Cerpen: Kain Tenun Rindu


Di bawah naungan pohon yang rimbun, seorang ibu duduk di depan alat tenunnya. Matahari sore memancarkan sinarnya, memberi kehangatan yang samar pada kulitnya yang keriput. 

Namanya Ibu Helena, seorang wanita yang telah menjalani kehidupan panjang dengan keteguhan hati. 

Di depannya, terbentang benang-benang warna-warni yang dia susun dengan cermat menjadi kain tenun. Setiap helai benang yang dia tarik seakan membawa kisah dari masa lalunya sampai kisah cinta, kehilangan, dan ketabahan.

Sudah sebelas tahun berlalu sejak suaminya, Bapak wayo dipanggil oleh Yang Mahakuasa. Hari itu, tanggal 16 Februari 2013, menjadi hari yang mengubah hidup Ibu Helena selamanya. Bapak wayo jatuh sakit dan berhujung ke pangkuan ilahi tak lain ibu Helena bersama anak dan keluaga menerima kenyataan pahit itu. 

Dalam sekejap, sosok yang selama ini menjadi sandarannya pergi untuk selama-lamanya. Hati Ibu Helena remuk redam, namun dia tahu, sebagai ibu rumah tangga yang kini sendirian, dia harus bangkit. Ada anak-anak yang perlu dia urus dan kehidupan yang harus terus berjalan.

Bapak wayo adalah seorang petani yang rajin, bekerja dari pagi hingga petang untuk menghidupi keluarganya. Sementara Ibu Helena, di sela-sela mengurus rumah dan anak-anak, selalu duduk di alat tenunnya, merajut benang menjadi kain yang indah. Ketika suaminya masih hidup, tenunan itu hanyalah sampingan. Tapi setelah kepergian suaminha, kain tenun itulah yang menjadi tumpuan hidup keluarga mereka.

Hari-hari pertama tanpa Bapak wayo sangat berat. Sepi di rumah semakin terasa setiap kali Ibu Helena duduk di alat tenunnya. Tak ada lagi tawa riang suaminya yang menyambut saat dia pulang dari ladang, tak ada lagi cerita-cerita tentang sawah dan ternak di petang hari. 

Tetapi Ibu Helena menolak tenggelam dalam kesedihan. Setiap tetes air mata yang jatuh, dia alirkan menjadi energi untuk terus bekerja. Dalam diam, dia mulai menerima pesanan lebih banyak, menenun dari pagi hingga malam. Setiap helai benang yang dia tarik, dia bayangkan sebagai bagian dari hidup yang terus berlanjut. 

Kain-kain yang dia tenun bukan hanya sekadar hasil kerja keras, tapi juga pengingat akan cinta yang pernah ada. Di setiap motif yang dia ciptakan, terselip kenangan tentang suaminya tentang senyumnya, tentang bagaimana dia menggenggam tangannya dengan lembut, tentang janji untuk selalu bersama meski kini terpisahkan oleh maut.

Suatu hari, ketika Ibu Helana sedang menyelesaikan tenunan terakhirnya untuk hari itu, anak bungsunya, Vallen, duduk di sampingnya. “Ema, saya selalu kagum dengan Ema,” kata anaknya dengan lembut.

Ibu Helena tersenyum, meski matanya masih terpaku pada benang yang dirajutnya. “Kenapa begitu , Ina?”

“Karena Ema tidak pernah berhenti. Setelah Bapak pergi, Ema tetap kuat. Ema yang membesarkan kami semua. Dan lihatlah, Ema masih bisa menenun seindah ini.”

Ibu Helena berhenti sejenak, melihat ke arah anaknya. “Kadang, ale, kita tidak punya pilihan selain terus melangkah. Hidup ini seperti menenun kain. Ada saat-saat di mana benang kusut, ada yang putus. Tapi kalau kita terus mencoba, kita bisa memperbaikinya, membuat pola baru yang lebih indah.”

Vallen menatap ibunya dengan penuh kekaguman. Ibu Helena bukan hanya seorang penenun kain, tapi juga penenun kehidupan. Setiap langkah yang dia ambil setelah kepergian suaminya, setiap keputusan yang dia buat, adalah benang-benang kehidupan yang membentuk siapa dia hari ini.

Malam itu, Ibu Helena duduk di depan alat tenunnya lebih lama dari biasanya. Ketika cahaya lampu mulai meredup, dia berhenti dan memandang kain yang hampir selesai. Di balik warna-warna yang cerah dan motif yang rumit, dia melihat wajah suaminya tersenyum, seolah menyampaikan bahwa dia selalu ada di sampingnya, meski tak lagi terlihat. Dan dengan itu, Ibu Helana merasa damai.

Di pagi yang baru, dia akan melanjutkan tenunannya, melanjutkan hidupnya, dan merajut benang-benang rindu menjadi kain yang akan dikenang sepanjang masa.
   
                   Tamat




Komentar

Postingan populer dari blog ini

RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57

MajasKu

grow old with you