Timor Barat In Memoria


   Timor Barat In Memoria
2

Tak banyak berubah. Gerbang tua dipenuhi coretan dikanan-kiri dengan warna cet yang sudah tak tentu. Aroma laut tercampur debu musim panas masih menguar di sepanjang jalan masuk. Meski kini senja. Masih penjaga yang sama dengan wajah tua terkesan angker. Hanya saja kesigapannya memberi karcis dan menerima biaya masuk telah mulai lamban. Rp 5000, harga untuk sekesempatan berwisata.
                Terlintas kembali saat naluri kepedulianmu berbicara ketika engkau mengambil alih pembayaran untuk kita.
Kutelusuri jalan beraspal pecah terbungkus debu. Mungkin termakan usia atau kurang terawat. Aku berhenti pada satu titik yang menghantarku kembali untuk mencoba membuka lagi einmalig  kisah yang telah lama tertutup debu keterasinganku sendiri.
                Aku melihat banyak jejak kaki di tanah merah dekat pasir dan air laut hanya untuk mencari jejak mu yang kau tinggalkan sejak kepulangan kita. sepuluh tahun yang lalu. Kutemukan banyak sekali jejak yang ditinggalkan pemiliknya sambil sesekali mereka-reka mungkin salah satunya adalah kepunyaanmu. Tapi aku tak yakin. Kembali ku maju beberapa langkah kira-kira sepelempar batu jauhnya, menuju ke sebuah pohon entah apa namanya. Disana engkau pernah duduk disampingnya dan bersandar di batangnya. Ya....kutemukan disana jejak kaki dan sketsa serupa  seorang gadis. Manis, sawo matang, tinggi semampai, rambut yang masih alami dengan tiga titik menyerupai satu rasi bintang di langit malam pada di lehernya dan yang pasti dengan senyum yang selalu merekah di bibir. Tetapi saat aku berusaha menatap lebih lekat sketsa itu di matanya, aku melihat ada cahaya yang tertahan disana. Cahaya itu harusnya memancar keluar dari sana tapi entah mengapa tertahan dalam mata itu hingga aku hanya mampu menangkap gelapnya. Aku terkejut bukan karena tersadar pernah bertemu dengannya tetapi aku terharu karena aku tak yakin apakah aku pernah mengenalnya lebih dalam atau tidak. Apalagi memilikinya.
Mata itu. Dia yang bercerita lebih banyak tentang gadis pemilik sketsa itu. Tentang seorang wanita baik hati yang ada dan hadir sebagai sketsa di hadapanku. Tak ada yang lebih mendamaikan daripada berdiri menatap lekat wajah teduh itu. Saat dia berkisah tentang beberapa tempat di kota ini yang pernah dikunjungi, sambil tertawa lepas. Aku mengerti.
                Aku kembali melangkah menyisir tepian pantai sambil menerawang pada satu titik. Satu waktu. Pada satu keberlangsungan  penuh makna yang kini coba kutuliskan kembali. Keberlangsungan dimana kau dan aku menjadi penentu dan aktor utama yang menulis sejarah kita bersama, meski masing-masing kita sendiri yang akan memberikan muatan makna yang berbeda dalam keberlangsungan yang kita tulis itu.

                Engkau, pantai ini, kota ini dan pulau ini telah mengajarkanku banyak hal.
                Termasuk semua hal yang kusebut cinta. bagiku cinta selalu membuat dirinya dapat diterima dan dipahami.            Cinta tak akan menyembunyikan maksud tertentu dalam kerahasiaan yang tak terduga tetapi selalu terarah                pada keterbukaan, kejujuran dan kebaikan.
                Kezia namanya. Nama yang selalu tersimpan dalam keabadian.
                Belum lengkap kusebut nama itu.

                Ia telah menjadi cerita kemarin. Ia kini menjadi bagian kesadaran ini dan akan menjadi   hembusan angin esok hari. Kembaliku ke tempat ini. Disini. Kini. Dibatas kerinduan ini.      Sejenak waktu berhenti.
                Dia tertidur untuk terbenam di hari depan. adapun aku kesini untuk terantuk pada            kenangan.
                Tengadahku, mencoba menatap batas-batas ada.
                Suara empasan ombak kembali mengeja nama itu dalam nada tanpa kata. Mustahil bagi                 kesadaran memanggil ada yang hilang. Ada yang pernah ada dan telah tak ada.
                Kuarahkan tatapanku pada beberapa pohon bakau yang tumbuh subur diantara batu karang tajam yang pernah dengan nakal memutuskan tali sandalnya. Diujung bebatuan itu antara empasan ombak pantai ini, empasan yang seolah memandang pada seorang manusia yang kini coba melihat kembali kisah yang pernah terjadi di sini, tanpa menyadari bahwa apa yang terjadi itu menjadi awal dari satu keterpisahan.
Kupeluk erat kisah itu dan Sambil memejamkan mata ku dengar semesta berbisikapakah kamu takut kehilangan kisah itu,,,,lirih kudengar. Dalam diam aku mendengar suara dari dalam diri;… tidak…tapi aku lebih takut pada waktu, pada jarak, pada rindu dan pada keabadian. Karena dari mereka aku pernah diberi banyak hal tapi dari sana juga mereka mengambil semuanya yang ada pada ku dan mungkin termasuk dirimu.
                Hambar terusik di pelupuk mata, usingan rasa terbungkus sobek-sobek kisah kehidupan,             lalu kupejamkan biar erat terikat menjadi satu.
                Pada sang cinta yang telah berarak pergi membawa rindu bersama waktu, bersama jarak                dan keabadian.
                Tersentak lagi bahwa ada ku, kini tak mampu memanggil waktu dan ada mu hingga       menjadi waktu dan ada kita. Namun biarlah waktu dan ada mu yang takterpanggil itu       tetaplah menjadi yang terindah karena semuanya telah terpatri dalam keabadian.
                Mungkin kau telah menjadi aku sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu. Sambil      berharap esok akan kudapati engkau pada mentari antara rerumputan dan gelombang         pantai ini yang selalu menyanyikan bisikan nada tentang kau dan aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57

MajasKu

grow old with you