KUPU KUPU MELAYANG

                Kupu-Kupu Melayang

Langit sore berwarna jingga saat Anggia duduk di balkon apartemennya, memandangi hiruk-pikuk kota yang perlahan mereda. Di tangannya, segelas wine merah berputar perlahan, sementara angin lembut mengelus kulitnya. Ia baru saja pulang dari pertemuan bisnis yang melelahkan, tapi pikirannya masih tertahan pada sesuatu yang lebih menggoda atau lebih tepatnya, seseorang.

Nathan.

Pria itu seperti kupu-kupu yang melayang di sekitarnya—indah, memikat, tapi sulit ditangkap. Mereka pertama kali bertemu di sebuah galeri seni dua bulan lalu. Mata Nathan yang tajam, senyum misteriusnya, dan cara bicaranya yang tenang tapi berbahaya membuat Anggia merasa tertarik. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya ingin lebih dekat, lebih jauh, lebih dalam.

Suara ketukan di pintu mengganggu lamunannya. Anggia meletakkan gelasnya dan berjalan ke pintu. Saat membukanya, ia menemukan Nathan berdiri di sana, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, wajahnya tampak lelah namun tetap memesona.

"Sudah pulang?" Nathan bertanya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.

Anggia tersenyum tipis. "Kau datang lebih cepat dari yang kuduga."

"Aku tak suka membuatmu menunggu."

Tanpa menunggu undangan, Nathan melangkah masuk, aroma tubuhnya yang hangat bercampur dengan parfum yang begitu khas menyelimuti ruangan. Anggia mundur sedikit, membiarkan pria itu menutup pintu di belakangnya. Ada ketegangan di antara mereka—bukan ketegangan yang canggung, tapi yang penuh dengan sesuatu yang belum terselesaikan.

Nathan mengangkat dagu Anggia dengan satu jari, memaksanya menatap mata gelapnya yang dalam. "Kau tahu, Anggia, kau seperti kupu-kupu yang terus melayang di pikiranku."


Anggia tersenyum samar. "Kupu-kupu tak bisa terbang selamanya, Nathan."


"Tapi aku ingin menangkapnya," bisik Nathan, sebelum akhirnya bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lambat namun intens.


Anggia merasakan dunia di sekelilingnya menghilang. Tidak ada lagi kota yang bising, tidak ada lagi angka-angka di layar laptop, tidak ada lagi kepenatan yang menumpuk di bahunya. Yang ada hanya Nathan—dan cara pria itu menyentuhnya, seolah ia adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang ingin dimilikinya seutuhnya.


Malam itu, di bawah cahaya temaram, mereka membiarkan diri mereka larut dalam satu sama lain, seperti dua kupu-kupu yang akhirnya berhenti melayang dan menemukan tempatnya.


Tarakan, 13 Februari 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57

Cerpen: Kain Tenun Rindu

Kepadamu, yang Selalu Kudengar