Timor Barat In Memoria
Timor Barat In Memoria
Tak banyak berubah. Gerbang tua dipenuhi coretan
dikanan-kiri dengan warna cet yang sudah tak tentu. Aroma laut tercampur debu
musim panas masih menguar di sepanjang jalan masuk. Meski kini senja. Masih
penjaga yang sama dengan wajah tua terkesan angker. Hanya saja kesigapannya
memberi karcis dan menerima biaya masuk telah mulai lamban. Rp 5000, harga
untuk sekesempatan berwisata.
Terlintas
kembali saat naluri kepedulianmu berbicara ketika engkau mengambil alih
pembayaran untuk kita.
Kutelusuri jalan beraspal pecah terbungkus debu.
Mungkin termakan usia atau kurang terawat. Aku berhenti pada satu titik yang
menghantarku kembali untuk mencoba membuka lagi einmalig kisah yang telah
lama tertutup debu keterasinganku sendiri.
Aku melihat banyak jejak kaki di
tanah merah dekat pasir dan air laut hanya untuk mencari jejak mu yang kau
tinggalkan sejak kepulangan kita. sepuluh tahun yang lalu. Kutemukan banyak
sekali jejak yang ditinggalkan pemiliknya sambil sesekali mereka-reka mungkin
salah satunya adalah kepunyaanmu. Tapi aku tak yakin. Kembali ku maju beberapa
langkah kira-kira sepelempar batu jauhnya, menuju ke sebuah pohon entah apa
namanya. Disana engkau pernah duduk disampingnya dan bersandar di batangnya.
Ya....kutemukan disana jejak kaki dan sketsa serupa seorang gadis. Manis, sawo matang, tinggi
semampai, rambut yang masih alami dengan tiga titik menyerupai satu rasi
bintang di langit malam pada di lehernya dan yang pasti dengan senyum yang
selalu merekah di bibir. Tetapi saat aku berusaha menatap lebih lekat sketsa
itu di matanya, aku melihat ada cahaya yang tertahan disana. Cahaya itu harusnya memancar keluar dari sana tapi
entah mengapa tertahan dalam mata itu hingga aku hanya mampu menangkap
gelapnya. Aku terkejut bukan karena tersadar pernah
bertemu dengannya
tetapi aku terharu karena aku tak yakin apakah aku pernah mengenalnya lebih
dalam atau tidak. Apalagi memilikinya.
Mata
itu. Dia yang bercerita lebih banyak tentang gadis pemilik sketsa itu. Tentang
seorang wanita baik hati yang ada dan hadir sebagai sketsa di hadapanku. Tak
ada yang lebih mendamaikan daripada berdiri menatap lekat wajah teduh itu. Saat
dia berkisah tentang beberapa tempat di kota ini yang pernah dikunjungi, sambil
tertawa lepas. Aku mengerti.
Aku kembali melangkah menyisir
tepian pantai sambil menerawang pada satu titik. Satu waktu. Pada satu keberlangsungan penuh
makna yang kini coba kutuliskan kembali. Keberlangsungan dimana kau dan aku
menjadi penentu dan aktor utama yang menulis sejarah kita bersama, meski
masing-masing kita sendiri yang akan memberikan muatan makna yang berbeda dalam
keberlangsungan yang kita tulis itu.
Engkau, pantai ini, kota ini dan
pulau ini telah mengajarkanku banyak hal.
Termasuk semua hal yang kusebut cinta.
bagiku cinta selalu membuat dirinya dapat diterima dan dipahami. Cinta tak akan menyembunyikan maksud
tertentu dalam kerahasiaan yang tak terduga tetapi selalu terarah pada keterbukaan, kejujuran dan
kebaikan.
Kezia
namanya. Nama yang selalu tersimpan dalam keabadian.
Belum lengkap kusebut nama itu.
Ia telah menjadi cerita kemarin.
Ia kini menjadi bagian kesadaran ini dan akan menjadi hembusan angin esok hari. Kembaliku ke tempat ini. Disini. Kini.
Dibatas kerinduan ini. Sejenak waktu
berhenti.
Dia tertidur untuk terbenam di
hari depan. adapun aku kesini untuk terantuk pada kenangan.
Tengadahku, mencoba menatap
batas-batas ada.
Suara empasan ombak kembali
mengeja nama itu dalam nada tanpa kata. Mustahil bagi kesadaran memanggil ada yang hilang. Ada yang pernah
ada dan telah tak ada.
Kuarahkan tatapanku pada
beberapa pohon bakau yang tumbuh subur diantara batu karang tajam yang pernah
dengan nakal
memutuskan tali sandalnya. Diujung bebatuan itu antara empasan ombak pantai ini, empasan yang
seolah memandang pada seorang manusia yang kini coba melihat
kembali kisah yang pernah terjadi di sini, tanpa menyadari bahwa apa yang terjadi itu menjadi awal dari satu keterpisahan.
Kupeluk erat kisah itu dan Sambil memejamkan mata
ku dengar semesta berbisik…apakah
kamu takut kehilangan
kisah
itu,,,,lirih kudengar. Dalam
diam aku mendengar suara dari dalam diri;… tidak…tapi aku lebih takut pada waktu, pada jarak, pada
rindu dan pada keabadian. Karena dari mereka aku pernah diberi banyak hal tapi dari sana juga mereka
mengambil semuanya yang ada pada ku dan mungkin termasuk dirimu.
Hambar terusik di pelupuk mata, usingan rasa
terbungkus sobek-sobek kisah kehidupan, lalu kupejamkan biar erat terikat menjadi satu.
Pada sang cinta yang telah berarak pergi membawa rindu
bersama waktu, bersama jarak dan keabadian.
Tersentak lagi bahwa ada ku, kini tak mampu memanggil
waktu dan ada mu hingga menjadi waktu dan ada kita. Namun biarlah waktu dan
ada mu yang takterpanggil itu tetaplah menjadi yang terindah karena semuanya telah
terpatri dalam keabadian.
Mungkin kau telah menjadi aku sehingga tak perlu lagi
aku menanyakanmu. Sambil berharap esok akan kudapati engkau pada mentari antara
rerumputan dan gelombang pantai ini yang selalu menyanyikan bisikan nada
tentang kau dan aku.
Komentar
Posting Komentar