cerpen Duka sunyi
Warna kuning kemerahan terhalang
oleh segumpalan awan hitam yang menutupi langit bagian barat, menghalangi
cahaya matahari senja yang memancarkan keagungan Yang Maha Indah. Angin senja
membelai daun-daun mahoni dan menghasilkan suara yang bernyanyi tentang banyak
hati yang sepi. Senja seperti begitu akrab mengenal kasunyian dan menciptakan
ketakutan akan sunyi.
Disela-sela kesibukan sore, tepat
menjelang matahari pulang keperaduannya, aku merenungkan kembali alasan mengapa
aku mau saja datang. Ya seperti kata orang bijak “Ducunt volentem fata, nolentem trahunt”, apabila engakau setuju
takdir membimbingmu, apabila tidak takdir memaksa. Vony,,,kalau kamu ada disini
mungkin hanya kamu mungkin hanya kamu yang bisa membaca guratan-guratan mimipi
yang terbersit seperti para musafir yang melihat oase, untuk sekedar melepaskan
dahaga rindu dan jiwa yang kerontang, tetapi itu ternyata hanyalah fatamorgana.
Surat dari seorang gadis yang telah
lama menjadi ratu dihatiku, masih kusimpan dan kuyakini penjajah hati bernama
rindu ada didalamnya selalu menyeretku bertemu dengannya. Aku pun tak tahu
apakah ini akan menjajahku atau hanya sekedar luapan keinginan untuk sekedar
bercakap pada kenangan yang masih tertinggal diantara garak-garak awan di suatu
senja. Yang pasti dayanya menyeret semua hasratku untuk sekedar bersenda gurau
pada beberapa kisah yang masih tertinggal.
Pada suatu senja yang gelisah,
kujejakan kakiku disebuah palabuhan. Manumpang kapal yang akan membawaku
kembali ke pulau kelahiran dan disana tempat ratuku. Pelabuhan seperti sebuah
fase terahir dari setiap penantian dan awal dari sebuah harapan. Seperti
harapannya aku akan pulang dan sekarang aku masih berada dalam sebuah
petualangan untuk melihat senyum manisnya dan kini kubawakan sebuah romantisme
usang. Tapi harapan itu seperti istana pasir yang begitu rapuh ketika disentuh
angin.
Sampai malam yang menyisakan
lolongan angin laut aku masih duduk disini, dibangku usang cafetaria kapal AWU
yang entah kenapa menyeruak pekat.
Ketika sebuah batas tentang
kesabaran hampir saja meluap dari ruang-ruang dadaku, seorang bapak kepala lima
menarik perhatianku. Senyum yang berwibawa seperti sangat mengerti arti kata
sepi. Ia duduk sendirian dengan sisa guratan wajah mudanya yang pasti dulu
selalu membuat nafas para wanita begitu sulit dihembuskan. Tampak memeluk
sunyi.
Sebuah ruang kosong yang getas yang
juga begitu akrab itu tiba-tiba menyapa ku. Aku balik menyapa dan mendekatinya.
Seulas senyum diantara matanya yang penuh luka didalam hatinya berkejab hidup.
Tanda yang tak bisa kumengerti. ‘kemarilah adik’ apa yang kamu pikirkan
sekarang. Ceritakanlah. Dada ini seperti sobek diterjang puluhan peluru kaliber
7,5 mm. Semua cerita tentang sobekan mimpi yang begitu rapat kusembunyikan
bahkan nafasku sendiripun tak mampu menemukannya. ‘’kapal ini mengingatkan saya
pada almarhum isteri saya. Diatas kapal ini membuat saya merasa bahwa ia masih
ada di dunia ini”. Seperti bisa membaca pikiranku yang selalu sibuk mengurusi
sesuatu yang mungkin akan sia-sia. Bapak itu seperti haus akan kesunyian.
Pengumuman tanda kapal akan
bersandar mengagetkan aku dalam lamunan yang dibelai mimpi-mimpi yang indah.
Aku mengangkat koperku dan sebuah ransel sedang, lalu menuruni tangga kapal
yang memang sudah disiapkan untuk para penumpang yang akan turun. Disitu di
pelabuhan, banyak orang dengan hati gelisah berjalan mondar-mandir diselingi
dengan teriakan-teriakan para pedagang asongan yang sibuk menjajakan barang dagangan
mereka. Aku bergegas membawa koper dan tas ku ketempat yang lebih aman. Just in
case. Seorang kondektur datang dan menawarkan jasa busnya. Tak perlu waktu lama
bagiku unutk menyetujui tawarannya. Bus itu membawaku ke sebuah terminal kota,
dari situ aku masih harus mengganti bus kayu untuk membawaku kembali ke kampung
halamanku. Disana kutemui wajah-wajah terbersit duka seolah barusan terjadi
sesuatu yang sangat memukul perasaan. Wajah-wajah yang gelisah, wajah yang aku
ingin melihat mereka tersenyum bersama damai yang dihembuskan sebuah pagi. Aku
menemui ibu ku dan memulai kata “apa yang terjadi mama? Aku mulai
berharap....ya tetapi memang harapanku selalu melahirkan kekecewaan.
Ibuku
menjawab,,tunanganmu meninggal kemarin sore. Ia bunuh diri lantaran bersikeras
untuk tidak mau menuruti permintaan pamannya untuk dijodohkan dengan anak teman
pamannya...kemarin sore dia datang ke rumah sambil menangis dan menanyakan
kepastian dari kami kapan engkau pulang,,tetapi ibu tidak dapat memastikan
kapan engkau pulang ..kamu terlambat nak,,,hari ini engkau datang tetapi engkau
tak akan melihatnya lagi....warna senja yang kemerahan menerangi bulir-bulir
yang jatuh dari mataku. Harapan yang aku gantungkan setinggi awan-awan kini
hilang barsama gelap yang mulai datang. Suara tiba-tiba senyap dan lenyap. Tak
ada lagi pancaran wajah penuh kerinduan yang menemani malam-malam pekat
diantara geliat gelora yang meruah antara hasrat. Sejenak kubiarkan kamu yang
melanjutkan kisah ini...
😢😢😢😢😢ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusKisah yang sangat piluh.
Sabar kka, dibalik kisah ini akan ada harapan yang akan menjadi nyata.
Sukses trus untukk Penulisannya.