologi. Teknologi ada di mana-mana dan mempengaruhi hidup manusia dalam hampir semua bidang kehidupan dan teknologi mengubah pengalaman manusia untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidupnya manusia. Kebutuhan hidup itu tidak serta merta ada melainkan perlu diusahakan karena tubuh manusia amat tebatas. Dengan daya kreativitasnya manusia mengembangkan teknologi sehingga manusia dapat melampaui batas-batas alamiahnya. Teknologi menjadi sarana bagi manusia untuk memanifestasikan kreativitasnya. Kreativitas ini adalah cara manusia untuk mengembangkan dirinya[99].
            Teknologi menjadi sarana bagi manusia untuk terus mengembangkan diri dengan melampaui kemampuan diri dan lingkungan sekitarnya. Usaha mengembangkan diri dan alam demi kebutuhan manusia juga merupakan suatu panggilan untuk mengeksplorasi alam dengan tidak mengabaikan keadaan dunia kehidupan melalui upaya perawatan dan pelestarian alam agar dunia kehidupan menjadi tempat hunian yang nyaman.
4.3.3 Aneka Ilmu Pengetahuan Dapat Menghantar Manusia Kepada Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan
            Berdasarkan pengalaman bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bentuk kebudayaan manusia, baik yang dapat dirasakan maupun yang tersembunyi juga menyingkapkan hakikat manusia dan merintis jalan-jalan baru menuju kebenaran, dan semuanya itu juga berguna bagi Gereja. Dalam Gaudium et Spes dikatakan:
“Sebab awal sejarahnya Gereja telah mengungkapkan warta tentang Kristus melalui pengertian-pengertian maupun bahasa-bahasa pelbagai bangsa, dan selain itu berusaha menjelaskannya dengan kebijaksanaan para filsuf: maksudnya ialah untuk menyesuaikan Injil dengan daya tangkap semua orang dan dengan tuntutan kaum arif bijaksana, sebagaimana wajarnya. Adapun cara yang sesuai untuk mewartakan sabda yang diwahyukan harus tetap menjadi patokan bagi setiap penyiaran Injil.[100]  
Dengan pernyataan tersebut, Gereja mengakui perlunya menerima sumbangan yang berarti dari ilmu-ilmu misalnya ilmu filsafat, sejarah serta ilmu matematika dan fisika serta mengembangkan kesenian yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia sebagai bagian dari perkembangan kebudayaan manusia. Gereja menghargai dan memandang dunia secara positif dan ingin berarti bagi dunia.
            Pada masa kini ataupun pada masa yang akan datang sangatlah perlu bagi pewarta Injil untuk menguasai ilmu-ilmu profan yang mempunyai sumbangsih yang besar. Dengan itu pewarta Injil dengan tepat menguasai ilmu dan menghayati iman Kristianinya secara mendalam, dan diharapkan mampu menemukan ungkapan iman yang relevan bagi dunia sehingga penghayatan iman tidak terpisah melainkan menyatu dalam kehidupan nyata.[101] Dengan itu kelurga manusia terangkat kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kepada satu visi yang bernilai unversal yakni keselamatan.[102]
4.3.4  Ibadat Kepada Sang Pencipta dan Kontemplasi
            Dalam berbagai agama berlaku bahwa konsentrasi pikiran melalui praktek seperti meditasi atau kontemplasi dan sebagainya merupakan teknik-teknik yang turut menolong manusia mengarahkan dan menyatukan hati dan jiwa dengan Yang Ilahi atau Tuhan.[103]  Dalam berkontemplasi orang bisa mengambil hal tertentu sebagai bahan perenungan misalnya ayat-ayat Kitab Suci kemudian merenungkannya. Umumnya kontemplasi dilangsungkan dengan posisi tubuh diam dan tenang. Ini akan membantu seseorang untuk bisa memusatkan perhatian atau konsentrasi yang menolong untuk penenangan hati dan pikiran. Dengan kondisi tubuh seperti ini ditambah dengan suasana doa, seseorang dapat lebih mudah untuk mengalami peleburan hati dan pikiran dengan Tuhan.
4.3.5  Bahaya Dari Ilmu Pengetahuan (Fenomenisme dan Agnostisisme)
            Ilmu pengetahuan merupakan salah satu unsur vital yang membentuk kebudayaan umat manusia. Ilmu pengetahuan dapat menghantar manusia kepada kebenaran dan kebaikan. Tetapi apabila ilmu pengetahuan tidak memperhatikan batas-batas penelitiannya maka akan membawa manusia pada bahaya fenomenisme dan agnostisisme. Secara harafiah kata agnostisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani “agnostos” berarti “tidak dikenal” atau “kemustahilan untuk diketahui”. Kata ini diciptakan oleh T.H. Huxley  untuk  menyebut pernyataan mana saja yang kejelasannya tidak mencukupi untuk dipercaya. Karena itu agnostisisme sendiri dapat dimengerti sebagai teori tentang tidak dapat diketahuinya sesuatu.[104] Dalam artinya sekarang, istilah ini mengungkapkan paham filsafati yang mempunyai pandangan bahwa segala sesuatu yang berada di atas rasa tidak diketahui. Dengan kata lain, agnostisisme adalah aliran yang secara umum menyangkal segala metafisika sebagai sumber pengetahuan nyata. Dan secara khusus agnostisisme adalah pengingkaran kemungkinan untuk mengetahui Allah. Paham ini memang menerima kemungkinan adanya suatu kenyataan yang bersifat transenden, tetapi menolak gagasan bahwa manusia dapat mengetahui secara pasti eksistensi dan khususnya hakekat kenyataan dari yang transenden itu. Sebagai akibatnya pengetahuan dibatasi hanya pada barang-barang material, sedangkan pengetahuan mengenai yang transesnden diserahkan saja kepada perasaan.[105]
            Fenomenisme memandang hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindra dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Sedangkan hal yang tidak dapat diterangkan oleh indra bukan merupakan hal yang nyata misalnya hal-hal yang melampaui atau hal yang metafisis tidak dapat diketahui.
            Dapat disebutkan sebagai bahaya, lahirnya fenomenisme dan agnostisisme yang memandang manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Allah. Bahaya ini muncul sebagai akibat dari anggapan bahwa metode penelitian yang digunakan oleh ilmu pengetahuan adalah norma tertinggi. Pandangan seperti ini cendrung tidak mempedulikan agama dan Yang Mutlak karena lebih mengandalkan ilmu positif dan pembuktian ilmiah. Selain itu sifat Yang Mutlak dikenakan pada nilai-nilai manusiawi tertentu, sehingga nilai-nilai itu dipandang menggantikan Allah.
4.3.6  Nilai Positif Ilmu Pengetahuan: Setia dan Cermat Terhadap Kebenaran
            Sebagai produk kebudayaan manusia, ilmu pengetahuan mempunyai sumbangsih yang sangat besar untuk perkembangan diri manusia.  Kemajuan ilmu pengetahuan saat ini sangatlah pesat. Kemajuan itu sekaligus membawa serta nilai-nilai yang positif dan negatif. Adapun nilai-nilai positif dari ilmu pengetahuan yang berkembang dalam zaman sekarang menurut Konsili adalah: “usaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran dalam penelitian-penelitian ilmiah, keharusan untuk berkerja sama dalam kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan melindungi sesama,”[106]. Dengan bebagai metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan maka dapat membawa manusia pada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.
4.3.7  Nilai-nilai Positif Kebudayaan
            Dalam kebudayaan terdapat nilai-nilai yang dianggap berguna, baik, benar, indah untuk mengatur dan memberi orientasi kepada setiap individu dalam interaksinya dengan sesama demi tercapainya tujuan tertentu. Misalnya interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Institusi-institusi itu jelas memiliki nilai-nilai yang secara konkret terungkap dalam norma moral, norma hukum dan etika. Dengan ini nilai-nilai positif dari kebudayaan mesti selalu diarahkan kepada kesempurnaan pribadi manusia dan kesejahteraan masyarakat manusia. Karena itu dalam menjaga nilai-nilai posistif  dari kebudayaan ini perlu pembinaan jiwa sedemikian rupa sehingga dapat tumbuh dan berkembang kemampuan untuk merasa kagum terhadap kebudayaan, merenungkannya, sehingga dapat membentuk pendirian pribadi untuk menghargai nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan.
            Lingkungan asli Injil adalah kebudayaan Yahudi yang mempunyai ciri khasnya sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya untuk mewartakan Injil, Gereja berjumpa dengan kebudayaan bangsa-bangsa. Maka pewartaan itu sangat erat kaitannya dengan kebudayaaan[107]. Gereja menghormati semua agama dan budaya bangsa-bangsa, dan dalam perjumpaan dengan mereka, Gereja ingin mempertahankan semua yang luhur, benar dan baik dalam setiap kebudayaan.[108] Gereja memajukan dan menampung sagala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya oleh Injil.[109]
4.4 Relasi Iman Dan Kebudayaan Dalam Terang Gaudium et Spes Artikel 57
4.4.1 Umat Beriman Kristen Dan Kebudayaan
            Sebagai persekutuan individu yang dipersatukan dalam iman akan Kristus, umat beriman Kristen sedang berziarah di dunia menuju Kota Surgawi yakni kehidupan kekal. Dalam ziarah menuju Kota Surgawi itu umat beriman Kristen ada dan hidup bersama dengan semua orang lain di dunia yang memiliki kebudayaan-kebudayaan tertentu dengan berbagai perkembangannya.
            Perkembangan kebudayaan manusia zaman sekarang dalam bentuk teknologi turut memberikan andil yang besar demi kesejahteraan umat manusia. Di satu sisi dengan daya yang dimiliki manusia pada zaman modern, keselamatan dalam arti perubahan struktur yang mengatasi segala kemiskinan dan kejahatan manusia dapat dicapai. Namun di sisi yang lain perkembangan itu memiliki efek negatif yang mengancam hidup manusia dan menjadikan manusia sadar akan kerusakan yang ditimbulkan teknologi sebagai hasil perkembangan kebudayaan manusia.
Dengan demikian Gereja dalam seluruh ziarah menuju Kota Surgawi, dalam usaha menuju keselamatan perlu memperhatikan hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama. Gereja dalam terang Injil senantiasa menyumbangkan kekuatan yang menyelamatkan bagi umat manusia.[110] Terang itu diterima Gereja dalam bimbingan Roh Kudus. Dalam terang Injil itu Konsili melihat dan menghargai manusia melalui kebudayaan untuk membangun dunia secara lebih manusiawi. Dengan itu merupakan tugas penting umat beriman kristiani bersama dengan semua orang  untuk mentransformasi kenyataan duniawi menjadi lebih manusiawi, atau dengan kata lain keselamatan eskatologis umat beriman kristiani juga terikat pada keterlibatannya dalam usahanya itu. Karena itu Gereja terpanggil untuk memberikan sumbangan yang khas melalui sikap hidup kristiani dengan membawa pembangunan itu ke suatu arah yang sungguh sesuai dengan kesejahteraan manusia seutuhnya. Gereja mesti bertumbuh dalam kepercayaan akan Allah pemberi hidup agar bisa bertumbuh dalam keprihatinan dengan sesama. Usaha itu mesti selalu berada dalam kesadaran akan dimensi eskatologis keselamatan yang sempurna bagi manusia, bahwa manusia tidak bisa dengan daya kekuatannya sendiri melainkan selalu berusaha dan dengan sadar, bahwa pada intinya manusia harus menantikan keselamatan sebagai hadiah dari Allah.

4.4.2 Iman Kristen dan Kebudayaan Dalam Keseluruhan Panggilan Manusia
            Dalam dunia yang semakin berkembang pada zaman ini, dunia global diwarnai oleh kemajuan teknologi, komunikasi dan transportasi yang semakin maju sebagai buah peradaban manusia masa kini. Perkembangan ini juga adalah usaha manusia untuk membangun dunia secara lebih manusiawi. Usaha membangun dunia secara lebih manusiawi ini juga merupakan tugas umat beriman Kristiani untuk bekerjasama dengan semua orang lain untuk mencapai kebaikan bersama.
            Iman Kristen dan kebudayaan mempunyai hubungan sebagaimana dibicarakan dalam inkulturasi yakni inkarnasi kabar gembira Yesus Kristus tentang kedatangan Kerajaan Allah ke dalam suatu kebudayaan manusia. Peristiwa inkarnasi menjadi model bagi inkuturasi. Inkulturasi Kristen dilaksanakan dalam analogi dengan inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia. Allah yang universal, yang berada di atas dan dalam semua kebudayaan memperlihatkan diri lewat medium suatu kebudayaan yang konkret dan defenitif. Yesus lahir pada sauatu waktu tertentu, di suatu tempat tertentu, dan berintegrasi dalam suatu budaya tertentu yaitu kebudayaan Yahudi Palestina, 2000 tahun yang lampau. Warta universal keselamatan Allah yang dimaklumkan dalam diri Yesus Kristus, dialamatkan kepada manusia dari suatu kebudayaan tertentu, yang hanya dapat menanggapi warta itu dalam kebudayaan mereka sendiri.
Karena itu inkulturasi dapat dimengerti sebagai relasi dinamis antara kabar gembira kristiani dengan suatu kebudayaan atau kebudayaan-kebudayaan; suatu integrasi kehidupan kristen ke dalam suatu budaya; suatu proses yang berkelanjutan dari interaksi dan asimilasi yang kritis serta timbal balik.[111] Di satu pihak pewartaan Sabda Tuhan harus menghormati semua kebudayaan, namun di lain pihak ia juga harus mengubah kebudayaan-kebudayaan itu, karena kebudayaan merupakan hasil karya manusia. Karena itu kebudayaan bersifat relatif, tidak sempurna dan butuh penebusan.  Itu artinya, kalau dinilai seturut tuntutan Kerajaan Allah, inkulturasi pertama-tama berarti warta kristiani disampaikan dan dihayati dalam satu kebudayaan lokal, dan kedua bahwa kebudayaan lokal menjadi kristen atau dikristenkan.
4.4.3 Melalui Kebudayaan Manusia Mengabdikan Diri kepada Sesama
            Gaudium et Spes menangkap   suatu zaman baru di dalam sejarah manusia dengan perubahan-perubahan yang luar biasa di mana manusia dapat mengatur dunia. Secara khusus, urbanisasi dan industrialisasi mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi hidup manusia yakni manusia dapat secara sungguh-sungguh mencapai masyarakat dunia yang manusiawi di mana setiap individu memainkan peranan atau tanggung jawabnya secara bijaksana.[112] Ketika budaya manusia kontemporer muncul, hal yang esensial yang perlu diperhatikan semua umat beriman Kristen adalah wajib memelihara relasi dengan seluruh aspek sehingga dapat mendorong pembangunan kebudayaan manusia secara keseluruhan sebagai usaha manusia untuk memenuhi panggilannya sebagai manusia yaitu melaksanakan rencana Allah menaklukkan dunia. Sumbangan iman Kristen terjadi pada penentuan arti dan maksud dari apa yang dikehendaki manusia dalam kemanusiaannya yakni kesaksian praktis akan pengalaman makna dalam hidup sebagaimana dihidupi.[113]
            Dalam Ensiklik Redemptoris Missio, Paus Yohanes Paulus II menyatakan “Kesenjangan iman dan kebudayaan merupakan tragedi jaman ini”[114]. Iman harus terlibat dalam perjuangan demi perdamaian, khususnya kelompok minoritas; terlibat dalam menanamkan solidaritas di antara umat manusia. Maka dengan itu, umat beriman dalam hidup masa kini harus semakin mampu menemukan arti hidup yang sesungguhnya. Hubungan manusia dengan Allah yang ditopang oleh iman yang merupakan tanggapan atas wahyu Allah akan semakin memperkuat orang beriman di tengah-tengah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini. Iman yang dimengerti secara benar dan mendalam akan membantu umat manusia menemukan arti dan kebahagiaan hidupnya.
4.4.4 Iman dan Ilmu Pengetahuan
            Budaya adalah hasil cipta, karsa dan rasa dari akal budi manusia. Dengan akal budinya manusia menciptakan kebudayaan yang di dalamnya termasuk ilmu pengetahuan. Manusia dalam usaha untuk mencari, menemukan dan memahami semua hal yang ada dalam pengalaman jasmaninya. Maka relasi antara akal budi manusia dan iman dalam pandangan Gereja dapat dilihat dalam ajaran Paus Yohanes Paulus II yang menegaskan kesejajaran hubungan keduanya dalam kekristenan. Ia mengumpamakan iman dan akal budi sebagai dua sayap yang memungkinkan manusia menyelami kebenaran Allah dengan terlebih dahulu mengenal dirinya sendiri dalam dunia ini. Dalam hal ini Paus mengingatkan keadaan manusia sendiri yang tidak mudah untuk diselami dengan hanya mengandalkan akal saja sebab bagi manusia, dirinya sendiri juga merupakan misteri. Maka pertanyaan mendasar tentang manusia seperti, siapakah aku, dari mana aku berasal, dan sedang menuju ke mana penting untuk terus diangkat dan ditelusuri.[115] Untuk usaha ini akal budi bisa diandalkan sebagai penuntun dalam upaya memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan eksistensial di atas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijadikan pegangan yang memberikan dasar pemahaman bagi manusia akan dirinya sendiri serta ketergantungan hidupnya pada sesuatu yang lebih tinggi. Di sini peran akal budi adalah memberikan pemahaman yang cukup, yang bisa diterima selaras dengan keyakinan iman akan Allah.
Usaha akal budi manusia itu misalnya melalui ilmu pengetahuan. Di sini misalnya melalui manfaat dari ilmu filsafat. Ilmu filsafat mempunyai manfaat yang memungkinkan kita untuk memahami iman secara lebih mendalam. Filsafat yang masuk akal memungkinkan kita untuk bisa menemukan jawaban yang tepat mengenai masalah atau persoalan keberadaan manusia.  Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya  Fides et Ratio menekankan, “Gereja menyaksikan pada filsafat jalan untuk mulai mengenali kebenaran-kebanaran yang mendasar tentang hidup manusia. Sekaligus Gereja memandang filsafat sebagai bantuan yang sungguh diperlukan untuk mengerti iman secara makin mendalam, dan untuk menyalurkan kebenaran Injil kepada mereka yang belum mengenalnya”[116].
Dalam Katekismus Gereja Katolik relasi iman dan ilmu pengatahuan dijelaskan sebagai berikut: “meskipun iman itu melebihi akal budi, namun tidak pernah bisa ada satu pertentangan yang sesungguhnya antara iman dan akal budi karena Allah yang sama, yang mewahyukan rahasia-rahasia dan mencurahkan iman, telah menempatkan di dalam roh manusia cahaya akal budi; tetapi Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan tidak pernah yang benar bisa bertentangan dengan yang benar”. Maka dari itu, penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila dijalankan dengan sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak pernah sungguh bertentangan dengan iman karena hal-hal profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama. Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati tanpa disadari pun ia bagikan dituntun oleh tangan Allah yang melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya.[117] 
4.4.5 Ibadat Kepada Sang Pencipta dan Kontemplasi.
Ketika hidup manusia telah diterangi oleh kebijaksanaan yang berasal dari Allah ini maka jiwa manusia semakin dibebaskan dari perbudakan harta benda dan bisa lebih leluasa mengangkat diri untuk beribadat kepada Allah, Sang Pencipta. Orang-orang Kristen adalah umat yang dikuduskan bagi pelayanan ibadat dalam Roh Kudus (Ef 2:21-22). Santo Agustinus menjelaskan bahwa Gereja mempersembahkan ibadat kepada Allah sesungguhnya menurut kenyataan dirinya sebagai Tubuh Tuhan manurut konsep Gereja sebagai Tubuh Kristus yang telah bangkit. Kita semua sesungguhnya anggota dari satu tubuh yang kepalanya adalah Kristus.[118]
            Gereja selalu berkaitan dengan nilai unversalitasnya. Namun demikian Gereja yang universal ini dihayati di dalam waktu dan tempat tertentu serta menurut kelompok-kelompok umat yang tersebar di seluruh dunia. Bahwa sesungguhnya Gereja merupakan himpunan umat yang bekumpul menjadi satu dalam satu kegiatan bersama Gereja setempat ( 1 Kor 11:8 dan 1 Kor 14). Gereja sebagai kesatuan ‘Tubuh Mistik Kristus’ (Mat 16:18) nyata secara istimewa pada himpunan peribadatan dalam Gereja setempat. Komunitas Gereja lokal sungguh merupakan kenisah Allah yang sejati karena Kristus hadir secara nyata dan aktif berkarya menyelamatkan.
4.4.6  Sabda Allah Hadir Sebagai Terang Sejati     
            Sabda Allah yang sebelum menjadi daging untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam diri-Nya sebagai kepala, sudah berada di dunia, sebagai ‘Terang Sejati’  yang menyinari setiap orang.[119]  Dalam tradisi, satu frasa penting dari St.Yustinus Martir ialah bahwa di seluruh dunia, kita dapat menemukan “benih-benih Firman”- atau Logos Spermatikos yang menunjukkan kehadiran Allah dalam sejarah umat manusia bahkan sebelum peristiwa inkarnasi.[120]
            Hubungan Logos Spermatikos dengan kebudayaan oleh Yustinus dijelaskan sebagai berikut: Kristus adalah Logos yang  hadir dalam seluruh kosmos. Karena Logos itu diidenfikasikan dengan Kristus maka menurutnya di setiap tempat dan zaman dalam sejarah umat manusia, bila manusia hidup menurut yang “ideal” yaitu menurut Logos, maka secara implisit adalah kaum kristiani. Yustinus yakin bahwa di dalam setiap manusia Logos telah dicurahkan sebagai pikiran. Tetapi Logos tersebut telah dinyatakan sebagai yang hadir secara utuh dalam Yesus Kristus.[121] Sejauh Kristus adalah Logos ilahi, maka ia merupakan prinsip rasionalitas yang dicurahkan ke atas seluruh alam semesta dan manusia. Kristus pula yang telah mengilhami para pemikir di setiap zaman dan tempat dalam mengemukakan pengetahuan dan kebenaran. Oleh karena itu, menurutnya setiap pemikiran manusia dan kebudayaan-kebudayaan walaupun memiliki nilai yang tinggi, perlu dievaluasi berdasarkan ajaran Kristus. Walaupun ajaran kebudayaan dan agama lain memiliki kesamaan dengan ajaran Kristus, tetapi tidak sepenuhnya sama. Ajaran Kristus merupakan norma untuk menilai segala sesuatu yang lain.
4.5.7  Nilai Kebudayaan dan Injil
            Kebudayaan zaman sekarang mempunyai nilai-nilai yang positif. Nilai-nilai positif itu menurut konsili adalah:
“usaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesetiaan yang cermat terhadap kebenaran dalam peneliatian-peneliatian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekan-rekan kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas internasional, kesadaran semakin hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan akibat kemiskinan budaya. Semua itu dapat menimbulkan suatu disposisi untuk menerima amanat Injil, dan kesiapan itu dapat dijiwai dengan cinta kasih Ilahi oleh Dia yang telah datang untuk menyelamatkan dunia”[122].
            Lingkungan asli Injil adalah kebudayaan Yahudi kemudian dalam pewartaan Injil, Gereja berjumpa dengan kebudayaan bangsa-bangsa. Maka pewartaan itu sangat erat kaitannya dengan dengan kebudayaaan[123]. Gereja menghormati semua agama dan budaya bangsa-bangsa, dan dalam perjumpaan dengan mereka, Gereja ingin mempertahankan semua yang luhur, benar dan baik dalam setiap kebudayaan.[124] Gereja memajukan dan menampung sagala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya oleh Injil.[125] Maka relasi antara iman dan kebudayaan yang dapat kita temukan dari sini ialah, Gereja dalam pewartaan Injil menghormati hal-hal yang serba baik dalam setiap kebudayaan dan dalam pendekatannya dengan setiap kebudayaan untuk memperkenalkan Injil Yesus Kristus dengan cara yang paling sesuai dengan konteks kebudayaan yang bersangkutan sehingga Gereja dapat berakar lebih mendalam dalam setiap kebudayaan.

BAB V
                                                                PENUTUP       
5.1 Kesimpulan
            Iman dan kebudayaan adalah dua substansi yang berbeda. Iman dan kebudayaan berjalan bersama karena yang menjadi pelaku dalam dua hal itu adalah manusia sendiri sebagai mahluk beriman dan berbudaya. Budaya adalah hasil cipta, karsa dan rasa dari budi manusia, yang terbentuk karena manusia dalam hidup bersama berhadapan dengan keadaan diferensiasi dan stratifikasi sosial. Cipta berkaitan dengan hasrat dalam diri manusia yang berusaha untuk mencari, menemukan dan memahami semua hal yang ada dalam pengalaman jasmani dan rohaninya. Hasil dari karsa adalah ilmu pengetahuan.  Karsa berkaitan dengan kerinduan manusia akan arti keberadaannya di dunia. Produk atau hasil dari karsa manusia adalah norma-norma yang berlaku sebagai pengatur hidup manusia, misalnya dalam norma agama. Rasa berkaitan dengan kerinduan manusia akan keindahan yang menjadi sumber yang menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan itu.  Dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai yang dianggap baik untuk mengatur kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai itu menjadi ukuran atau forma yang berfungsi untuk mengatur manusia yang berada dalam satu lingkup kebudayaan itu dalam relasinya dengan diri sendiri, relasi dengan alam, relasi dengan sesama manusia lain dan juga relasi dengan Allah. Nilai ini merupakan satu hal yang menyangkut dasar dari sebuah kebudayaan. Namun demikian dalam setiap kebudayaan terdapat nilai yang berbeda-beda pada masing-masing kebudayaan yang bersangkutan.
            Dengan kebudayaan manusia berusaha mengelola alam sedemikian rupa sehingga melalui usaha itu dapat menghasilkan buah dan menjadikan alam sebagai kediaman yang layak bagi semua keluarga manusia, dan bila ia dengan sadar menjalankan tugas dan kewajibannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, manusia melaksanakan rencana Allah yang dimaklumkan pada awal mula, yakni menaklukkan dunia serta menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus manusia mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama.
            Konsili Vatikan II, memandang iman secara lebih menyeluruh dan dalam konteks yang baru. Konteks ini adalah bahwa pengertian yang lebih mendalam tentang Wahyu yang tidak hanya dilihat sebagai penyampaian kebenaran-kebenaran tentang dan dari Allah, melainkan terutama sebagai komunikasi diri Allah sendiri yang mencapai puncak dan bentuknya yang sempurna dalam diri Yesus Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia dan tinggal diantara kita. Wahyu berarti suatu pendekatan pribadi dari Allah demi keselamatan manusia. Allah sebagai pribadi mendekati pribadi manusia untuk suatu interaksi pribadi, suatu persahabatan yang membahagiakan dan membebaskan manusia dari kemalangan dan ketakutan.  Iman tidak hanya dilihat sebagai suatu sikap yang menyangkut akal budi manusia, yang harus menerima kebenaran yang tidak dapat dipahami, melainkan iman dilihat sebagai sikap pribadi manusia yang tinggal dekat pada Tuhan yang ingin menyertainya. Sesuai dengan pengertian tentang wahyu, iman ditentukan sebagai sikap eksistensial, dalamnya manusia menerima tawaran persahabatan Allah dan menjawabnya dengan suatu cara hidup baru, sebagai anak Allah bukan lagi sebagai budak dosa.
            Konsili Vatikan II juga melihat tindakan beriman sebagai penyerahan diri secara bebas seutuhnya kepada Allah, Sang Pewahyu yang telah menganugerahkan diri-Nya kepada manusia. Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab dan menanggapi wahyu Allah. Jawaban itu meliputi seluruh pribadi manusia, tidak hanya salah satu kemampuannya, misalnya akal budi dan kehendaknya. Iman tidak hanya merupakan persetujuan terhadap suatu kebenaran, tetapi juga terlebih dahulu penyerahan diri kepada pribadi Allah. Istilah ketaatan iman (Rm. 16:26) diartikan oleh Konsili Vatikan II secara personal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia yang menanggapi secara positif pernyataan diri Allah. Dalam jawaban itu, manusia menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tahu dan mau, dengan segenap jiwa dan raganya, dengan seluruh hati dan segala kekuatannya.
            Iman dan kebudayaan manusia mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam usaha untuk mewartakan iman, Gereja mesti menginterpretasikan sistem simbol dalam kebudayaan khususnya yang ada dalam agama. Kebudayaan menjiwai hidup, bahasa, religius dan tingkah laku manusia. Iman juga menjiwai hidup, bahasa, spiritualitas, moral dan pemahaman atas kebudayaan. Oleh karena itu iman dapat dihidupi dan menjiwai seluruh hidup manusia dalam dialognya dengan kebudayaan. Gereja menghormati semua agama dan budaya bangsa-bangsa, dan dalam perjumpaan dengan mereka, Gereja ingin mempertahankan semua yang luhur, benar dan baik dalam setiap kebudayaan. Gereja memajukan dan menampung sagala kemampuan, kekayaan dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya oleh Injil. Maka relasi antara iman dan kebudayaan yang dapat kita temukan dari sini ialah, Gereja dalam pewartaan Injil menghormati hal-hal yang serba baik dalam setiap kebudayaan dan dalam pendekatannya dengan setiap kebudayaan untuk memperkenalkan Injil Yesus Kristus dengan cara yang paling sesuai dengan konteks kebudayaan yang bersangkutan sehingga Gereja dapat berakar lebih mendalam dalam setiap kebudayaan.
 Gereja dalam pewartaan iman akan Kritus itu telah memanfaatkan sumber-sumber dari aneka kebudayaan, untuk menyebarluaskan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, menggali dan menyelami kebudayaan yang berkaitan dan mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan di dalam hidup keseharian Gereja yang berenekaragam. Gereja menyadari bahwa iman kristen tidak identik dengan budaya. Inti iman berbeda dengan kemasan kultural, sebab pesan iman bersifat universal sedangkan ekspresinya tidak terlepas dari kebudayaaan-kebudayaan. Gereja  mewartakan Allah yang universal yang berada di atas dan dalam semua kebudayaan. Warta universal keselamatan Allah dimaklumkan dalam diri Yesus Kristus yang lahir dari satu kebudayaan tertentu yaitu kebudayaan Yahudi. Maka dalam pewartaan iman akan Kristus, Gereja berjumpa dengan berbagai bangsa dan kebudayaan yang berbeda yang hanya dapat menanggapi warta itu dalam kebudayaan mereka. Dengan itu Injil yang diwartakan oleh Gereja tidak hanya menyatakan diri dalam unsur-unsur kebudayaan yang bersangkutan tetapi sekaligus menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, memurnikan serta membaharui kebudayaan tersebut, namun Gereja tidak mengidentikan dirinya dengan kebudayaan tertentu. Oleh karena itu iman akan Allah tidak menghilangkan kebudayaan-kebudayaan yang ada tetapi pada saat yang sama menjadikan kebudayaan lebih baik. Karena itu semua kebudayaan perlu dilahirkan kembali dalam perjumpaan dengan Injil.
5.2 Saran
            Umat beriman kristiani adalah Gereja yang sedang berziarah di dunia ini. Dengan itu Gereja merupakan bagian dari dunia. Meskipun Gereja memiliki tujuan eskatologis, tetapi selama masih berziarah di tengah-tengah dunia Gereja berada di antara bangsa-bangsa yang memiliki beragam kebudayaan yang berbeda sekaligus unik. Gereja dalam pewartaan iman akan Kristus tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan yang ada. Kebudayaan menjiwai hidup, bahasa, religius dan tingkah laku manusia. Dengan itu Gereja dalam pewartaan Injil selalu dalam dialognya dengan kebudayaan-kebudayaan yang bersangkutan agar Injil yang diwartakan dapat berakar lebih mendalam dalam kebudayaan itu.
            Melalui kebudayaan manusia berusaha membangun dunia serta menjadikankannya tempat yang lebih manusiawi untuk didiami. Oleh karena itu umat beriman oleh iman akan Kristus selalu terikat pada tugas dan kewajibannya di dunia sesuai dengan panggilannya masing-masing. Hendaklah melalui kebudayaan umat kristiani mengikuti teladan Kristus untuk memadukan semua usaha manusiawi dengan nilai-nilai Injil yang menjadi norma tertinggi untuk mengarahkan segala sesuatu kepada kemuliaan Allah.

           
DAFTAR PUSTAKA
KITAB SUCI
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, (Jakarta, 1996)
DOKUMEN  GEREJA
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini, dalam: R .Hardawyryana, (penterj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor 2004          
______, Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristiani,  Nostra Aetate, dalam: R. Hardawiryana, (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II,  Jakarta: Obor, 2004
______, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja,Lumen Gentium, dalam:R.             Hardawiryana, (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 2004

Paulus VI, Paus, Evengelii Nuntiandi, dalam J. Hadiwikarta Pr (pernerj), Seri Dokumen       Gerejawi    no. 20, Jakarta: Dokpen KWI, 1990

Yohanes Paulus II, Paus, (Promulgator), Katekismus Gereja Katolik, dalam: Embuiru Herman (penerj), Ende: Arnoldus, 1995

______, Redemtoris Missio, dalam Frans Borgias dan Alfons S. Suhardi,        OFM, (penerj), Seri Dokumen Gerejawi no. 14, (Jakarta: DOKPEN KWI, 1990

______, Fides et Ratio, (Iman dan Akal Budi), terj. R. Hardawiryana, Jakarta:  Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999


ENSIKLOPEDI  DAN  KAMUS

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002

Go, Piet (penerj), Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan, Seri Dokumen Gerejawi     no. 85, Jakarta: DOKPEN KWI, 2007

J. D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003
K. Prent,cs, Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969
O’Collins ,Gerald,  Kamus  Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Pienini, Katekismus Konsili Vatikan II, dalam, A. Heuken SJ (Penerj.), Jakarta:       Yayasan Cipta  Loka Caraka,1996
Susanto, Harry, (penerj), Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2009
           
BUKU-BUKU
Armstrong, Karen, Masa Depan Tuhan, Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan     Ateisme, Bandung: PT Mizan Pustaka Utama, 2011
                   
Alexander , Uhi Jannes, Filsafat Kebudayaan, Konstruksi Pemikiran Cornelis Van Peursen dan Catatan reflektifnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016

Achmad, Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengentar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Prenada Media Group , 2006

Atosokhi Gea, Antonius, dkk, Relasi Dengan Tuhan, Jakarta: PT Alex Media Komputindo, 2004

Banawiratma, J.B , Hidup Menggereja Kontekstual ,Yogyakarta: Kanisius,2000

Bakker ,J.W.M., Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar,Yogyakarta: Kanisius, 1984

Bevans , B. Stephen, Teologi Dalam Perspektif Global, Maumere: Ledalero, 2010

Bevans, B. Stephen, Schroder P.Roger, , Terus Berubah-Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, Maumere: Ledalero, 2006

Budiman, Hikmat, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002

Cassirer, Ernst, Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Essei   Tentang Manusia, Jakarta: PT Gramedia, 1990

Da Cunha, Bosco, Teologi Liturgi Dalam Hidup Gereja, Malang: Dioma, 2004

Haring, Bernard, Cinta Dalam Perkawinan, dalam: Agustinus Nanang (penerj.), Ende: Nusa Indah,   1981

Henry, Sarojini, Science Meets Faith, An Interdisciplinary Conversation, Mumbai: St       Pauls, 2009
Jacobs, Tom, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Yogyakarta:      Kanisius, 2002

Kristianto, Eddy,(Editor), Dinamika Hidup Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 2002

Kuncheria dan Dominic Veliath, An Itroduction To Theology, Banglore: Thelogical    Publications, 2007

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia 1975          
Kirchberger ,Georg, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik kristiani, Maumere: Ledalero, 2007

Leavy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius, 1993

Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Lim, Francis, Filsafat Teknologi, Tentang Dunia, Manusia dan Alat, Yogyakarta:            Kanisius, 2008

Mansford Prior, John, Kirchberger, Georg, Iman dan Transformasi Budaya, Ende: Nusa Indah, 1996

Punda Panda, Herman,  Agama-Agama dan Dialog Antar Agama Dalam Pandangan     Kristen,Maumere: Ledalero,2013

Ryanto, Armada, dan Mistrianto, (editor), Gereja, Kegembiraan dan Harapan, Merayakan 45 Tahun Gaudium et Spes, Yogyakarta: Kanisius, 2011

Raga Maran, Rafael, Manusia dan Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 2007

Rede Blolong, Raymundus, Dasar-Dasar Antropologi, Ende: Nusa Indah, 2012

Setiadi, M. Elly, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya  Dasar, Jakarta: Prenada Media Group, 2009

Syukur Dister, Nico , Pengantar Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991

_____, Teologi Sistematika 1,Yogyakarta: Kanisius 2004

Tri Prasetya, Joko, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 2013

Valley, Paul, Cita Masyarakat Abad 21, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Wegig, R. Wahana, Pewartaan Iman Kontekstual ,Yogyakarta: Kanisius, 2001


KARYA YANG TIDAK  DITERBITKAN
Ahmad, Nugroho dan Cahyono, Wedio, Ilmu Budaya Dasar, (bahan ajar) pada         Universitas Gunadarma, Jakarta 1994

Jegalus, Nobertus, Filsafat Kebudayaan, (bahan ajar) Pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang, 2007

Watu, Yohanes, Vianey, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (bahan ajar) PADA Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, 2014











                [1] Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes, dalam: R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 2004) art.53 Selanjutnya akan disingkat GS diikuti nomor artikelnya.
                [2] Armada Ryanto, CM. dan Mistrianto, (editor), Gereja, Kegembiraan dan Harapan, Merayakan 45 Tahun Gaudium et Spes, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 148-149
[3] Sarojini Henry, Science Meets Faith, An Interdisciplinary Conversation, (Mumbai: St Pauls, 2009),  hlm.183
[4] R. Wahana Wegig, SJ. Pewartaan Iman Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 114
                [5] Ibid., hlm.115
[6] GS art.22
                [7]Konsili Vatikan II, Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristiani,  Nostra Aetate, dalam: R. Hardawiryana, SJ (penerj.), (Jakarta: Obor, 2004) art.2 Selanjutnya akan disingkat NA diikuti nomor artikelnya.
                [8] NA.,art.2
                [9] J.B Banawiratma SJ. (editor), Hidup Menggereja Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius,2000),. hlm.39
                [10] Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, (Bandung: PT Mizan Pustaka Utama, 2011),  hlm. 171
                [11] Ibid., hlm. 171-172
                [12] Eddy Kristianto,OFM (Editor), Dinamika Hidup Beriman, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 47
                [13] Stephen B. Bevans, Teologi Dalam Perspektif Global, (Maumere: Ledalero, 2010) , hlm. 42
                [14] Ibid.
                [15] Ibid., hlm. 42-43
                [16] Dr. Nico Syukur Dister, OFM , Teologi Sistematika 1,( Yogyakarta: Kanisius 2004), hlm. 69
                [17] Dr. Niko Syukur, OFM., Pengantar Teologi, Op. Cit., hlm.129
                [18] Ibid.
                [19] Dr. Nico Syukur Dister, OFM , Teologi Sistematika 1, Op. Cit., hlm. 69
                [20] Ibid.
                [21] J. D Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003),  hlm. 430

                [22] Ibid.
                [23] Dr. Niko Syukur, OFM., Pengantar Teologi, Op. Cit., hlm.133
[24] Dr. Nico Syukur Dister, OFM Teologi Sistematika 1, Op. Cit., hlm.71
                [25] Ibid.                                                                    
[26] Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, dalam: R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 2004) art. 4 selanjutnya akan disingkat DV diikuti nomor artikelnya
                [27] Gerald O’Collins, S.J., Kamus  Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 113.
                [28] Dr. Nico Syukur Dister, OFM , Teologi Sistematika 1, Op. Cit., hlm.73

[29] Stephen B. Bevans, Op. Cit., hlm. 297
                [30] Ibid., hlm. 298
[31] Georg Kirchberger, Allah Menggugat, Sebuah Dogmatik Kritiani, (Maumere: Ledalero, 2007). hlm. 47
                [32]Rev. Fr. Kuncheria Pathil, CMI dan Rev. Fr. Dominic Veliath, SBD., An Introduction To Theology, (Banglore: Thelogicall Publications, 2007), hlm.133
                [33] Fideisme berasal dari kata dalam bahasa Latin “fidei” yang artinya “iman” kaum fideis berpendapat bahwa akal budi sama sekali tidak berguna dalam memahami kebenaran Kriatiani. Menurut mereka, ratio tidak dapat membantu untuk memperlihatkan kewajaran iman. Dengan kata lain, tidaklah mungkin mempertanggungjawabkan iman kepercayaan. Menurut mereka iman harus sepenuhnya buta.
                [34] Rasionalisme dimaksudkan pendapat bahwa tak suatu pun dapat diterima sebagai benar, kecuali kalau akal-budi “ratio” dapat menagkapnya sebagai benar. Kebenaran iman yang mengatasi daya        tangkap akal budi ditolak.
                [35] Dr. Niko Syukur, OFM., Pengantar Teologi. Op. Cit. hlm.137
[36] Ibid.
                [37] Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1,  Op.Cit., hlm.79
                [38] Georg Kirchberger, Op. cit., hlm. 60-61
                [39] Dr. Nico Syukur Dister Teologi Sistematika 1, Op. Cit., hlm.85
                [40] Harry Susanto, SJ (penerj), Kompendium Katekismus Gereja Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 22
                [41] Dr. Jannes Alexander Uhi, M.Si, Filsafat Kebudayaan, Konstruksi Pemikiran Cornelis Van Peursen dan Catatan reflektifnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 3
                [42] Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm.194
                [43] Jan W. M. Bakker, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius, 1984),
hlm.32-33
                [44] Achmad Fedyani Sasifuddin, Ph.d, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Prenada Media Group , 2006), hlm.82
                [45] Prof. Dr. Alo Liliweri, M .S, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,               2003), hlm.107
                [46] Widio Nugroho dan Ahmad  Muchji, Ilmu Budaya Dasar, (Bahan Ajar Pada Universitas Gunadarma, Jakarta 1994), hlm. 20-21
                [47] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1975), hlm. 9
                [48] Raymundus Rede Blolong, SVD,Dasar-Dasar Antropologi, (Ende: Nusa Indah, 2012), hlm.60-61
                [49] Widio Nugroho dan Ahmad  Muchji, Ilmu Budaya Dasar. Op.,Cit, hlm. 21
                [50] Ibid.
                [51] Ernst Cassirer, (diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho), Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, (Jakarta: PT Gramedia, 1990), hlm. 40
                [52] Dr. Phil. Nobertus Jegalus, MA, Filsafat Kebudayaan, (Bahan Ajar Pada Fakultas Filsafat Unwira Kupang, 2007),  hlm.12
                [53] GS Art. 53
[54] Herman P. Panda, Agama-Agama dan Dialog Antar Agama Dalam Pandangan Kristen, (Maumere: Ledalero,2013),  hlm.71
[55] Ibid., hlm.75
[56] Ibid., hlm.75-76
                [57] Ibid., hlm. 97
                [58] Ibid., hlm. 99-100
                [59]Dr. Georg Kirchberger, SVD dan Dr. John Mansford Prior SVD, Iman dan Transformasi Budaya, (Ende: Nusa Indah, 1996), hlm.153-154
                [60] Ibid.
[61] Paus Paulus VI, Evengelii Nuntiandi, dalam J. Hadiwikarta Pr (pernerj), Seri Dokumen Gerejawi    no. 20, (Jakarta: Dokpen KWI, 1990, no. 15. Selanjutnya akan ditulis EN dan diikuti artkelnya
                [62] Dr. Georg Kirchberger, SVD dan Dr. John Mansford Prior SVD, Op. Cit., hlm.154
                [63] Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio, dalam Frans Borgias dan Alfons S. Suhardi, OFM (penerj), Seri Dokumen Gerejawi no. 14, (Jakarta: DOKPEN KWI, 1990), no. 9. Selanjutnya akan ditulis RM dan diikuti artikelnya
                [64] Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroder, Terus Berubah-Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, (Maumere: Ledalero, 2006), hlm. 76-77
                [65]Stephen B. Bevans., Op. Cit., hlm. 237
                [66] RM Art.53
                [67] Ibid., hlm. 241-242
[68] Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroder., Op. Cit, hlm. 99
[68] Ibid., hlm. 77

                [70] Stephen B. Bevans., Op. Cit., hlm. 247
                [71] EN. Art. 64
                [72] Ibid., hlm. 250
                [73] Ibid., hlm. 252-255
[74] Ibid., hlm.257
                [75] Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta,2007), hlm. 52
                [76] Ibid.,hlm. 53
                [77] Ibid.
                [78] Dr. Elly M. Setiadi, M. Si, Drs. H. Kama Abdul Hakam, M. Ed, Drs. Ridwan Effendi, M. Ed. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,(Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 29
                [79] Dr. Watu Yohanes Vianey, M. Hum, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Bahan Ajar Pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, 2014),  hlm. 3
                [80] Koentjaraningrat., Op. Cit., hlm. 5
                [81] Drs. Joko Tri Prasetya,dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 33
                [82] Dr. Watu Yohanes Vianey, M. Hum, Op, Cit., hlm. 5
                [83] Drs. Joko Tri Prasetya,dkk,  Op, Cit., hlm. 33
[84] . Watu Yohanes Vianey, M. Hum, Op. Cit., hlm. 3
                [85] Istilah aggiornamento digagaskan oleh Paus Yohanes XXIII yang memprolamirkan Konsili Vatikan             II. Kata ini diangkat dari kata dalam bahasa Italia “Giorno” yang berarti “hari”, darinya diturunkan kata aggiornamento yang berarti peremajaan Gereja sehingga mampu menghadapi tuntutan zaman secara modern dan sesuai dengan kebudayaan “hari ini”.
                [86] Pienini SSP, Katekismus Konsili Vatikan II, dalam, A. Heuken SJ (Penerj.), (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,1996),  hlm. 8
                [87] GS. Art. 1
                [88] GS. Art. 49
                [89] Bernard Haring, Cinta Dalam Perkawinan, dalam: Agustinus Nanang (penerj.), (Ende: Nusa Indah, 1981),  hlm. 8
                [90] Armada Ryanto, CM. Dan Mistrianto, Op. Cit.,  hlm. 21-22
                [91] Ibid., hlm. 22
                [92] Ibid.
                [93] Ibid.
                [94] Ibid.
                [95] K. Prent,cs, Kamus Latin-Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 362
                [96] Ibid., hlm. 524
                [97] GS. Art. 1
                [98] GS. Art. 53
[99] Francis Lim, Filsafat Teknologi, Tentang Dunia, Manusia dan Alat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 100
                [100] GS, Art. 44
                [101] R. Wahana Wegig, SJ., Op. Cit., hlm.131
                [102] GS, art. 57
                [103] Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari, Relasi Dengan Tuhan, (Jakarta: PT Alex Media Komputindo, 2004), hlm.73
[104] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 22
                [105] Louis Leavy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 293-294
                [106] GS.,Art.57
                [107] Tom Jacobs SJ, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm.123
                [108] Piet Go, O.Carm (penerj), Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan, Seri Dokumen Gerejawi no. 85, (Jakarta: DOKPEN KWI, 2007), no. 8
[109] Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, Lumen Gentium, dalam: R. Hardawiryana, SJ. (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 2004) art.13 Selanjutnya akan disingkat LG diikuti nomor artikelnya.
`               [110] Georg Kirchberger, Op.,Cit, hlm. 556
[111] Paus Paulus VI, Evengelii Nuntiandi, dalam J. Hadiwikarta Pr (pernerj), Seri Dokumen Gerejawi    no. 20, (Jakarta: Dokpen KWI, 1990, no. 15. Selanjutnya akan ditulis  EN dan diikuti artkelnya
[112] Paul Valley, Cita Masyarakat Abad 21, ( Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 74-75
[113] Eddy Kristianto, OFM (Editor), Op. Cit., hlm.82
[114] RM. Art. 20
                [115] Paus Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, (Iman dan Akal Budi), terj. R. Hardawiryana, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999),  no.1. selanjutnya akan disingkat FR diikuti nomor artikelnya
               
[116] FR. art. 5
[117] Paus Yohanes Paulus II, (promulgator), Katekismus Gereja Katolik, dalam: P. Herman Embuiru, SVD (penterj.),  (Ende: Nusa Indah, 1995),  no. 159.
[118] Bosco Da Cunha, O.Carm, Teologi Liturgi Dalam Hidup Gereja, ( Malang: Dioma, 2004), hlm.109
[119] GS art.57
[120] Stephen B. Bevans,  Op. Cit., hlm. 241
[121] Ibid., hlm.75-76
[122] GS. Art. 57
                [123] Tom Jacobs SJ, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm.123
                [124] Piet Go O.Carm (penerj), Hubungan Antaragama Dan Kepercayaan, Seri Dokumen Gerejawi no. 85, (Jakarta: DOKPEN KWI, 2007), no. 8
[125] Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja,Lumen Gentium, dalam: R. Hardawiryana, SJ (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 2004) art.13 Selanjutnya akan disingkat LG diikuti nomor artikelnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MajasKu

grow old with you