Jangan Mengukur Nilai Istri dari Keperawanan


Dalam masyarakat yang masih kerap terjebak pada norma dan stigma lama, sering kali nilai seorang wanita, terutama istri, diukur dari satu aspek sempit: keperawanan. Pandangan ini tidak hanya mengabaikan kompleksitas dan keunikan setiap individu, tetapi juga menempatkan beban moral yang tidak adil pada perempuan. Seorang istri adalah lebih dari sekadar status fisik atau masa lalu ia adalah mitra hidup, pendamping, dan sosok yang berkontribusi dalam berbagai dimensi emosional, intelektual, dan spiritual dalam rumah tangga dan kehidupan bersama.

Menerima istri seutuhnya berarti menerima dirinya apa adanya. Nilai seorang perempuan tidak semestinya diukur dari keperawanan, melainkan dari akhlak, kesetiaan, kasih sayang, dan kemampuannya menjadi pasangan hidup yang baik.
Menilai perempuan hanya dari status keperawanannya bisa menjadi bentuk ketidakadilan dan merendahkan martabatnya sebagai manusia yang utuh.

Perlu diggarisbawahi bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, termasuk dalam konteks seksualitas. Keperawanan bukanlah satu-satunya penentu nilai moralitas seorang perempuan, dan tidak boleh menjadi alat ukur yang merendahkan perempuan. 
Pesan ini menyerukan penerimaan dan penghargaan terhadap perempuan sebagai individu yang utuh, dengan segala aspek kehidupannya, bukan hanya berdasarkan satu aspek biologis. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RELASI IMAN DAN KEBUDAYAAN DALAM TERANG DOKUMEN KONSILI VATIKAN II GAUDIUM ET SPES ARTIKEL 57

Cerpen: Kain Tenun Rindu

Kepadamu, yang Selalu Kudengar